Popularitas game mobile seperti PUBG Mobile dan Mobile Legends kini menjadikan dunia gaming sebagai ruang sosial baru yang dinamis, kompetitif, dan penuh interaksi. Namun, di balik keseruan dan adrenalin permainan, terselip ancaman yang kerap diabaikan seperti social engineering atau penipuan berbasis manipulasi psikologis. Banyak gamer tanpa sadar menjadi sasaran karena rasa percaya terhadap sesama pemain, dorongan untuk cepat naik peringkat, hingga godaan hadiah instan yang tampak menggiurkan. Dalam dunia digital yang semakin terhubung ini, ancaman tidak selalu datang dari virus atau peretas sistem, tetapi dari pesan, tautan, dan percakapan yang tampak biasa—namun dirancang untuk mencuri data, akun, bahkan identitas Anda.
Social engineering adalah bentuk serangan yang memanfaatkan kelemahan manusia untuk mendapatkan informasi rahasia, bukan dengan meretas sistem, tetapi dengan memanipulasi psikologi korban. Dalam konteks dunia game online, teknik ini semakin sering digunakan karena tingginya tingkat interaksi sosial antar pemain dan rendahnya kesadaran keamanan digital. Pelaku biasanya memanfaatkan kepercayaan, rasa penasaran, dan keinginan instan pemain untuk menang. Seperti dijelaskan dalam jurnal “Analisis Serangan Social Engineering melalui Pretexting, Impersonating, dan Phishing pada Pemain Game Mobile Online” oleh Firizqi & Setiawan (2025), social engineering dilakukan dengan menciptakan situasi yang membuat korban percaya bahwa mereka berinteraksi dengan pihak yang sah—padahal tidak demikian.
Serangan ini biasanya berbentuk tiga pola utama. Pertama, pretexting, di mana pelaku menciptakan skenario palsu seperti jasa joki akun atau turnamen berhadiah untuk meminta data login pemain. Kedua, impersonation, yaitu penyamaran sebagai admin komunitas, influencer game, atau rekan satu tim untuk menciptakan rasa percaya. Ketiga, phishing, yaitu penyebaran tautan giveaway palsu yang mengarahkan korban ke situs login tiruan. Dalam studi Firizqi & Setiawan (2025) tersebut, ketiga teknik ini berhasil menipu lebih dari 70% pemain yang dijadikan sampel, membuktikan bahwa faktor manusia tetap menjadi titik terlemah dalam keamanan digital.
Temuan ini sejalan dengan penelitian lain seperti “Social Engineering Attack Concepts, Frameworks, and Awareness: A Systematic Literature Review” oleh Hweidi & Eleyan (2023) yang menekankan bahwa social engineering bergantung pada manipulasi emosi seperti rasa takut kehilangan (fear of missing out), keinginan untuk diakui, atau dorongan untuk mendapatkan hadiah cepat. Dalam dunia game online yang penuh kompetisi, elemen-elemen psikologis ini menjadi bahan bakar utama keberhasilan penipuan digital yang membuat social engineering bukan sekadar masalah teknologi, tetapi masalah perilaku manusia itu sendiri.
Baca juga: Cara Serangan Social Engineering Mengeksploitasi Psikologi Manusia
Dalam praktiknya, social engineering di dunia game online bekerja dengan memadukan teknologi sederhana dan manipulasi psikologis yang kuat. Berdasarkan hasil penelitian “Analisis Serangan Social Engineering melalui Pretexting, Impersonating, dan Phishing pada Pemain Game Mobile Online” oleh Firizqi & Setiawan (2025), pelaku memanfaatkan platform yang sangat dekat dengan gamer seperti media sosial, forum komunitas, dan fitur chat dalam game untuk menjalankan aksinya.
Mereka tidak menggunakan teknik rumit seperti malware, melainkan membangun kepercayaan melalui identitas palsu dan komunikasi yang tampak wajar. Dalam penelitian tersebut, dilakukan tiga simulasi serangan di komunitas pemain PUBG Mobile dan Mobile Legends, dan hasilnya cukup mengejutkan:
Secara keseluruhan, 88 akun berhasil diambil alih, meliputi akun game, media sosial, hingga email pribadi. Fakta ini menunjukkan betapa mudahnya manusia dimanipulasi dibandingkan sistem keamanan yang mereka gunakan. Selain itu, salah satu contoh paling menarik dari studi ini adalah akun Instagram palsu bernama “Nubba.Corp”, lengkap dengan logo komunitas dan testimoni buatan.
