Human Risk Management Institute

Analisis Social Engineering: Mengapa Gamer Terjebak Skema Penipuan?

Written by Nur Rachmi Latifa | 04 Des 2025

Popularitas game mobile seperti PUBG Mobile dan Mobile Legends kini menjadikan dunia gaming sebagai ruang sosial baru yang dinamis, kompetitif, dan penuh interaksi. Namun, di balik keseruan dan adrenalin permainan, terselip ancaman yang kerap diabaikan seperti social engineering atau penipuan berbasis manipulasi psikologis. Banyak gamer tanpa sadar menjadi sasaran karena rasa percaya terhadap sesama pemain, dorongan untuk cepat naik peringkat, hingga godaan hadiah instan yang tampak menggiurkan. Dalam dunia digital yang semakin terhubung ini, ancaman tidak selalu datang dari virus atau peretas sistem, tetapi dari pesan, tautan, dan percakapan yang tampak biasa—namun dirancang untuk mencuri data, akun, bahkan identitas Anda.

Fenomena Social Engineering dalam Game Online

Social engineering adalah bentuk serangan yang memanfaatkan kelemahan manusia untuk mendapatkan informasi rahasia, bukan dengan meretas sistem, tetapi dengan memanipulasi psikologi korban. Dalam konteks dunia game online, teknik ini semakin sering digunakan karena tingginya tingkat interaksi sosial antar pemain dan rendahnya kesadaran keamanan digital. Pelaku biasanya memanfaatkan kepercayaan, rasa penasaran, dan keinginan instan pemain untuk menang. Seperti dijelaskan dalam jurnal “Analisis Serangan Social Engineering melalui Pretexting, Impersonating, dan Phishing pada Pemain Game Mobile Online” oleh Firizqi & Setiawan (2025), social engineering dilakukan dengan menciptakan situasi yang membuat korban percaya bahwa mereka berinteraksi dengan pihak yang sah—padahal tidak demikian.

Serangan ini biasanya berbentuk tiga pola utama. Pertama, pretexting, di mana pelaku menciptakan skenario palsu seperti jasa joki akun atau turnamen berhadiah untuk meminta data login pemain. Kedua, impersonation, yaitu penyamaran sebagai admin komunitas, influencer game, atau rekan satu tim untuk menciptakan rasa percaya. Ketiga, phishing, yaitu penyebaran tautan giveaway palsu yang mengarahkan korban ke situs login tiruan. Dalam studi Firizqi & Setiawan (2025) tersebut, ketiga teknik ini berhasil menipu lebih dari 70% pemain yang dijadikan sampel, membuktikan bahwa faktor manusia tetap menjadi titik terlemah dalam keamanan digital.

Temuan ini sejalan dengan penelitian lain seperti “Social Engineering Attack Concepts, Frameworks, and Awareness: A Systematic Literature Review” oleh Hweidi & Eleyan (2023) yang menekankan bahwa social engineering bergantung pada manipulasi emosi seperti rasa takut kehilangan (fear of missing out), keinginan untuk diakui, atau dorongan untuk mendapatkan hadiah cepat. Dalam dunia game online yang penuh kompetisi, elemen-elemen psikologis ini menjadi bahan bakar utama keberhasilan penipuan digital yang membuat social engineering bukan sekadar masalah teknologi, tetapi masalah perilaku manusia itu sendiri.

Baca juga: Cara Serangan Social Engineering Mengeksploitasi Psikologi Manusia

Bagaimana Skema Ini Bekerja?

Dalam praktiknya, social engineering di dunia game online bekerja dengan memadukan teknologi sederhana dan manipulasi psikologis yang kuat. Berdasarkan hasil penelitian “Analisis Serangan Social Engineering melalui Pretexting, Impersonating, dan Phishing pada Pemain Game Mobile Online” oleh Firizqi & Setiawan (2025), pelaku memanfaatkan platform yang sangat dekat dengan gamer seperti media sosial, forum komunitas, dan fitur chat dalam game untuk menjalankan aksinya. 

