Dalam beberapa tahun terakhir, serangan Supply Chain telah menjadi ancaman serius di dunia siber, menargetkan perusahaan di berbagai industri dengan cara yang semakin canggih. Serangan ini mengeksploitasi hubungan kepercayaan antara organisasi dan vendor pihak ketiga, memungkinkan peretas menyusup ke sistem melalui perangkat lunak, layanan, atau bahkan perangkat keras yang digunakan dalam rantai pasokan. Dampaknya bisa sangat luas, mulai dari pencurian data sensitif hingga gangguan operasional berskala besar yang berpotensi merugikan jutaan dolar. Artikel ini akan membahas lima contoh serangan Supply Chain paling signifikan yang pernah terjadi, mengungkap bagaimana peretas melancarkan aksinya serta pelajaran yang dapat dipetik untuk meningkatkan keamanan di era digital yang semakin kompleks.
Serangan Supply Chain dalam dunia siber adalah jenis serangan yang menargetkan pihak ketiga dalam rantai pasokan suatu perusahaan untuk mendapatkan akses tidak sah ke sistem atau data sensitif. Dalam ekosistem bisnis modern, perusahaan sangat bergantung pada vendor, pemasok, dan penyedia layanan pihak ketiga, mulai dari penyedia perangkat lunak hingga pengelola infrastruktur IT. Ketergantungan ini menciptakan titik lemah yang dapat dimanfaatkan oleh peretas. Jika satu elemen dalam rantai pasokan memiliki celah keamanan, serangan dapat dengan mudah menyebar ke organisasi yang lebih besar, bahkan jika perusahaan tersebut memiliki sistem keamanan yang kuat.
Cara kerja serangan Supply Chain didasarkan pada eksploitasi hubungan kepercayaan. Peretas tidak menyerang target utama secara langsung, tetapi menyusup melalui vendor atau mitra yang memiliki akses ke jaringan perusahaan. Salah satu metode umum adalah menyusupi pembaruan perangkat lunak dengan menyisipkan kode berbahaya, sehingga ketika pelanggan mengunduh pembaruan tersebut, mereka secara tidak sadar menginstal malware di dalam sistem mereka. Selain itu, serangan dapat terjadi melalui komponen perangkat keras yang telah dikompromikan sebelum dikirim ke pengguna akhir, memberikan akses bagi peretas untuk mengendalikan atau memata-matai sistem yang terhubung.
Serangan Supply Chain sendiri terbagi menjadi dua jenis utama: serangan rantai pasokan tradisional dan serangan rantai pasokan perangkat lunak. Serangan tradisional biasanya melibatkan manipulasi fisik atau penyusupan dalam proses produksi perangkat keras, seperti menyematkan chip berbahaya dalam perangkat elektronik. Sementara itu, serangan rantai pasokan perangkat lunak lebih berfokus pada kompromi dalam kode, API, atau layanan cloud yang digunakan oleh banyak organisasi. Dengan semakin berkembangnya ekosistem digital, ancaman dari serangan berbasis perangkat lunak semakin meningkat dan sulit dideteksi. Berikut adalah 5 Contoh Serangan Supply Chain yang Mengguncang Dunia Siber.
Baca juga: Modus Penipuan Kerja Paruh Waktu yang Harus Anda Waspadai
Serangan terhadap Kaseya terjadi pada Juli 2021 dan merupakan salah satu insiden ransomware terbesar yang pernah ada. Kelompok peretas REvil mengeksploitasi kerentanan dalam perangkat lunak manajemen TI Kaseya dan menyebarkan ransomware melalui pembaruan perangkat lunak yang sah. Akibatnya, ribuan pelanggan Managed Service Provider (MSP) yang menggunakan Kaseya terkena dampaknya, dengan lebih dari 1.500 bisnis di seluruh dunia menjadi korban. Para peretas menuntut tebusan sebesar $70 juta untuk menyediakan alat dekripsi bagi semua korban yang terinfeksi.
Dampak serangan ini sangat luas, menyebabkan gangguan operasional besar bagi perusahaan yang bergantung pada MSP untuk layanan IT mereka. Banyak bisnis kecil hingga menengah yang terkena ransomware terpaksa menghentikan operasionalnya. Insiden ini menunjukkan bagaimana satu titik lemah dalam rantai pasokan perangkat lunak dapat menciptakan efek domino yang merugikan banyak organisasi. Untuk mencegah serangan serupa, perusahaan harus menerapkan Zero Trust Security, melakukan pemantauan terus-menerus terhadap vendor, serta mempercepat penerapan patch keamanan untuk mengatasi kerentanan perangkat lunak.
