Human Risk Management Institute

Hubungan antara Dark Web, Data Breach, dan Penipuan Finansial

Written by Nur Rachmi Latifa | 25 Des 2025

Di balik kemudahan hidup digital yang serba online, ada sisi gelap internet yang jarang disadari banyak orang yaitu Dark Web. Bagian tersembunyi dari dunia maya ini sering menjadi tempat jual beli data hasil kebocoran dan aksi penipuan finansial yang merugikan banyak pihak. Awalnya diciptakan untuk menjaga privasi dan anonimitas pengguna, Dark Web kini justru sering dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber. Artikel ini akan mengulas hubungan antara Dark Web, kebocoran data, dan penipuan finansial, serta bagaimana kita bisa melindungi diri di tengah meningkatnya ancaman digital.

Dark Web dan Bagaimana Cara Kerjanya

Internet yang kita gunakan sehari-hari ternyata hanya sebagian kecil dari seluruh jaringan global yang jauh lebih luas dan kompleks. Internet terbagi menjadi tiga lapisan utama yang memiliki karakteristik berbeda dalam hal aksesibilitas dan fungsi:

  • Surface Web: bagian yang terlihat publik dan dapat diindeks oleh mesin pencari seperti Google, mencakup hanya sekitar 0,03% dari seluruh internet.
  • Deep Web: mencakup data pribadi dan sistem tertutup seperti email, perbankan online, dan database yang memerlukan login.
  • Dark Web: bagian kecil dari Deep Web yang hanya dapat diakses menggunakan browser khusus seperti Tor (The Onion Router).

Menurut jurnal “Dark Web and Cyber Scams: A Growing Threat to Online Safety” oleh Nagaraju Arthan, Goutham Kacheru, dan Rohit Bajjuru (2023), Dark Web bermula dari proyek militer Amerika Serikat pada 1990-an bernama Onion Routing, yang diciptakan untuk menjaga anonimitas komunikasi digital. Sistem ini bekerja dengan mengenkripsi data dalam beberapa lapisan seperti kulit bawang dan mengirimkannya melalui serangkaian server acak sehingga sumber dan tujuan komunikasi sulit dilacak.

Awalnya digunakan untuk komunikasi rahasia militer dan penelitian, teknologi Tor kini banyak disalahgunakan oleh pelaku kejahatan siber untuk aktivitas ilegal seperti perdagangan data hasil kebocoran, pencurian identitas, hingga transaksi gelap menggunakan cryptocurrency. Penelitian lain oleh Chertoff (2017) dalam “A Public Policy Perspective of the Dark Web” juga menegaskan bahwa meskipun teknologi anonim memiliki manfaat bagi privasi, penyalahgunaannya menimbulkan tantangan besar bagi keamanan siber dan regulasi global.

Baca juga: Dampak Bisnis dan Reputasi dari Latitude Financial Data Breach

Aktivitas Ilegal di Dark Web

Dark Web ibarat pasar gelap raksasa yang beroperasi di bawah permukaan internet, memperdagangkan hampir segala hal mulai dari data pribadi, akun bank curian, hingga perangkat lunak berbahaya (malware). Dalam jurnal Arthan et al. (2023) dijelaskan bahwa ekosistem ini telah berkembang menjadi ruang ekonomi ilegal yang sangat terorganisir, di mana para pelaku kejahatan siber memanfaatkan anonimitas untuk meraup keuntungan besar dan menghindari pelacakan aparat penegak hukum. Beberapa bentuk aktivitas berisiko yang umum ditemukan antara lain:

  • Penjualan data hasil kebocoran (data breach): mencakup KTP digital, data login akun bank, hingga kredensial email dan akun media sosial.
  • Layanan penipuan finansial: seperti jual beli rekening palsu, kartu kredit curian, phishing kits, serta jasa pencucian uang berbasis kripto.
  • Perdagangan malware: meliputi ransomware, trojan, dan remote access tools yang digunakan untuk mencuri data keuangan, memata-matai korban, atau mengenkripsi sistem demi tebusan.