Mereka tidak menggunakan teknik rumit seperti malware, melainkan membangun kepercayaan melalui identitas palsu dan komunikasi yang tampak wajar. Dalam penelitian tersebut, dilakukan tiga simulasi serangan di komunitas pemain PUBG Mobile dan Mobile Legends, dan hasilnya cukup mengejutkan:

  • Pretexting: 31 dari 41 pemain tertipu melalui skenario jasa joki akun.
  • Impersonation: 33 dari 42 pemain tertipu melalui penyamaran sebagai perekrut atau admin komunitas.
  • Phishing: 24 dari 41 pemain tertipu melalui tautan giveaway palsu.

Secara keseluruhan, 88 akun berhasil diambil alih, meliputi akun game, media sosial, hingga email pribadi. Fakta ini menunjukkan betapa mudahnya manusia dimanipulasi dibandingkan sistem keamanan yang mereka gunakan. Selain itu, salah satu contoh paling menarik dari studi ini adalah akun Instagram palsu bernama Nubba.Corp, lengkap dengan logo komunitas dan testimoni buatan. 

Akun ini menawarkan jasa joki murah dan cepat untuk menarik korban. Begitu pemain tertarik dan mengisi formulir pemesanan, mereka diminta memasukkan email serta password dengan dalih agar penjoki bisa login. Akibatnya, data kredensial langsung disalahgunakan, bahkan beberapa akun terhubung ke Gmail dan media sosial lain korban. Kasus ini menggambarkan bagaimana kepercayaan dan rasa terburu-buru bisa menjadi senjata utama para pelaku social engineering.

Mengapa Gamer Mudah Terjebak?

Mengapa gamer mudah terjebak dalam skema social engineering bukan hanya karena kurangnya keamanan sistem, tetapi juga karena faktor perilaku dan psikologis. Dalam dunia game yang kompetitif dan cepat berubah, pemain sering kali mengambil keputusan impulsif tanpa mempertimbangkan risikonya. Berikut beberapa alasan utama yang membuat gamer menjadi target empuk bagi pelaku penipuan digital.

  1. Tekanan Sosial dan Kompetisi
    Dunia game online sangat dipengaruhi oleh gengsi dan pencapaian. Banyak pemain ingin naik rank cepat agar diakui oleh teman atau komunitasnya. Keinginan untuk tetap unggul ini sering dimanfaatkan oleh pelaku dengan menawarkan jasa joki atau peningkatan level yang tampak aman. Sayangnya, rasa percaya yang berlebihan sering membuat pemain abai terhadap potensi pencurian akun.
  2. Keterbatasan Waktu
    Gamer yang juga bekerja atau kuliah sering tidak punya waktu untuk bermain lama. Akibatnya, mereka mudah tergoda dengan penawaran “instan” seperti naik peringkat cepat atau bonus hadiah hanya dengan membagikan akun. Padahal, janji efisiensi waktu inilah yang sering menjadi umpan bagi penjahat siber untuk mencuri data login.
  3. Kurangnya Kesadaran Keamanan
    Banyak pemain masih belum paham bahwa memberikan email dan kata sandi—bahkan pada orang yang terlihat terpercaya adalah risiko besar. Terlebih lagi, sebagian menggunakan password yang sama di berbagai platform, membuat satu kebocoran bisa membuka semua akun. Minimnya edukasi keamanan menjadikan gamer sasaran empuk serangan manipulatif.
  4. Pengaruh Psikologis dan Rasa Percaya
    Pelaku social engineering pandai menciptakan rasa aman. Mereka meniru gaya komunikasi admin resmi, memakai logo komunitas, dan menampilkan testimoni palsu. Begitu korban merasa nyaman, mereka tanpa ragu menyerahkan data pribadi. Di sinilah kepercayaan berubah menjadi senjata bagi penipu.
  5. Budaya Instan dan FOMO (Fear of Missing Out)
    Gamer, terutama generasi muda, cenderung ingin hasil cepat dan takut ketinggalan. Melihat giveaway atau promosi terbatas sering membuat mereka bertindak impulsif. Rasa ingin cepat memiliki skin atau hadiah eksklusif justru menjadi jebakan paling efektif bagi pelaku social engineering.

Oleh karena itu, setiap gamer perlu memahami bahwa keamanan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang cara berpikir dan bertindak. Dengan lebih berhati-hati, tidak mudah percaya, serta membangun kebiasaan digital yang sehat, gamer dapat menikmati dunia permainan dengan aman tanpa harus takut menjadi korban penipuan online.

