Human Risk Management Institute

7 Bias Psikologis yang Membuat Korban Mudah Terjebak Online Scam

Written by Nur Rachmi Latifa | 17 Nov 2025

Pernah merasa yakin bahwa Anda tidak mungkin tertipu online—namun tiba-tiba kehilangan uang, akun, atau data pribadi? Anda tidak sendirian. Kasus online scam di Indonesia meningkat setiap tahun, dari penipuan investasi, phishing lewat WhatsApp, hingga situs palsu yang terlihat meyakinkan. Menariknya, bukan hanya orang awam yang menjadi korban; profesional dan orang berpendidikan pun bisa terjebak. Alasannya sederhana: scammer tidak menyerang logika, tapi menyerang psikologi manusia. Mereka memahami bagaimana otak kita bekerja dan disanalah bias psikologis mengambil peran besar. Artikel ini akan membahas tujuh jenis bias psikologis yang sering dimanfaatkan oleh penipu online, dan bagaimana Anda bisa melindungi diri dari jebakan mereka.

Bias Psikologis: Celah Manusia yang Dimanfaatkan Online Scam

Bias psikologis merupakan kecenderungan alami otak manusia untuk memproses informasi secara cepat melalui jalan pintas berpikir, sering kali tanpa disadari. Jalan pintas ini terbentuk karena otak kita berusaha untuk membuat keputusan dengan cepat, menghemat waktu dan energi, misalnya ketika kita memilih produk hanya karena tampilannya menarik atau karena “promo terbatas hari ini”. Namun, mekanisme ini bisa menjadi berbahaya ketika kita menempatinya dalam lingkungan yang penuh manipulasi, seperti dunia online. Menurut Sebastian Paul & Sundaram dalam Behavioral Biases and Their Influence on Investment Decision-Making (2023), bias-psikologis merupakan faktor signifikan dalam pengambilan keputusan yang suboptimal.

Dalam ranah digital, khususnya dalam skema penipuan daring (online scam), bias psikologis menjadi pintu masuk yang sangat efektif bagi pelaku kejahatan. Studi Theoretical basis and occurrence of internet fraud victimisation (2023) menyebutkan bahwa “users’ cognitive processing is a key cause of individual online fraud victimisation” — artinya, kelemahan dalam pemrosesan informasi manusia, bukan hanya teknologi yang rusak, sangat menentukan kerentanan mereka. Ketika kita melihat misalnya tulisan “Diskon hanya hari ini!”, otak langsung terdorong oleh rasa takut ketinggalan (fear of missing out) dan asosiasi waktu terbatas, sehingga proses rasional kita tergantikan oleh reaksi cepat. Dalam konteks online scam, pelaku tahu persis “tombol psikologis” mana yang harus ditekan — misalnya urgensi, otoritas palsu, atau hadiah tak terduga agar target segera bertindak tanpa berpikir panjang.

Karena bias-psikologis ini bersifat sangat mendasar — otomatis, cepat, dan sering tak sadar — maka melawannya bukanlah hanya urusan teknologi atau filter spam saja, melainkan penguatan kesadaran diri dan kebiasaan berpikir kritis. Artikel seperti Mental States: A Key Point in Scam Compliance and Warning Design (2022) menemukan bahwa salah satu faktor utama yang berkontribusi pada kepatuhan terhadap scam adalah cognitive biases bersama kondisi emosional yang timpang. Dengan mengetahui bahwa proses manipulasi tidak selalu lewat “meretas sistem” tetapi melalui memanfaatkan proses berpikir kita sendiri, kita bisa mulai membangun pelindung psikologis — misalnya dengan menghentikan keputusan cepat, memeriksa ulang klaim yang terdengar “terlalu bagus untuk jadi nyata”, dan berpikir “apa motif di balik penawaran ini?”. Untuk memahami lebih dalam bagaimana pola pikir ini dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan digital, mari kita bahas 7 bias psikologis yang membuat kita mudah terjebak online scam.

