Belakangan ini, tren AI Ghibli Style tengah ramai diperbincangkan dan menjadi viral di berbagai platform media sosial. Banyak pengguna dengan antusias mengunggah foto diri mereka yang telah diubah menjadi ilustrasi ala Studio Ghibli menggunakan teknologi AI. Gaya visual yang memikat, bernuansa nostalgia, dan terlihat sangat artistik membuat tren ini cepat menarik perhatian banyak orang, khususnya generasi muda. Namun, di balik popularitas yang terus meningkat, tren Ghibli Style ini mulai menimbulkan kekhawatiran serius, terutama terkait isu privasi, keamanan data pribadi, serta pelanggaran hak cipta. Banyak yang belum menyadari bahwa teknologi AI yang digunakan dalam tren ini kemungkinan dilatih menggunakan karya seni berlisensi tanpa izin. Selain itu, penggunaan dan pemrosesan foto oleh sistem AI menyimpan potensi risiko yang besar, terutama jika data tersebut disalahgunakan atau bocor ke tangan yang salah.
AI Ghibli Style adalah fenomena baru di dunia digital yang memungkinkan pengguna mengubah foto pribadi mereka menjadi gambar bergaya animasi khas Studio Ghibli. Di balik hasil visual yang memukau ini, terdapat teknologi canggih bernama neural style transfer (NST). Teknologi ini bekerja dengan memisahkan elemen “konten” dari sebuah gambar (misalnya wajah atau latar belakang asli) dan menggabungkannya dengan elemen “gaya” dari gambar lain, seperti palet warna, tekstur, dan teknik ilustrasi khas Ghibli, untuk menghasilkan versi baru yang artistik dan penuh karakter. Namun, karena gaya visual ini meniru karya seniman legendaris seperti Hayao Miyazaki, muncul pula kekhawatiran soal potensi pelanggaran hak cipta, terutama jika teknologi ini dilatih menggunakan karya berlisensi tanpa izin.
Tren ini semakin berkembang berkat kemajuan model AI multimodal seperti GPT-4o dari OpenAI, yang tidak hanya memahami bahasa, tetapi juga mampu memproses dan menghasilkan konten visual. Model ini dapat mengenali elemen dalam sebuah foto dan menyesuaikannya dengan referensi visual yang telah dipelajari, termasuk gaya artistik tertentu. Hal ini memungkinkan hasil yang lebih presisi, natural, dan sesuai dengan karakteristik gambar Ghibli—seperti warna pastel lembut, latar dunia fantasi, serta ekspresi wajah yang halus dan penuh emosi. Namun, ketika model AI belajar dari gaya visual yang secara hukum dilindungi, muncul dilema antara inovasi teknologi dan pelindungan hak seniman asli.
Proses transformasi ini sering dikemas dalam bentuk filter AI yang mudah diakses oleh pengguna melalui berbagai aplikasi atau situs web. Cukup dengan mengunggah satu foto, pengguna bisa langsung mendapatkan versi “Ghibli Style” hanya dalam hitungan detik. Kemudahan dan keindahan hasil akhirnya menjadi alasan mengapa tren ini begitu cepat menyebar. Namun, meskipun tampak menyenangkan, penting untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi di balik layar—terutama terkait bagaimana foto dan data pengguna diproses oleh teknologi tersebut, serta bagaimana penggunaan gaya artistik ini bisa berdampak terhadap etika dan hukum dalam dunia kreatif.
Baca juga: Tips Keamanan untuk Menjaga Data Pribadi di HP dari Hacker
Meskipun tren AI Ghibli Style terlihat seru dan menyenangkan, ada sejumlah risiko privasi dan keamanan yang patut diwaspadai oleh para pengguna. Di balik hasil ilustrasi yang memesona, proses pengunggahan foto pribadi ke sistem berbasis AI menyimpan potensi bahaya yang sering kali tidak disadari. Mulai dari penyalahgunaan data hingga ancaman peretasan, berikut penjelasan rinci tentang berbagai risiko yang mengintai di balik popularitas teknologi ini.
Foto yang diunggah ke platform AI bukanlah sekadar gambar biasa. Ia menyimpan berbagai informasi sensitif seperti metadata, geolokasi, waktu pengambilan gambar, hingga pola wajah pengguna. Informasi ini, jika jatuh ke tangan yang salah, dapat digunakan untuk berbagai tujuan yang merugikan, mulai dari pelacakan digital, profiling, hingga eksploitasi iklan bertarget. Tak jarang, data dari foto pribadi dimanfaatkan oleh pihak ketiga untuk melatih algoritma lain atau bahkan dijual kepada pengiklan tanpa sepengetahuan pengguna. Yang menjadi masalah utama adalah pengguna sering kali tidak memahami bahwa satu unggahan foto bisa membuka akses besar terhadap identitas digital mereka.