Siapa yang Paling Rentan?

Hasil penelitian dari “Analisis Serangan Social Engineering melalui Pretexting, Impersonating, dan Phishing pada Pemain Game Mobile Online” oleh Firizqi & Setiawan (2025) menunjukkan bahwa kelompok usia muda merupakan korban terbanyak dari serangan social engineering di dunia game. Kelompok usia 19–24 tahun mendominasi dengan persentase tertinggi, diikuti oleh 16–18 tahun, dan 13–15 tahun. Para pemain dalam rentang usia ini umumnya aktif di komunitas online, memiliki ambisi tinggi untuk naik peringkat, namun belum memiliki kesadaran keamanan digital yang memadai. Mereka lebih mudah percaya pada informasi yang tampak meyakinkan, terutama jika disertai iming-iming hadiah atau peningkatan status dalam game.

Sementara itu, pemain dengan latar belakang pendidikan SMA menjadi kelompok paling rentan terhadap penipuan digital. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah pelajar SMA yang aktif bermain game online, memiliki waktu luang cukup banyak, namun belum memahami pentingnya perlindungan data pribadi. Bahkan, sebagian besar dari mereka menganggap berbagi akun dengan teman atau penjoki bukanlah hal berisiko. Di sisi lain, kelompok mahasiswa S1 juga tidak sepenuhnya aman—mereka justru sering tertipu karena terlalu percaya diri dengan kemampuan digitalnya, padahal masih rentan terhadap trik manipulatif seperti impersonation atau phishing yang dikemas secara profesional.

Sebaliknya, kelompok usia 25–34 tahun menunjukkan tingkat kerentanan yang lebih rendah. Faktor kedewasaan, pengalaman digital yang lebih matang, serta prioritas hidup di luar dunia game membuat mereka lebih berhati-hati terhadap tawaran mencurigakan. Mereka cenderung skeptis terhadap giveaway, promosi instan, atau permintaan login yang tidak wajar. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa semakin muda usia seorang gamer, semakin tinggi risiko mereka menjadi korban social engineering, sehingga literasi keamanan digital sejak dini menjadi kunci utama untuk membangun ekosistem gaming yang aman.

Apa Dampak dari Social Engineering bagi Gamer?

Dampak serangan social engineering terhadap gamer tidak berhenti hanya pada kehilangan akun semata, tetapi dapat merambat ke berbagai aspek kehidupan digital dan emosional seseorang. Banyak pemain yang menganggap bahwa kehilangan akun hanyalah insiden kecil, padahal efeknya jauh lebih luas. Serangan ini bisa memengaruhi privasi, keuangan, bahkan kondisi psikologis korban. Berikut beberapa dampak yang umum terjadi akibat manipulasi dan penipuan digital di dunia game online.

  1. Kehilangan Akses Akun
    Dampak paling langsung dari serangan social engineering adalah hilangnya kendali atas akun game. Begitu akun diambil alih, pelaku dapat mengganti kata sandi, menjual akun tersebut, atau bahkan menggunakannya untuk menipu pemain lain. Dalam banyak kasus, akun yang dibangun selama bertahun-tahun dengan investasi waktu dan uang bisa hilang begitu saja dalam hitungan menit.
  2. Kebocoran Data Pribadi
    Banyak gamer yang menghubungkan akun game mereka dengan platform seperti Gmail atau Facebook demi kemudahan login. Sayangnya, ketika salah satu akun diretas, pelaku bisa menelusuri seluruh layanan lain yang terhubung. Hal ini membuat informasi pribadi seperti alamat email, nomor telepon, hingga data transaksi berpotensi terekspos dan disalahgunakan untuk penipuan lanjutan.
  3. Kerugian Finansial
    Dampak berikutnya adalah kerugian materi. Pelaku dapat menggunakan saldo dompet digital atau kartu kredit korban untuk membeli item dalam game, atau bahkan menjual data akun di pasar gelap. Tidak jarang korban baru menyadari kerugian finansial setelah saldo berkurang atau muncul transaksi mencurigakan di rekening mereka.
  4. Efek Domino Antar Akun
    Salah satu kesalahan paling umum yang dilakukan gamer adalah menggunakan kombinasi email dan kata sandi yang sama untuk semua platform. Begitu satu akun berhasil diretas, pelaku dapat dengan mudah mengakses akun lain seperti Instagram, TikTok, bahkan e-wallet. Efek domino ini membuat satu kesalahan kecil bisa berujung pada serangkaian kebocoran yang sulit dikendalikan.
  5. Dampak Psikologis
    Di luar kerugian digital, korban social engineering juga mengalami tekanan emosional. Mereka sering merasa malu, stres, dan kehilangan kepercayaan diri setelah ditipu oleh orang yang sebelumnya mereka percaya. Dalam komunitas gaming, kehilangan akun atau ditipu sering kali dianggap sebagai tanda kecerobohan, sehingga beberapa korban memilih diam dan tidak melapor.