Akun ini menawarkan jasa joki murah dan cepat untuk menarik korban. Begitu pemain tertarik dan mengisi formulir pemesanan, mereka diminta memasukkan email serta password dengan dalih agar penjoki bisa login. Akibatnya, data kredensial langsung disalahgunakan, bahkan beberapa akun terhubung ke Gmail dan media sosial lain korban. Kasus ini menggambarkan bagaimana kepercayaan dan rasa terburu-buru bisa menjadi senjata utama para pelaku social engineering.
Mengapa gamer mudah terjebak dalam skema social engineering bukan hanya karena kurangnya keamanan sistem, tetapi juga karena faktor perilaku dan psikologis. Dalam dunia game yang kompetitif dan cepat berubah, pemain sering kali mengambil keputusan impulsif tanpa mempertimbangkan risikonya. Berikut beberapa alasan utama yang membuat gamer menjadi target empuk bagi pelaku penipuan digital.
Oleh karena itu, setiap gamer perlu memahami bahwa keamanan bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang cara berpikir dan bertindak. Dengan lebih berhati-hati, tidak mudah percaya, serta membangun kebiasaan digital yang sehat, gamer dapat menikmati dunia permainan dengan aman tanpa harus takut menjadi korban penipuan online.
Hasil penelitian dari “Analisis Serangan Social Engineering melalui Pretexting, Impersonating, dan Phishing pada Pemain Game Mobile Online” oleh Firizqi & Setiawan (2025) menunjukkan bahwa kelompok usia muda merupakan korban terbanyak dari serangan social engineering di dunia game. Kelompok usia 19–24 tahun mendominasi dengan persentase tertinggi, diikuti oleh 16–18 tahun, dan 13–15 tahun. Para pemain dalam rentang usia ini umumnya aktif di komunitas online, memiliki ambisi tinggi untuk naik peringkat, namun belum memiliki kesadaran keamanan digital yang memadai. Mereka lebih mudah percaya pada informasi yang tampak meyakinkan, terutama jika disertai iming-iming hadiah atau peningkatan status dalam game.
Sementara itu, pemain dengan latar belakang pendidikan SMA menjadi kelompok paling rentan terhadap penipuan digital. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah pelajar SMA yang aktif bermain game online, memiliki waktu luang cukup banyak, namun belum memahami pentingnya perlindungan data pribadi. Bahkan, sebagian besar dari mereka menganggap berbagi akun dengan teman atau penjoki bukanlah hal berisiko. Di sisi lain, kelompok mahasiswa S1 juga tidak sepenuhnya aman—mereka justru sering tertipu karena terlalu percaya diri dengan kemampuan digitalnya, padahal masih rentan terhadap trik manipulatif seperti impersonation atau phishing yang dikemas secara profesional.
Sebaliknya, kelompok usia 25–34 tahun menunjukkan tingkat kerentanan yang lebih rendah. Faktor kedewasaan, pengalaman digital yang lebih matang, serta prioritas hidup di luar dunia game membuat mereka lebih berhati-hati terhadap tawaran mencurigakan. Mereka cenderung skeptis terhadap giveaway, promosi instan, atau permintaan login yang tidak wajar. Dari temuan ini dapat disimpulkan bahwa semakin muda usia seorang gamer, semakin tinggi risiko mereka menjadi korban social engineering, sehingga literasi keamanan digital sejak dini menjadi kunci utama untuk membangun ekosistem gaming yang aman.
Dampak serangan social engineering terhadap gamer tidak berhenti hanya pada kehilangan akun semata, tetapi dapat merambat ke berbagai aspek kehidupan digital dan emosional seseorang. Banyak pemain yang menganggap bahwa kehilangan akun hanyalah insiden kecil, padahal efeknya jauh lebih luas. Serangan ini bisa memengaruhi privasi, keuangan, bahkan kondisi psikologis korban. Berikut beberapa dampak yang umum terjadi akibat manipulasi dan penipuan digital di dunia game online.
Pada akhirnya, dampak social engineering terhadap gamer lebih luas daripada yang terlihat di permukaan. Serangan ini tidak hanya mencuri data, tetapi juga merusak rasa aman dan kepercayaan antaranggota komunitas game. Karena itu, kesadaran dan edukasi keamanan digital menjadi langkah penting agar setiap gamer dapat menikmati dunia game tanpa rasa khawatir menjadi korban manipulasi online.
Walaupun serangan social engineering terbukti sangat efektif, ada beberapa langkah keamanan yang dapat menjadi tameng utama bagi gamer untuk melindungi diri. Langkah-langkah ini sederhana, namun terbukti sangat berpengaruh dalam mencegah pengambilalihan akun. Semakin banyak pemain yang menerapkannya, semakin kecil peluang pelaku untuk berhasil memanipulasi targetnya.
