Great Firewall dikenal sebagai sistem sensor internet paling ketat di dunia, yang selama ini menjadi simbol kontrol digital pemerintah China terhadap arus informasi. Namun, reputasi itu kini terguncang setelah terjadi kebocoran data terbesar dalam sejarah negara tersebut, yang mengejutkan komunitas internasional. Sekitar 600 GB data sensitif, mulai dari kode sumber hingga komunikasi internal, berhasil bocor ke publik dan menimbulkan kekhawatiran global mengenai keamanan serta keberlangsungan sistem sensor internet yang selama ini dijaga rapat.
Kebocoran besar ini dilaporkan terjadi pada 11 September 2025 dan langsung mengguncang dunia maya. Peristiwa ini menjadi catatan kelam dalam sejarah pengendalian internet China karena melibatkan sistem sensor paling ikonik, yaitu Great Firewall. Besarnya skandal ini membuat banyak pihak mempertanyakan sejauh mana keamanan data internal pemerintah mampu bertahan menghadapi ancaman modern.
Dari total 600 GB data yang bocor, isinya bukan sekadar informasi ringan. Data tersebut meliputi repositori perangkat lunak berukuran raksasa, catatan pengembangan sistem yang mendetail, dokumen proyek beserta kontrak kerja sama, hingga komunikasi internal antara pihak-pihak terkait. Semua ini memberi gambaran nyata mengenai bagaimana sistem sensor internet dibangun dan dioperasikan secara terstruktur.
Yang lebih mengejutkan lagi, kebocoran tersebut menyingkap teknologi inti yang digunakan untuk menyaring internet di China. Di dalamnya tercatat penggunaan Deep Packet Inspection (DPI) untuk memantau lalu lintas data, mekanisme deteksi VPN untuk menghalangi pengguna melompati sensor, metode SSL fingerprinting guna melacak enkripsi, serta modul logging yang merekam aktivitas online masyarakat. Detail ini memberi peluang besar bagi pihak luar untuk memahami sekaligus menemukan celah dari sistem yang selama ini dianggap hampir tak tertembus.
Baca juga: Apa itu RomCom? Mengapa Mereka Memilih WinRAR sebagai Target Zero-Day
Kebocoran data ini juga mengungkap fakta mengejutkan bahwa teknologi sensor internet China tidak hanya digunakan untuk mengendalikan informasi di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke luar negeri. Dengan kata lain, Great Firewall telah menjadi alat geopolitik yang memperluas pengaruh digital China ke berbagai kawasan dunia, terutama negara-negara yang membutuhkan sistem kontrol informasi serupa.
Beberapa dokumen yang bocor menyebut secara eksplisit sejumlah negara penerima teknologi sensor ini, termasuk Myanmar, Pakistan, Ethiopia, dan Kazakhstan. Tidak berhenti di situ, beberapa negara yang terlibat dalam proyek Belt and Road Initiative juga dikaitkan dengan penggunaan teknologi tersebut. Fakta ini menegaskan bahwa strategi China bukan sekadar menjaga kestabilan internal, tetapi juga membangun jaringan pengaruh digital di skala internasional.
Dalam dokumen, sistem Tiangou digambarkan sebagai “Great Firewall in a Box”, yaitu paket komersial yang siap dipasang di gerbang internet (IXP) sebuah negara. Dengan perangkat ini, pemerintah bisa melakukan pemblokiran massal atau penyaringan selektif terhadap lalu lintas internet, persis seperti yang dilakukan China di dalam negerinya. Konsep ini memperlihatkan bagaimana sensor internet tidak hanya menjadi instrumen domestik, tetapi juga produk ekspor dengan daya kendali yang besar.
Menurut laporan, salah satu sumber utama kebocoran diduga berasal dari Geedge Networks, sebuah perusahaan yang dipimpin oleh Fang Binxing, tokoh yang dikenal luas sebagai “Bapak Great Firewall.” Keterlibatan Geedge menjadi sorotan karena perusahaan ini selama bertahun-tahun menjadi pemain kunci dalam mengembangkan sistem sensor internet China. Jika benar data bocor dari sini, hal ini sekaligus menodai reputasi sang arsitek utama Great Firewall.
Selain Geedge, kebocoran besar ini juga ditelusuri ke MESA Lab, sebuah lembaga riset di bawah Akademi Sains China. Lembaga ini disebut menyumbang porsi terbesar dari data yang tersebar, yakni sekitar 500 GB, yang berisi catatan teknis serta dokumen internal hasil penelitian. Keterlibatan MESA Lab menambah dimensi baru pada skandal ini, karena membuktikan bahwa tidak hanya entitas komersial, tetapi juga institusi riset pemerintah ikut terdampak.
Isi data yang bocor tidak main-main: mencakup arsitektur internal Great Firewall, dokumentasi teknis, hingga kontrak kerja sama dengan berbagai mitra riset dan penyedia teknologi. Dengan detail sekompleks ini, dunia kini memiliki akses untuk melihat bagaimana sistem sensor paling ketat di dunia dirancang, dijalankan, dan dikelola secara administratif maupun teknis.