Pada akhirnya, dampak social engineering terhadap gamer lebih luas daripada yang terlihat di permukaan. Serangan ini tidak hanya mencuri data, tetapi juga merusak rasa aman dan kepercayaan antaranggota komunitas game. Karena itu, kesadaran dan edukasi keamanan digital menjadi langkah penting agar setiap gamer dapat menikmati dunia game tanpa rasa khawatir menjadi korban manipulasi online.

Faktor yang Mencegah Serangan

Walaupun serangan social engineering terbukti sangat efektif, ada beberapa langkah keamanan yang dapat menjadi tameng utama bagi gamer untuk melindungi diri. Langkah-langkah ini sederhana, namun terbukti sangat berpengaruh dalam mencegah pengambilalihan akun. Semakin banyak pemain yang menerapkannya, semakin kecil peluang pelaku untuk berhasil memanipulasi targetnya.

Aktivasi Autentikasi Dua Faktor (2FA)

Fitur keamanan ini terbukti menjadi penghalang terbesar dalam penelitian oleh Firizqi & Setiawan (2025). Meskipun pelaku telah memiliki kombinasi email dan kata sandi, mereka tetap gagal masuk karena sistem mengharuskan verifikasi tambahan melalui kode yang dikirim ke ponsel pemilik akun. Langkah sederhana ini secara signifikan menurunkan tingkat keberhasilan serangan dan seharusnya menjadi standar bagi setiap gamer.

Verifikasi Perangkat

Banyak platform game kini dilengkapi dengan sistem notifikasi ketika ada upaya login dari perangkat baru. Fitur ini memberi waktu bagi pengguna untuk segera bertindak, seperti mengganti kata sandi atau memblokir akses yang mencurigakan. Selain itu, beberapa layanan juga mengharuskan otorisasi tambahan dari perangkat utama sebelum login baru disetujui, yang menjadi lapisan keamanan tambahan terhadap pencurian akun.

Edukasi dan Awareness

Tidak ada pertahanan yang lebih kuat daripada kesadaran diri. Gamer yang memahami cara kerja penipuan seperti phishing dan impersonation akan lebih waspada terhadap pesan, tautan, atau penawaran yang mencurigakan. Edukasi tentang keamanan digital, baik melalui komunitas maupun platform resmi, mampu menurunkan risiko secara signifikan. Dengan pengetahuan yang tepat, gamer dapat membedakan antara tawaran asli dan jebakan digital yang dirancang untuk mencuri informasi pribadi.

Pada akhirnya, kombinasi antara teknologi keamanan dan kesadaran pengguna adalah kunci utama dalam menekan angka serangan social engineering. Gamer yang melindungi akunnya dengan 2FA, waspada terhadap notifikasi login, dan terus memperbarui pengetahuan keamanannya akan jauh lebih sulit untuk dijadikan target oleh pelaku penipuan digital.

Bagaimana Cara Gamer Melindungi Diri?

Melindungi diri dari serangan social engineering sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan. Kuncinya adalah membangun kebiasaan keamanan digital yang konsisten, bukan hanya mengandalkan fitur bawaan platform. Gamer yang sadar risiko dan menerapkan langkah-langkah sederhana berikut bisa mengurangi kemungkinan menjadi korban secara signifikan.