Salah satu contoh paling terkenal adalah pasar gelap Silk Road, yang pernah menjadi pusat transaksi ilegal bernilai jutaan dolar sebelum ditutup oleh FBI pada tahun 2013. Namun, penutupan tersebut hanya bersifat sementara, karena situs-situs baru dengan konsep serupa seperti AlphaBay dan Dream Market terus bermunculan. Fenomena ini menunjukkan bahwa selama anonimitas dan cryptocurrency masih mendominasi ekosistem digital, aktivitas ilegal di Dark Web akan terus berevolusi dan sulit diberantas sepenuhnya.

Dark Web dan Fenomena Data Breach

Kebocoran data atau data breach merupakan salah satu pintu masuk utama menuju aktivitas kejahatan finansial di Dark Web. Ketika data sensitif bocor dari perusahaan, rumah sakit, atau platform digital, informasi tersebut biasanya tidak berhenti di tangan peretas. Data itu segera dijual di forum-forum anonim yang hanya bisa diakses melalui jaringan terenkripsi seperti Tor, dengan harga yang bervariasi tergantung pada jenis dan nilai informasinya. Fenomena ini menjadikan Dark Web sebagai pasar gelap global bagi data pribadi, di mana setiap potongan informasi memiliki nilai ekonomi tersendiri. Contohnya:

  • Data login perbankan: dijual mulai dari $10 per akun.
  • Data kartu kredit aktif: dapat mencapai $50–$100 per data.
  • Data pribadi lengkap (fullz): meliputi nama, alamat, NIK, NPWP, dan nomor rekening, bisa dijual hingga ratusan dolar per paket.

Dalam jurnal Arthan et al. (2023) disebutkan bahwa data hasil kebocoran besar, seperti insiden Office of Personnel Management (OPM) Amerika Serikat tahun 2015, ditemukan beredar di forum-forum Dark Web untuk diperjualbelikan secara massal. Hal ini menunjukkan bahwa data breach bukan lagi sekadar persoalan privasi digital, tetapi telah menjadi ancaman nyata terhadap keamanan finansial individu maupun organisasi. Setiap kebocoran data yang tidak ditangani dengan cepat dapat membuka peluang besar bagi pelaku kejahatan siber untuk melakukan pencurian identitas, penipuan finansial, hingga penyalahgunaan akun pribadi secara sistematis.

Rantai Hubungan: Dari Data Breach ke Penipuan Finansial

Hubungan antara data breach dan penipuan finansial dapat digambarkan sebagai rantai kejahatan yang saling berkaitan dan terus berputar. Ketika data bocor akibat serangan siber atau kelalaian sistem keamanan, informasi tersebut jarang berhenti di tangan peretas pertama. Data itu kemudian diperjualbelikan di Dark Web—baik melalui forum diskusi tertutup maupun marketplace anonim untuk dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan lain. Dari sinilah dimulai proses panjang yang menjadikan kebocoran data sebagai bahan bakar utama bagi berbagai bentuk penipuan digital. Secara umum, rantai hubungan tersebut dijelaskan dalam penelitian Arthan et al. (2023) yang berjalan melalui tiga tahap:

  1. Kebocoran data terjadi akibat serangan siber atau kesalahan manusia.
  2. Data dijual di Dark Web, di mana pembeli dapat mengakses informasi pribadi dengan harga murah.
  3. Data digunakan untuk penipuan, seperti phishing, pencurian identitas, pengambilalihan akun, hingga transaksi ilegal.

Sebagai contoh, pelaku dapat membeli data login bank korban di Dark Web, lalu mengirimkan pesan phishing yang tampak resmi untuk memperoleh OTP atau PIN tambahan. Begitu akses penuh diperoleh, mereka dapat menarik dana atau memindahkannya ke rekening lain tanpa meninggalkan jejak. Dampaknya tidak hanya dirasakan individu, tetapi juga lembaga keuangan yang menyimpan ribuan data pelanggan. Satu kebocoran kecil saja dapat menimbulkan kerugian finansial besar, merusak reputasi perusahaan, dan menggerus kepercayaan nasabah dalam jangka panjang.