Risiko lainnya adalah potensi kebocoran data akibat peretasan atau kerentanan sistem. Telah ditemukan sejumlah kasus di mana akun pengguna AI dicuri dan diperjualbelikan di dark web. Informasi yang terdapat dalam akun tersebut, termasuk riwayat interaksi dengan chatbot atau hasil gambar yang dihasilkan, bisa disalahgunakan. Selain itu, perangkat yang digunakan untuk mengakses layanan AI juga rentan terhadap serangan siber jika tidak dilindungi dengan baik. Seperti yang dikatakan oleh Pratim Mukherjee dari McAfee, “The hard part is, you can't change your face the way you can reset a password.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa kebocoran data biometrik seperti foto wajah memiliki dampak jangka panjang yang lebih serius dibandingkan kebocoran kata sandi biasa.
Masalah lain yang tak kalah penting adalah kurangnya transparansi dari banyak platform AI mengenai bagaimana data pengguna digunakan dan disimpan. Meski beberapa layanan mengklaim bahwa foto akan dihapus setelah satu kali pemrosesan, banyak yang tidak menjelaskan secara rinci apakah penghapusan tersebut bersifat langsung, ditunda, atau parsial. Selain itu, terms of service sering kali ditulis dengan bahasa hukum yang panjang dan membingungkan, sehingga sebagian besar pengguna hanya klik “setuju” tanpa benar-benar memahami risiko di baliknya. Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang informed consent—apakah pengguna benar-benar memberikan persetujuan berdasarkan pemahaman yang menyeluruh? Dalam konteks ini, transparansi dan perlindungan data menjadi aspek yang krusial namun masih banyak diabaikan.
Selain risiko privasi, penggunaan AI Ghibli Style juga berpotensi menimbulkan pelanggaran hak cipta, karena banyak model AI dilatih menggunakan karya visual Studio Ghibli tanpa izin. Meskipun terlihat sepele, hal ini bukan hanya masalah hukum, tetapi juga dapat menjadi celah keamanan. Konten yang meniru gaya berhak cipta tanpa atribusi dapat dimanfaatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab untuk melakukan pemerasan digital atau serangan sosial rekayasa, terutama jika data pengguna juga ikut terekspos. Dengan kata lain, pelanggaran hak cipta lewat AI dapat membuka risiko keamanan jangka panjang yang sering kali luput dari perhatian pengguna.
Tren AI Ghibli Style memang tampak menyenangkan di permukaan, namun di balik ilustrasi memesona yang dihasilkan, tersembunyi potensi dampak serius yang dapat memengaruhi privasi, keamanan, hingga reputasi digital seseorang. Ketika foto pribadi diunggah dan diproses oleh sistem berbasis AI, ada risiko besar bahwa data tersebut tidak hanya digunakan untuk keperluan sesaat, tetapi juga dimanfaatkan lebih lanjut tanpa sepengetahuan pengguna. Berikut beberapa dampak yang patut diwaspadai.
Salah satu risiko paling umum adalah gambar yang diunggah oleh pengguna dapat disimpan dan digunakan ulang sebagai bagian dari dataset pelatihan model AI. Ini berarti foto Anda bisa menjadi "materi latihan" bagi sistem kecerdasan buatan di masa depan—tanpa persetujuan atau kompensasi apa pun. Dalam banyak kasus, pengguna tidak diberikan pilihan eksplisit untuk menyetujui atau menolak penggunaan data mereka dalam pelatihan ulang model, yang menimbulkan persoalan etika dan hukum, terutama jika gambar yang digunakan mengandung identitas visual unik atau konteks pribadi.
Foto wajah beresolusi tinggi adalah aset berharga dalam dunia kejahatan siber. Dengan teknologi deepfake yang semakin canggih, wajah Anda yang pernah diunggah untuk keperluan hiburan bisa saja digunakan untuk membuat video palsu yang meyakinkan, baik untuk penipuan, penyebaran hoaks, maupun pencemaran nama baik. Mengingat wajah adalah bagian dari identitas digital yang tidak bisa diubah seperti kata sandi, penyalahgunaan semacam ini dapat berdampak jangka panjang dan sulit dikendalikan.
Lebih jauh lagi, informasi yang terkandung dalam gambar atau metadata-nya—seperti lokasi, waktu, atau bahkan konteks sosial—dapat digunakan oleh pelaku kejahatan siber untuk merancang serangan spear phishing. Jenis serangan ini menargetkan individu tertentu dengan pesan yang sangat personal dan meyakinkan, demi mendapatkan akses lebih lanjut ke informasi sensitif atau sistem internal perusahaan. Jika pengguna terbiasa membicarakan masalah pribadi dengan chatbot AI, seperti keuangan atau kesehatan, data yang dikumpulkan bisa memberi celah besar bagi pelaku untuk mengeksploitasi korban dengan cara yang semakin sulit dikenali.
Di tengah popularitas tren AI Ghibli Style yang terus meningkat, para pakar keamanan siber mengingatkan bahwa kesenangan digital sebaiknya tidak mengorbankan keamanan pribadi. Meskipun teknologi ini memberikan pengalaman kreatif yang menarik, pengguna tetap harus bijak dalam melindungi data dan identitas digital mereka. Berikut ini adalah sejumlah langkah pencegahan yang direkomendasikan oleh para ahli untuk menghindari risiko siber yang mungkin timbul saat menggunakan layanan AI berbasis gambar.