  1. Aktifkan 2FA di Semua Akun
    Gunakan verifikasi dua langkah di seluruh akun penting—mulai dari akun game, Gmail, hingga media sosial. Setiap kali ada percobaan login, sistem akan meminta kode verifikasi tambahan yang hanya bisa diakses oleh Anda. Ini adalah pertahanan paling efektif untuk mencegah pengambilalihan akun.
  2. Jangan Pernah Berikan Password ke Siapa Pun
    Tidak ada alasan sah bagi siapa pun untuk meminta kata sandi Anda, bahkan jika mereka mengaku sebagai admin, penjoki profesional, atau bagian dari komunitas resmi. Selalu ingat: pihak resmi tidak pernah meminta data login melalui chat, email, atau formulir online.
  3. Gunakan Password Unik dan Kompleks
    Jangan menggunakan satu kombinasi password untuk semua akun. Buatlah kata sandi dengan kombinasi huruf besar, huruf kecil, angka, dan simbol. Jika sulit diingat, gunakan password manager yang aman untuk menyimpannya.
  4. Waspadai Giveaway dan Tautan Mencurigakan
    Jika ada tautan atau formulir yang menjanjikan hadiah dan meminta data pribadi, besar kemungkinan itu adalah penipuan. Pastikan Anda selalu memeriksa domain situs dan sumber pengirim sebelum mengklik apa pun. Jangan tergesa-gesa hanya karena takut ketinggalan hadiah.
  5. Edukasi Komunitas Game Anda
    Bagikan pengetahuan ini kepada teman dan komunitas Anda di Discord, WhatsApp, atau forum game. Kesadaran kolektif adalah benteng terkuat dalam mencegah penipuan digital. Semakin banyak gamer yang waspada, semakin kecil peluang pelaku untuk menipu anggota komunitas lainnya.

Langkah-langkah sederhana ini, bila diterapkan secara konsisten, dapat menciptakan budaya keamanan yang kuat di dunia game online. Pada akhirnya, menjaga akun dan data pribadi bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap komunitas gamer secara keseluruhan.

Pelajaran Penting dari Studi Ini

Pelajaran penting dari penelitian “Analisis Serangan Social Engineering melalui Pretexting, Impersonating, dan Phishing pada Pemain Game Mobile Online” oleh Firizqi & Setiawan (2025), menegaskan bahwa teknik impersonation adalah bentuk serangan social engineering yang paling berbahaya. Para pelaku tidak perlu memiliki kemampuan teknis luar biasa; mereka hanya perlu pandai membangun kepercayaan, memahami psikologi pemain, dan memanfaatkan rasa aman palsu yang diciptakan melalui komunikasi meyakinkan. Faktor manusia terbukti menjadi titik terlemah dalam rantai keamanan digital, karena keinginan untuk diakui, terburu-buru, atau percaya pada otoritas palsu sering membuat seseorang lengah dan kehilangan kendali atas akun pribadinya.

Seiring berkembangnya ekosistem game yang kini terhubung dengan media sosial dan dompet digital, risiko kebocoran data semakin besar. Ketika satu akun diretas, efeknya bisa menjalar ke banyak platform lain yang saling terhubung. Oleh sebab itu, keamanan bukan lagi tanggung jawab pengembang game semata, tetapi juga kewajiban setiap pemain. Dengan membangun kesadaran dan kedisiplinan dalam menjaga data pribadi, gamer dapat menjadi lapisan pertahanan pertama yang paling kuat dalam menghadapi serangan manipulatif seperti social engineering.

Baca juga: 7 Bias Psikologis yang Membuat Korban Mudah Terjebak Online Scam

Kesimpulan

Social engineering adalah penipuan yang menargetkan manusia, bukan sistem. Di dunia game yang kompetitif, budaya instan, rasa takut tertinggal (FOMO), dan kurangnya edukasi keamanan membuat gamer mudah dimanipulasi. Namun, langkah sederhana seperti mengaktifkan 2FA, membuat kata sandi unik, dan berhati-hati pada tautan mencurigakan sudah cukup untuk mencegah risiko penipuan. Game seharusnya menjadi tempat untuk bersenang-senang, bukan kehilangan data. Maka, jadilah gamer yang cerdas, waspada, dan sadar akan risiko digital.