Fenomena ini juga diperkuat oleh kemudahan akses terhadap alat kejahatan digital di Dark Web, seperti phishing kit, keylogger, atau layanan “fraud-as-a-service” yang memungkinkan siapa pun melakukan penipuan tanpa keahlian teknis mendalam. Dengan biaya yang relatif rendah dan tingkat anonimitas tinggi, pelaku kejahatan dapat menjalankan operasi lintas negara dengan risiko kecil untuk tertangkap. Inilah sebabnya mengapa setiap insiden data breach perlu dipandang bukan sekadar kebocoran informasi, melainkan awal dari ancaman finansial yang lebih besar dan sistemik.

Studi Kasus dan Fakta Statistik

Penelitian “Dark Web and Cyber Scams: A Growing Threat to Online Safety” oleh Arthan, Kacheru, dan Bajjuru (2023) mengungkap besarnya skala ekonomi gelap yang beroperasi di Dark Web. Aktivitas ilegal di sana bukan lagi tindakan individual, melainkan ekosistem terorganisir yang menghasilkan keuntungan luar biasa besar. Dalam laporannya disebutkan beberapa temuan penting sebagai berikut:

  • Dark Web menghasilkan lebih dari USD 500.000 per hari dari berbagai aktivitas ilegal.
  • Malware seperti Remote Access Trojan (RAT) dijual dengan harga USD 200–1.000, sementara ransomware dapat mencapai USD 1.500 per paket.
  • Sekitar 80% dari lalu lintas Dark Web dikaitkan dengan aktivitas ilegal, seperti pornografi anak, penipuan finansial, dan pencurian data.

Dalam konteks Indonesia, fenomena serupa terlihat dari meningkatnya kasus kebocoran data di sektor keuangan, e-commerce, dan layanan digital. Data hasil curian sering digunakan untuk mengirim pesan phishing yang menyerupai notifikasi bank, menawarkan investasi palsu, atau melakukan pembobolan rekening nasabah. Dengan data yang diperoleh dari Dark Web, pelaku dapat menargetkan korban secara spesifik, meningkatkan tingkat keberhasilan penipuan.

Tren ini memperkuat satu kesimpulan penting yaitu semakin banyak data pribadi yang bocor, semakin besar peluang terjadinya kejahatan finansial. Kebocoran data kini bukan sekadar persoalan privasi, tetapi ancaman nyata terhadap stabilitas ekonomi digital. Baik individu maupun organisasi harus mulai memperkuat perlindungan data, melakukan pemantauan terhadap Dark Web, dan mengedukasi pengguna agar lebih waspada terhadap upaya manipulasi berbasis data curian.

Upaya Pencegahan dan Perlindungan

Mencegah ancaman yang berasal dari Dark Web dan penipuan finansial memerlukan perpaduan antara kesadaran individu, penerapan langkah teknis, serta kebijakan organisasi yang kuat. Pendekatan ini harus dilakukan secara menyeluruh karena ancaman siber tidak hanya menargetkan sistem, tetapi juga perilaku manusia yang menjadi titik masuk paling lemah dalam keamanan digital.

Edukasi & Kesadaran

Langkah pertama untuk melindungi diri adalah membangun kesadaran. Setiap individu harus waspada terhadap pesan atau tautan mencurigakan yang meminta data pribadi, serta tidak mudah tergoda oleh iming-iming hadiah atau notifikasi palsu. Penggunaan password manager dan aktivasi autentikasi dua faktor (2FA) dapat memperkuat keamanan akun pribadi. Hindari juga penggunaan jaringan Wi-Fi publik untuk transaksi keuangan, karena jaringan semacam ini sering menjadi sasaran pencurian data.

Perlindungan Teknis

Aspek teknis menjadi fondasi penting dalam mencegah serangan siber. Pengguna harus memastikan situs yang diakses telah menggunakan protokol HTTPS untuk menjaga keamanan data selama transmisi. Gunakan VPN (Virtual Private Network) untuk koneksi yang terenkripsi dan aman dari penyadapan, serta pastikan sistem operasi dan antivirus selalu diperbarui untuk menutup celah keamanan. Langkah-langkah sederhana ini terbukti efektif dalam mencegah upaya peretasan dan kebocoran data pribadi.