Fitur keamanan ini terbukti menjadi penghalang terbesar dalam penelitian oleh Firizqi & Setiawan (2025). Meskipun pelaku telah memiliki kombinasi email dan kata sandi, mereka tetap gagal masuk karena sistem mengharuskan verifikasi tambahan melalui kode yang dikirim ke ponsel pemilik akun. Langkah sederhana ini secara signifikan menurunkan tingkat keberhasilan serangan dan seharusnya menjadi standar bagi setiap gamer.
Banyak platform game kini dilengkapi dengan sistem notifikasi ketika ada upaya login dari perangkat baru. Fitur ini memberi waktu bagi pengguna untuk segera bertindak, seperti mengganti kata sandi atau memblokir akses yang mencurigakan. Selain itu, beberapa layanan juga mengharuskan otorisasi tambahan dari perangkat utama sebelum login baru disetujui, yang menjadi lapisan keamanan tambahan terhadap pencurian akun.
Tidak ada pertahanan yang lebih kuat daripada kesadaran diri. Gamer yang memahami cara kerja penipuan seperti phishing dan impersonation akan lebih waspada terhadap pesan, tautan, atau penawaran yang mencurigakan. Edukasi tentang keamanan digital, baik melalui komunitas maupun platform resmi, mampu menurunkan risiko secara signifikan. Dengan pengetahuan yang tepat, gamer dapat membedakan antara tawaran asli dan jebakan digital yang dirancang untuk mencuri informasi pribadi.
Pada akhirnya, kombinasi antara teknologi keamanan dan kesadaran pengguna adalah kunci utama dalam menekan angka serangan social engineering. Gamer yang melindungi akunnya dengan 2FA, waspada terhadap notifikasi login, dan terus memperbarui pengetahuan keamanannya akan jauh lebih sulit untuk dijadikan target oleh pelaku penipuan digital.
Melindungi diri dari serangan social engineering sebenarnya tidak serumit yang dibayangkan. Kuncinya adalah membangun kebiasaan keamanan digital yang konsisten, bukan hanya mengandalkan fitur bawaan platform. Gamer yang sadar risiko dan menerapkan langkah-langkah sederhana berikut bisa mengurangi kemungkinan menjadi korban secara signifikan.
Langkah-langkah sederhana ini, bila diterapkan secara konsisten, dapat menciptakan budaya keamanan yang kuat di dunia game online. Pada akhirnya, menjaga akun dan data pribadi bukan hanya tanggung jawab individu, tetapi juga bentuk kepedulian terhadap komunitas gamer secara keseluruhan.
Pelajaran penting dari penelitian “Analisis Serangan Social Engineering melalui Pretexting, Impersonating, dan Phishing pada Pemain Game Mobile Online” oleh Firizqi & Setiawan (2025), menegaskan bahwa teknik impersonation adalah bentuk serangan social engineering yang paling berbahaya. Para pelaku tidak perlu memiliki kemampuan teknis luar biasa; mereka hanya perlu pandai membangun kepercayaan, memahami psikologi pemain, dan memanfaatkan rasa aman palsu yang diciptakan melalui komunikasi meyakinkan. Faktor manusia terbukti menjadi titik terlemah dalam rantai keamanan digital, karena keinginan untuk diakui, terburu-buru, atau percaya pada otoritas palsu sering membuat seseorang lengah dan kehilangan kendali atas akun pribadinya.
Seiring berkembangnya ekosistem game yang kini terhubung dengan media sosial dan dompet digital, risiko kebocoran data semakin besar. Ketika satu akun diretas, efeknya bisa menjalar ke banyak platform lain yang saling terhubung. Oleh sebab itu, keamanan bukan lagi tanggung jawab pengembang game semata, tetapi juga kewajiban setiap pemain. Dengan membangun kesadaran dan kedisiplinan dalam menjaga data pribadi, gamer dapat menjadi lapisan pertahanan pertama yang paling kuat dalam menghadapi serangan manipulatif seperti social engineering.
Baca juga: 7 Bias Psikologis yang Membuat Korban Mudah Terjebak Online Scam
Social engineering adalah penipuan yang menargetkan manusia, bukan sistem. Di dunia game yang kompetitif, budaya instan, rasa takut tertinggal (FOMO), dan kurangnya edukasi keamanan membuat gamer mudah dimanipulasi. Namun, langkah sederhana seperti mengaktifkan 2FA, membuat kata sandi unik, dan berhati-hati pada tautan mencurigakan sudah cukup untuk mencegah risiko penipuan. Game seharusnya menjadi tempat untuk bersenang-senang, bukan kehilangan data. Maka, jadilah gamer yang cerdas, waspada, dan sadar akan risiko digital.