Baca juga: Interdisipliner Melawan Cybercrime Peran Psikologi hingga Ilmu Politik

1.  Bias Konfirmasi (Confirmation Bias)

Bias konfirmasi adalah kecenderungan otak manusia untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang mendukung keyakinan yang sudah ada, sambil mengabaikan data yang bertentangan. Dalam konteks online scam, bias ini menjadi alat manipulasi yang sangat efektif. Ketika seseorang sudah memiliki keyakinan tertentu — misalnya bahwa dirinya “beruntung” atau “pelanggan prioritas” — maka pesan penipuan yang sesuai dengan keyakinan itu akan terasa masuk akal dan sulit ditolak. Pelaku penipuan memanfaatkan pola pikir ini untuk memperkuat rasa percaya korban terhadap narasi palsu, membuat mereka lebih cepat bereaksi tanpa verifikasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Nickerson (1998) dalam jurnal “Confirmation Bias: A Ubiquitous Phenomenon in Many Guises” menunjukkan bahwa bias konfirmasi adalah fenomena universal yang mempengaruhi cara manusia menilai bukti dan mengambil keputusan, bahkan ketika mereka berusaha berpikir objektif. Dalam dunia digital, studi terbaru oleh Modic & Anderson (2015) berjudul “A Review of the Evidence on Cognitive and Emotional Influences in Online Fraud Victimisation” juga menemukan bahwa korban online scam sering kali tertipu karena hanya mencari tanda-tanda yang memperkuat keyakinan mereka — bukan bukti yang bisa membantahnya.
Cara menghindari: cobalah berhenti sejenak sebelum mengambil keputusan dan tanyakan pada diri sendiri, “Apakah informasi ini benar, atau hanya terdengar sesuai dengan keyakinan saya?”

2. Bias Kelangkaan (Scarcity Bias)

Bias kelangkaan adalah kecenderungan manusia untuk menilai sesuatu lebih berharga ketika terasa langka, terbatas, atau hampir habis. Secara psikologis, rasa takut kehilangan peluang (fear of missing out atau FOMO) mendorong seseorang untuk bertindak cepat tanpa sempat berpikir rasional. Dalam konteks online scam, pelaku sering menggunakan frasa seperti “Promo hanya untuk 5 orang pertama” atau “Kesempatan berakhir dalam 10 menit” untuk memicu urgensi palsu. Otak kita dirancang untuk lebih takut kehilangan sesuatu daripada memperoleh keuntungan — inilah sebabnya banyak orang tergoda untuk segera klik, transfer, atau memberikan data pribadi tanpa memverifikasi kebenaran informasi.

Fenomena ini telah banyak dikaji dalam penelitian perilaku manusia. Cialdini (2009) dalam bukunya “Influence: Science and Practice” menjelaskan bahwa prinsip kelangkaan secara konsisten meningkatkan nilai persepsi dan mendorong tindakan impulsif. Sementara studi eksperimental oleh Lynn (1991) berjudul “Scarcity Effects on Value: A Quantitative Review of the Commodity Theory Literature” menemukan bahwa persepsi kelangkaan dapat menggandakan niat seseorang untuk membeli atau bertindak cepat — bahkan jika informasi tersebut palsu. Dalam ranah digital, hal ini dimanfaatkan scammer untuk menciptakan tekanan waktu buatan, sehingga korban merasa harus segera bereaksi agar tidak kehilangan “kesempatan emas”.
Cara menghindari: Jika seseorang mendesak Anda membuat keputusan cepat, berhentilah sejenak. Ingat, kesempatan yang asli tidak pernah menuntut keputusan instan.

3. Bias Otoritas (Authority Bias)

Bias otoritas adalah kecenderungan manusia untuk mempercayai individu atau simbol yang dianggap memiliki kekuasaan, keahlian, atau status tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari, ini membuat kita lebih mudah mematuhi arahan dokter, pejabat, atau institusi resmi. Dalam konteks online scam, kecenderungan ini dimanfaatkan oleh pelaku untuk meniru tanda-tanda otoritas — seperti logo lembaga keuangan, gaya bahasa formal, atau tanda tangan digital — demi memancing kepercayaan. Contohnya, email dengan kop surat “Bank Indonesia” atau “Otoritas Jasa Keuangan (OJK)” yang meminta verifikasi akun seringkali terlihat meyakinkan secara visual, padahal seluruh identitasnya palsu.