Meski Great Firewall selama ini dikenal sebagai sistem sensor internet yang hampir tak tertembus, kebocoran data raksasa ini justru memperlihatkan sisi rapuh yang selama ini tersembunyi. Ada setidaknya tiga risiko utama yang muncul dari bocornya dokumen rahasia tersebut.
Kebocoran data ini membuka peluang besar bagi para pengembang circumvention tools atau alat penembus sensor untuk memahami secara detail cara kerja Great Firewall. Dengan informasi teknis yang bocor, mereka bisa merancang metode baru yang lebih efektif untuk melewati penyaringan, mulai dari memodifikasi protokol hingga menciptakan aplikasi yang mampu menyamarkan lalu lintas internet agar tidak terdeteksi.
Selain itu, dokumen yang tersebar juga memperlihatkan adanya celah dalam konfigurasi sistem dan protokol yang digunakan. Celah ini bisa dimanfaatkan untuk menguji batas keamanan Great Firewall, mengeksploitasi kesalahan teknis, atau bahkan melumpuhkan sebagian fungsinya. Kondisi ini jelas berisiko karena apa yang sebelumnya menjadi rahasia internal kini dapat dianalisis secara terbuka oleh siapa saja, termasuk pihak asing.
Secara strategis, kebocoran ini berpotensi melemahkan kendali pemerintah China atas arus informasi di internet. Selama ini Great Firewall menjadi simbol kekuatan digital China dalam mengontrol ruang siber, namun dengan detail teknis yang bocor, kontrol tersebut bisa berkurang. Jika kelemahan dimanfaatkan secara luas, maka efektivitas sensor menurun dan citra China sebagai negara dengan kontrol digital paling kuat ikut tercoreng di mata dunia.
Hingga saat ini, pemerintah China memilih bungkam dan belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait kebocoran data Great Firewall. Diamnya otoritas menimbulkan banyak spekulasi mengenai penyebab insiden ini, apakah disebabkan oleh serangan eksternal yang berhasil menembus pertahanan, kebocoran internal dari pihak yang memiliki akses, atau justru akibat kesalahan teknis dalam konfigurasi server. Ketidakjelasan ini hanya menambah tanda tanya besar di tengah sorotan dunia internasional.
Di sisi lain, kasus ini terjadi dalam konteks kontrol digital yang begitu ketat di China. Selama bertahun-tahun, hampir semua platform global populer seperti Google, Facebook, Instagram, WhatsApp, hingga YouTube dan Twitter (X) diblokir demi menjaga arus informasi tetap sesuai kebijakan pemerintah. Dengan reputasi seperti itu, kebocoran ini terasa ironis: di satu sisi China berusaha menutup rapat akses informasi bagi warganya, namun di sisi lain justru gagal menjaga rahasia internal yang paling sensitif.
Kebocoran data Great Firewall tidak hanya berdampak pada China secara internal, tetapi juga membawa konsekuensi yang luas di tingkat global. Ada setidaknya tiga implikasi besar yang perlu dicermati dari insiden ini.
Insiden ini memberikan pukulan besar terhadap citra China sebagai negara dengan kendali digital paling kuat di dunia. Selama ini, Great Firewall dianggap sebagai simbol kemampuan teknis dan kekuatan politik China dalam mengatur internet. Namun, bocornya 600 GB data sensitif membuat dunia melihat adanya celah serius dalam sistem tersebut, yang pada akhirnya menurunkan reputasi dan kredibilitas China di mata internasional.
Kebocoran ini juga berdampak langsung pada negara-negara yang telah mengadopsi teknologi sensor buatan China. Myanmar, Pakistan, Ethiopia, Kazakhstan, dan negara lain dalam proyek Belt and Road Initiative kini menghadapi risiko serupa, karena detail teknis sistem yang mereka gunakan ikut terekspos. Hal ini membuka kemungkinan sistem sensor di negara-negara tersebut dapat dilemahkan atau bahkan ditembus oleh pihak luar.
Selain melemahkan sistem sensor, kebocoran ini juga bisa menjadi pemicu lahirnya inovasi baru dalam bypass internet. Para peneliti, aktivis digital, hingga pengembang teknologi circumvention tools kini memiliki bahan berharga untuk merancang metode lebih efektif dalam menembus sensor. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi mengubah lanskap kebebasan informasi global, di mana kontrol ketat terhadap internet semakin sulit dipertahankan.
Baca juga: Penipuan Investasi Era AI: Deepfake Menggiring Korban di Meta
Kebocoran data Great Firewall menjadi titik balik penting dalam sejarah sensor digital China sekaligus membuka mata dunia bahwa bahkan sistem pengendalian internet paling ketat pun tidak kebal dari kelemahan. Peristiwa ini tidak hanya memicu peluang besar bagi riset keamanan siber dan pengembangan teknologi bypass sensor, tetapi juga memberi harapan baru bagi kebebasan internet di berbagai negara. Pada akhirnya, kasus ini menegaskan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola data berskala nasional, karena kontrol yang berlebihan tanpa keterbukaan justru dapat berbalik menjadi ancaman serius bagi otoritas yang menjaganya.