Salah satu serangan Supply Chain terbesar dalam sejarah terjadi pada Desember 2020, ketika peretas menyusup ke pembaruan perangkat lunak SolarWinds Orion, alat pemantauan jaringan yang digunakan oleh ribuan perusahaan dan lembaga pemerintah. Dalam serangan ini, peretas menyisipkan backdoor dalam pembaruan resmi SolarWinds, memungkinkan mereka mendapatkan akses tidak sah ke jaringan korban. Diperkirakan sekitar 18.000 entitas, termasuk lembaga pemerintah AS, perusahaan teknologi besar, dan organisasi swasta, terkena dampak dari serangan ini.
Dampaknya sangat besar, dengan berbagai data sensitif pemerintah dan perusahaan besar seperti Microsoft dan FireEye dieksfiltrasi. Serangan ini juga menjadi peringatan bagi industri keamanan siber bahwa pembaruan perangkat lunak yang seharusnya terpercaya dapat menjadi senjata bagi peretas. Salah satu pelajaran utama dari insiden SolarWinds adalah pentingnya pemeriksaan keamanan terhadap setiap pembaruan perangkat lunak sebelum diinstal serta implementasi segmentasi jaringan untuk mengurangi risiko penyebaran serangan.
Pada Januari 2021, Mimecast, penyedia layanan keamanan email, mengungkapkan bahwa sertifikat keamanan yang digunakan untuk mengautentikasi layanannya dengan Microsoft 365 telah dikompromikan oleh peretas. Hal ini memungkinkan penyerang untuk mencegat komunikasi email yang terenkripsi dan berpotensi mengakses informasi sensitif milik klien Mimecast. Sekitar 10% dari pelanggan Mimecast yang menggunakan layanan Microsoft 365 Exchange Web Services terpengaruh oleh serangan ini.
Serangan ini menyoroti bahaya dari kepercayaan berlebihan terhadap sertifikat keamanan dan perlunya pemantauan aktif terhadap kredensial yang digunakan dalam integrasi layanan pihak ketiga. Untuk menghindari serangan berbasis sertifikat semacam ini, organisasi harus menggunakan manajemen sertifikat otomatis, melakukan rotasi kredensial secara berkala, serta menerapkan deteksi anomali terhadap aktivitas autentikasi.
Atlassian, penyedia layanan perangkat lunak kolaboratif yang digunakan oleh ribuan perusahaan, menghadapi ancaman serius ketika peretas mengeksploitasi kerentanan dalam sistem Single Sign-On (SSO) yang digunakan untuk mengautentikasi pengguna. Dengan memanfaatkan token SSO yang telah dicuri atau dimanipulasi, penyerang dapat mengakses aplikasi Atlassian yang digunakan oleh berbagai organisasi tanpa perlu memasukkan kredensial yang sah.
Dampak dari serangan ini cukup luas karena banyak perusahaan mengandalkan Atlassian untuk manajemen proyek dan dokumentasi internal. Penyalahgunaan token SSO memungkinkan penyerang mengakses data sensitif, merusak sistem, atau bahkan melakukan spionase perusahaan. Untuk mengatasi ancaman ini, organisasi harus menerapkan Multi-Factor Authentication (MFA) berbasis perangkat keras, membatasi masa berlaku token SSO, serta melakukan pemantauan real-time terhadap aktivitas login mencurigakan.
Pada April 2021, serangan Supply Chain menargetkan Codecov, sebuah alat analisis kode yang banyak digunakan oleh tim pengembang perangkat lunak. Peretas berhasil memodifikasi skrip Bash uploader Codecov, yang secara otomatis mengirimkan laporan cakupan kode ke server pelanggan. Dengan menyusupkan kode jahat ke dalam skrip ini, peretas dapat mencuri kredensial API, token autentikasi, dan informasi sensitif lainnya dari sistem pelanggan.
Dampak dari serangan ini sangat besar karena banyak perusahaan teknologi besar menggunakan Codecov sebagai bagian dari pipeline pengembangan mereka. Pencurian kredensial dari sistem otomatis dapat memberikan akses luas bagi peretas ke berbagai lingkungan cloud dan layanan perusahaan. Untuk menghindari serangan berbasis kode seperti ini, organisasi harus menerapkan integritas kode dengan tanda tangan digital, menggunakan deteksi perubahan skrip otomatis, serta memperketat kontrol akses terhadap kredensial API.
Serangan Supply Chain telah menjadi ancaman serius bagi organisasi di berbagai sektor, karena peretas semakin pintar dalam mengeksploitasi kelemahan vendor pihak ketiga. Oleh karena itu, perusahaan harus mengadopsi pendekatan keamanan yang proaktif untuk mengurangi risiko dan melindungi sistem mereka dari serangan berbasis rantai pasokan. Berikut adalah beberapa strategi utama yang dapat diterapkan untuk mencegah serangan Supply Chain secara efektif.