Langkah pertama yang paling mendasar adalah memperkuat perlindungan akun. Gunakan kata sandi yang kuat, unik, dan tidak digunakan di layanan lain untuk setiap akun AI yang Anda miliki. Aktifkan autentikasi dua faktor (2FA) untuk menambahkan lapisan keamanan ekstra yang melindungi akun dari akses tidak sah. Selain itu, manfaatkan password manager untuk mengelola kredensial dengan aman dan pertimbangkan penggunaan perangkat lunak keamanan yang dapat memberikan perlindungan terhadap malware, spyware, atau aktivitas mencurigakan di perangkat Anda.
Tren viral sering kali menjadi sasaran empuk bagi penjahat dunia maya untuk menyebarkan tautan berbahaya atau aplikasi palsu yang menyamar sebagai tools AI populer. Karena itu, penting untuk hanya mengakses aplikasi AI melalui situs resmi atau toko aplikasi tepercaya. Hindari mengklik tautan dari sumber tidak dikenal yang mengklaim bisa mengubah foto Anda menjadi ilustrasi Ghibli. Selain itu, jangan pernah membagikan informasi pribadi atau sensitif seperti alamat, nomor identitas, atau masalah pribadi ke chatbot AI—apa pun bentuk pertanyaannya.
Para pakar menyarankan agar pengguna memilih layanan AI yang sudah mapan dan memiliki reputasi baik, karena cenderung memiliki kebijakan privasi dan sistem keamanan yang lebih terstandarisasi. Sebelum mengunggah foto, gunakan alat penghapus metadata untuk menghilangkan informasi tersembunyi seperti lokasi, waktu, atau data perangkat yang dapat dieksploitasi. Seperti yang diungkapkan oleh Pratim Mukherjee dari McAfee, “Creativity becomes the hook, but what's being normalised is a pattern of data sharing that users don't fully understand.” Ungkapan ini menjadi pengingat bahwa di balik tampilan menyenangkan dan hasil yang menarik, penggunaan AI juga bisa menormalisasi praktik berbagi data yang berisiko, jika kita tidak waspada sejak awal.
Seiring dengan maraknya tren AI Ghibli Style, semakin banyak negara yang menyadari pentingnya regulasi dalam memastikan keamanan dan transparansi penggunaan data oleh platform AI. Beberapa negara mulai menuntut adanya keterbukaan tentang bagaimana data pengguna dikumpulkan, digunakan, dan disimpan oleh perusahaan penyedia layanan AI. Dorongan ini muncul karena banyak pengguna masih belum menyadari bahwa data yang mereka unggah—termasuk foto dan metadata—dapat digunakan kembali untuk melatih model AI tanpa persetujuan eksplisit. Selain itu, pakar juga menekankan perlunya audit keamanan dan sertifikasi privasi diferensial sebagai langkah perlindungan tambahan bagi konsumen digital.
Tak hanya soal data pribadi, regulasi yang kuat juga dibutuhkan untuk menjawab perdebatan seputar pelanggaran hak cipta dalam pengembangan AI. Pendukung AI berargumen bahwa teknologi ini membuka akses kreativitas bagi publik, namun penentangnya—termasuk Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli—menilai AI sebagai bentuk “penghinaan terhadap kehidupan” karena tidak mampu menangkap emosi manusia. Sejumlah seniman juga menuduh perusahaan AI mengeksploitasi karya mereka tanpa izin untuk melatih model, yang dianggap melanggar hak cipta secara moral.
Meskipun gaya artistik tidak dilindungi oleh hukum hak cipta menurut WIPO, ekspresi konkret seperti sketsa atau instruksi visual tetap berada dalam cakupan perlindungan. Karena itulah, diperlukan payung hukum yang lebih jelas dan seimbang—yang tidak hanya mendorong inovasi, tetapi juga menghargai hak ekonomi dan moral para seniman. Tanpa regulasi yang memadai, konflik antara teknologi dan seni dikhawatirkan akan semakin dalam dan bisa memicu krisis kreativitas di masa depan.
Baca juga: Eksploitasi ChatGPT: Bagaimana AI Bisa Disalahgunakan untuk Kejahatan?
Tren AI Ghibli Style memang menawarkan pengalaman kreatif yang menyenangkan dan memikat banyak pengguna dengan visual khas yang bernuansa nostalgia. Namun di balik keseruannya, terdapat berbagai risiko yang tidak boleh diabaikan—mulai dari potensi pelanggaran privasi dan penyalahgunaan data, hingga isu hak cipta yang kompleks karena penggunaan karya seniman tanpa izin. Meskipun teknologi AI dapat memperluas akses terhadap kreativitas, kita tetap perlu menjaga keseimbangan antara eksplorasi digital dan perlindungan hak serta identitas pribadi. Oleh karena itu, penting bagi setiap pengguna untuk memiliki kesadaran digital yang tinggi saat mengikuti tren berbasis AI. Nikmati teknologi dengan bijak, tetap waspada, dan selalu lindungi data pribadi Anda.