Penelitian klasik oleh Stanley Milgram (1963) berjudul “Behavioral Study of Obedience (Journal of Abnormal and Social Psychology)” menunjukkan bahwa manusia memiliki dorongan kuat untuk mematuhi perintah figur otoritas, bahkan jika tindakan tersebut bertentangan dengan nalar atau moralitas pribadi. Prinsip ini kemudian diperkuat oleh Cialdini (2009) dalam “Influence: Science and Practice”, yang menegaskan bahwa simbol-simbol otoritas seperti seragam, gelar, atau logo dapat secara otomatis memicu kepercayaan dan kepatuhan. Dalam dunia digital, scammer meniru tanda-tanda otoritas ini untuk menciptakan kesan legitimasi dan menekan korban agar segera menuruti instruksi.
Cara menghindari: jangan hanya melihat siapa yang mengaku mengirim pesan, tetapi selalu verifikasi sumbernya — misalnya dengan memeriksa domain email, situs web resmi, atau nomor kontak yang terdaftar di kanal publik lembaga terkait.

4. Bias Kesukaan (Liking Bias)

Bias kesukaan adalah kecenderungan kita untuk lebih mempercayai orang yang kita sukai, kagumi, atau merasa memiliki kesamaan dengan mereka. Dalam interaksi online, bias ini sering dimanfaatkan oleh pelaku penipuan yang berpura-pura menjadi sosok yang ramah, perhatian, atau bahkan “sefrekuensi” dengan korban. Bentuknya bisa berupa romance scam, influencer scam, atau charity scam yang memainkan sisi emosional korban. Ketika kedekatan emosional terbentuk — meskipun hanya lewat percakapan digital — otak melepaskan hormon dopamin dan oksitosin yang memperkuat rasa percaya, sehingga kemampuan berpikir kritis menurun. Akibatnya, korban sering kali menuruti permintaan pribadi, termasuk memberikan uang, data, atau akses akun.

Penelitian oleh Cialdini (2009) dalam “Influence: Science and Practice” menjelaskan bahwa efek kesukaan dapat muncul hanya karena kesamaan minat, penampilan, atau gaya bicara. Hal ini diperkuat oleh studi Whitty & Buchanan (2012) berjudul “The Psychology of the Online Dating Romance Scam (Scams, Frauds and Identity Theft)” yang menemukan bahwa pelaku romance scam secara sistematis menggunakan perhatian emosional, pujian, dan kedekatan personal untuk menciptakan kepercayaan palsu yang dalam. Dalam dunia digital yang penuh interaksi sosial, liking bias menjadi pintu masuk efektif bagi manipulasi berbasis emosi.
Cara menghindari: pisahkan antara emosi dan transaksi. Jika seseorang yang baru Anda kenal online mulai berbicara soal uang, bantuan, atau akses pribadi, jadikan itu tanda bahaya dan hentikan komunikasi segera.

5. Bias Resiprositas (Reciprocity Bias)

Bias resiprositas adalah kecenderungan manusia untuk merasa harus membalas budi ketika seseorang memberikan sesuatu — baik dalam bentuk hadiah, bantuan, maupun informasi. Secara sosial, ini adalah dasar dari norma timbal balik yang menjaga keharmonisan dalam hubungan manusia. Namun dalam konteks online scam, bias ini justru menjadi titik lemah yang mudah dieksploitasi. Scammer menggunakan taktik “pemberian palsu” untuk menanam rasa utang budi, misalnya melalui pesan berisi voucher gratis, hadiah ulang tahun, atau promo eksklusif. Begitu korban merasa berutang, mereka terdorong untuk “membalas” dengan mengklik tautan, mengisi data, atau bahkan mentransfer uang.