Langkah pertama dalam memperkuat keamanan rantai pasokan adalah mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko dari vendor atau mitra pihak ketiga. Banyak perusahaan terlalu percaya pada vendor tanpa memahami tingkat keamanannya, sehingga menciptakan celah yang dapat dieksploitasi peretas. Oleh karena itu, organisasi harus melakukan penilaian risiko secara menyeluruh dengan mengelompokkan vendor berdasarkan tingkat akses mereka terhadap sistem dan data sensitif. Vendor dengan akses luas harus diaudit lebih ketat melalui kuesioner keamanan siber, uji penetrasi, dan audit pihak ketiga. Selain itu, kontrak dengan vendor harus mencakup persyaratan kepatuhan keamanan dan prosedur tanggap insiden.
Serangan rantai pasokan dapat terjadi melalui manipulasi perangkat lunak maupun kompromi perangkat keras, sehingga perusahaan perlu menerapkan strategi keamanan yang menyeluruh. Strategi ini mencakup prinsip Zero Trust, di mana setiap akses harus divalidasi, serta mekanisme deteksi dini untuk memantau anomali dalam pembaruan perangkat lunak atau kode sumber. Selain itu, segmentasi jaringan dapat meminimalkan dampak insiden, dan vendor wajib menggunakan metode autentikasi yang kuat seperti Multi-Factor Authentication (MFA). Dengan pendekatan ini, perusahaan dapat mengurangi risiko eksploitasi oleh peretas yang menyusup melalui rantai pasokan.
Dengan meningkatnya kerja jarak jauh, jumlah perangkat yang terhubung ke jaringan perusahaan semakin banyak, meningkatkan risiko serangan Supply Chain, terutama melalui akses ke sistem vendor atau perangkat lunak pihak ketiga. Untuk memperkuat keamanan endpoint, perusahaan harus menerapkan kebijakan BYOD yang ketat, menggunakan Endpoint Detection and Response (EDR) untuk memantau aktivitas mencurigakan, serta mewajibkan VPN atau Zero Trust Network Access (ZTNA) guna mengamankan koneksi internal. Selain itu, patching dan pembaruan sistem otomatis harus diterapkan untuk mengatasi kerentanan perangkat lunak. Dengan langkah-langkah ini, organisasi dapat meminimalkan risiko serangan rantai pasokan melalui perangkat endpoint.
Keamanan rantai pasokan harus dipantau secara berkelanjutan karena ancaman siber terus berkembang dan vendor yang sebelumnya aman bisa menjadi target serangan. Organisasi perlu melakukan audit keamanan berkala, memantau pembaruan perangkat lunak vendor, serta memanfaatkan threat intelligence untuk mendeteksi ancaman terbaru. Selain itu, penting untuk memiliki rencana tanggap darurat guna mengatasi insiden keamanan vendor. Dengan pemantauan yang konsisten, organisasi dapat mengidentifikasi ancaman lebih awal dan mengambil tindakan preventif sebelum serangan Supply Chain terjadi.
Serangan Supply Chain dapat berdampak luas terhadap bisnis dan pelanggan, karena sifatnya yang mengeksploitasi kepercayaan antara perusahaan dan vendor pihak ketiga. Dengan menerapkan langkah-langkah ini, perusahaan dapat lebih siap menghadapi ancaman siber yang terus berkembang dan melindungi ekosistem digital mereka dari serangan rantai pasokan yang semakin canggih.
Baca juga: Dampak Serangan Bashe Ransomware terhadap Sistem Keuangan
Serangan Supply Chain telah menjadi ancaman serius di dunia siber, mengeksploitasi kepercayaan antara perusahaan dan vendor pihak ketiga untuk menyusup ke sistem. Peretas dapat menyusupi perangkat lunak, layanan, atau perangkat keras, menyebabkan pencurian data dan gangguan operasional yang luas. Serangan ini dapat terjadi melalui dua cara utama: manipulasi fisik perangkat keras dan kompromi perangkat lunak melalui kode atau API berbahaya. Contoh serangan besar seperti Kaseya, SolarWinds, Mimecast, Atlassian, dan Codecov menunjukkan betapa luas dampaknya terhadap berbagai industri. Untuk melindungi organisasi, perusahaan harus memetakan risiko vendor, menerapkan strategi keamanan komprehensif, memperkuat endpoint dalam kerja jarak jauh, serta melakukan pemantauan berkelanjutan terhadap pihak ketiga. Dengan langkah-langkah ini, organisasi dapat mengurangi risiko serangan Supply Chain dan meningkatkan ketahanan keamanan siber mereka.