Cialdini (2009) menegaskan bahwa prinsip resiprositas adalah salah satu penggerak paling kuat dalam perilaku sosial manusia—bahkan ketika pemberian tersebut kecil atau tidak diminta. Studi lain oleh Regan (1971) dalam “Journal of Experimental Social Psychology berjudul Effects of a Favor and Liking on Compliance” menunjukkan bahwa seseorang dua kali lebih mungkin menuruti permintaan setelah menerima hadiah, meskipun hadiah itu tidak relevan. Dalam dunia digital, efek ini diterapkan dengan halus melalui kampanye phishing bermodus “pemberian hadiah”, membuat korban merasa aman dan berutang budi padahal sedang dimanipulasi.
Cara menghindari: waspadai segala bentuk “hadiah” yang datang tanpa alasan jelas. Ingat, perusahaan besar tidak butuh balasan budi — jika pemberiannya tak masuk akal, besar kemungkinan itu adalah umpan.

6. Bias Kesamaan (Similarity Bias)

Bias kesamaan adalah kecenderungan alami manusia untuk lebih mempercayai dan menyukai orang yang tampak serupa dengan dirinya—baik dari segi latar belakang, profesi, minat, maupun cara berbicara. Dalam konteks digital, bias ini menjadi alat manipulasi yang sangat kuat karena interaksi online sering kali dibangun atas dasar profil dan persepsi. Scammer sering memanfaatkannya dengan berpura-pura menjadi rekan kerja, anggota komunitas, atau teman lama. Mereka menggunakan bahasa yang akrab dan topik yang relevan untuk menciptakan kesan “kita satu lingkungan.” Ketika rasa kesamaan dan kedekatan itu terbentuk, korban menurunkan kewaspadaan dan lebih mudah memberikan informasi sensitif.

Fenomena ini didukung oleh penelitian Burger et al. (2004) berjudul “What a Coincidence! The Effects of Incidental Similarity on Compliance (Personality and Social Psychology Bulletin)”, yang menemukan bahwa bahkan kesamaan kecil—seperti tanggal lahir atau hobi—dapat meningkatkan tingkat kepercayaan dan kepatuhan seseorang terhadap permintaan orang lain. Prinsip ini juga ditegaskan dalam buku Cialdini (2009), bahwa persepsi kesamaan adalah pemicu kuat untuk membangun koneksi emosional dan kepercayaan cepat. Dalam dunia online scam, bias kesamaan menjadi senjata sosial yang halus namun efektif, karena manusia secara naluriah percaya pada “orang yang mirip dengan dirinya.”
Cara menghindari: selalu verifikasi identitas melalui saluran resmi sebelum berbagi data apa pun. Jika seseorang terdengar “terlalu mirip” atau “terlalu akrab,” anggap itu sinyal untuk memeriksa lebih dalam—bukan tanda aman.

7. Bias Optimisme (Optimism Bias)

Bias optimisme adalah keyakinan berlebihan bahwa hal buruk tidak akan menimpa diri sendiri, sementara lebih mungkin terjadi pada orang lain. Bias ini membuat seseorang merasa kebal terhadap risiko dan menurunkan kewaspadaan terhadap ancaman yang sebenarnya nyata. Dalam konteks online scam, orang yang merasa “terlalu pintar untuk tertipu” justru sering menjadi target empuk. Contohnya, mereka yang paham teknologi kadang meremehkan pesan penipuan karena yakin dapat membedakan mana yang asli dan palsu, padahal manipulasi modern kini jauh lebih halus — mulai dari phishing dengan domain mirip hingga deepfake yang tampak sangat realistis.

Penelitian oleh Sharot et al. (2011) dalam jurnal “Nature Neuroscience berjudul How unrealistic optimism is maintained in the face of reality” menunjukkan bahwa otak manusia secara sistematis memproses informasi positif lebih dalam dibandingkan informasi negatif, membuat kita cenderung mengabaikan potensi ancaman. Studi lain oleh Weinstein (1980) berjudul “Unrealistic Optimism About Future Life Events (Journal of Personality and Social Psychology)” menegaskan bahwa bias ini dapat menyebabkan seseorang mengabaikan langkah pencegahan karena merasa “tidak akan terjadi pada saya.” Dalam dunia digital, pola pikir semacam ini dimanfaatkan oleh scammer untuk menurunkan pertahanan psikologis korban.
Cara menghindari: biasakan berpikir sebaliknya — anggap setiap pesan mencurigakan sampai benar-benar terbukti aman, bukan sebaliknya.

Dampak Bias Psikologis terhadap Keamanan Digital

Ketujuh bias psikologis di atas jarang bekerja secara terpisah—justru sering muncul bersamaan dan saling memperkuat. Seseorang bisa tertipu karena kombinasi authority bias (percaya pada logo lembaga resmi) dan scarcity bias (takut kehilangan kesempatan), atau karena liking bias dan reciprocity bias yang menjerat korban melalui pendekatan emosional. Pola manipulasi berlapis seperti ini membuat korban sulit menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi, karena setiap langkah tampak logis dan meyakinkan.

Penelitian dan laporan oleh National Institute of Standards and Technology (NIST) menyebut bahwa “human error accounts for more than 80% of cyberattacks.” Temuan ini menegaskan bahwa sebagian besar insiden siber bukan disebabkan oleh lemahnya sistem teknologi, melainkan oleh kesalahan manusia sendiri. Artinya, keamanan digital sejati dimulai dari kesadaran diri. Dengan memahami bahwa otak kita tidak selalu rasional dan mudah dipengaruhi, kita dapat membangun human resilience — ketahanan psikologis yang menjadikan kesadaran sebagai pertahanan pertama sebelum teknologi mengambil peran.

Cara Melindungi Diri dari Online Scam

Di tengah semakin canggihnya modus penipuan digital, perlindungan terbaik tidak hanya datang dari teknologi, tetapi juga dari kesadaran manusia. Berikut beberapa langkah sederhana namun efektif untuk menghindari jebakan online scam dan manipulasi psikologis:

  1. Latih Kesadaran Diri
    Sadari bahwa setiap orang memiliki potensi bias psikologis. Semakin Anda mengenali kecenderungan berpikir ini, semakin kecil kemungkinan untuk dimanipulasi oleh pesan yang menipu.
  2. Verifikasi Sebelum Percaya
    Gunakan prinsip “Trust, but verify.” Selalu periksa alamat email, domain, nomor telepon, atau sumber pesan sebelum mengambil keputusan apa pun yang melibatkan data pribadi atau keuangan.
  3. Tunda Keputusan Instan
    Bias seperti scarcity dan urgency sering memaksa kita bereaksi cepat. Berhentilah sejenak, tarik napas, dan pikirkan ulang sebelum mengklik tautan, mengunduh file, atau melakukan transfer uang.
  4. Gunakan AI Assistant Keamanan
    Manfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang mampu membantu Anda mengenali tanda-tanda phishing, deepfake, atau online scam. Dengan bantuan AI, Anda bisa memeriksa pesan, domain, atau gambar mencurigakan secara lebih cepat dan akurat sebelum mengambil keputusan apa pun.
  5. Edukasi dan Simulasi
    Ikuti pelatihan keamanan digital berbasis perilaku. Program seperti phishing simulation dan security awareness training membantu melatih otak untuk mengenali pola manipulasi sejak dini.

Kesadaran, verifikasi, dan pembiasaan berpikir kritis adalah kunci untuk mengurangi risiko menjadi korban online scam. Dengan kombinasi antara edukasi dan dukungan teknologi seperti AI assistant, Anda dapat menjadi lapisan pertahanan pertama bagi keamanan digital diri sendiri maupun organisasi.

Baca juga: Cara Serangan Social Engineering Mengeksploitasi Psikologi Manusia

Kesimpulan

Meskipun teknologi penipuan digital semakin canggih, pola dasarnya tidak pernah berubah — para scammer tidak meretas sistem, melainkan meretas pikiran manusia. Mereka memanfaatkan bias-bias psikologis seperti rasa suka, ketakutan kehilangan peluang, dan kepercayaan terhadap otoritas untuk mendorong korban bertindak tanpa berpikir panjang. Namun kabar baiknya, kesadaran diri adalah pertahanan paling kuat. Dengan memahami dan mengenali bias psikologis dalam diri sendiri, kita dapat menunda reaksi impulsif, berpikir lebih kritis, dan pada akhirnya menjadi lebih tahan terhadap berbagai bentuk manipulasi online.