Perlindungan Organisasi

Bagi perusahaan, keamanan harus dikelola secara strategis melalui monitoring Dark Web untuk mendeteksi jika data perusahaan diperjualbelikan secara ilegal. Selain itu, penerapan incident response plan, audit keamanan berkala, dan pelatihan karyawan tentang social engineering dan phishing sangat penting untuk mengurangi risiko insiden siber. Platform seperti SiberMate menyediakan solusi Breach Monitoring yang dapat membantu organisasi mendeteksi potensi kebocoran data lebih awal, serta program Security Awareness Training untuk membangun budaya keamanan yang kuat di seluruh level organisasi.

Dengan kombinasi antara kesadaran individu, perlindungan teknis yang solid, dan kebijakan keamanan organisasi yang berkelanjutan, ancaman dari Dark Web dapat ditekan secara signifikan. Perlindungan data bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan komitmen bersama antara pengguna, perusahaan, dan penyedia layanan digital.

Sisi Positif Dark Web: Dua Sisi Mata Uang

Meski sering dianggap sebagai sarang kejahatan siber, Dark Web sejatinya memiliki sisi lain yang tidak sepenuhnya negatif. Dalam jurnal “Dark Web and Cyber Scams: A Growing Threat to Online Safety” oleh Arthan et al. (2023) dijelaskan bahwa sekitar 54,5% konten di Dark Web digunakan untuk tujuan sah seperti aktivitas pemerintahan, media, dan komunitas aktivis. Pada sisi ini, Dark Web berfungsi sebagai ruang aman bagi mereka yang membutuhkan anonimitas dan kebebasan berbicara di dunia digital. Dalam kondisi tertentu, keberadaannya justru berkontribusi terhadap perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan pers di negara-negara yang menerapkan sensor ketat terhadap informasi publik. Dark Web memungkinkan:

  • Jurnalis berkomunikasi aman dengan narasumber anonim, tanpa risiko pelacakan atau intimidasi.
  • Aktivis menghindari sensor pemerintah di negara dengan pembatasan kebebasan berekspresi.
  • Peneliti keamanan siber melakukan investigasi terhadap ancaman digital, peredaran malware, dan forum peretas untuk tujuan analisis forensik.

Penelitian lain oleh Mirea, Wang, dan Jung (2019) dalam jurnal “The Not So Dark Side of the Dark Net: A Qualitative Study” juga menyoroti bahwa Dark Web dapat berfungsi sebagai wadah eksperimental untuk privasi dan inovasi keamanan informasi, bukan semata-mata ruang kriminal. Namun, batas antara penggunaan sah dan aktivitas ilegal sangatlah tipis. Oleh karena itu, penting bagi pengguna untuk memahami konteks, risiko, dan etika digital sebelum menjelajahi wilayah ini agar tidak terjebak dalam aktivitas yang melanggar hukum atau membahayakan privasi pribadi.

Tantangan Regulasi dan Penegakan Hukum

Penegakan hukum terhadap kejahatan di Dark Web merupakan tantangan besar bagi pemerintah di seluruh dunia karena sifatnya yang anonim dan terdistribusi. Teknologi seperti Tor dan Onion Routing membuat pelaku kejahatan sulit dilacak, sehingga aparat penegak hukum harus menggunakan pendekatan yang lebih canggih dan lintas batas negara. Dalam jurnal Arthan et al. (2023) dijelaskan bahwa upaya penegakan hukum terus berkembang melalui kombinasi teknologi dan kerja sama internasional untuk membongkar jaringan kriminal di Dark Web. Beberapa langkah nyata yang telah dilakukan antara lain:

  • Operasi Playpen (FBI), yang berhasil melacak pengguna situs ilegal menggunakan teknik traffic analysis dan alat investigasi digital seperti Memex Tool untuk mengidentifikasi pelaku tersembunyi di balik jaringan anonim.
  • Kerja sama internasional, yang memungkinkan lembaga penegak hukum lintas negara bekerja sama menutup pasar gelap terkenal seperti Silk Road dan AlphaBay, yang selama bertahun-tahun menjadi pusat transaksi narkotika dan data curian.
  • Pengembangan sistem Cyber Threat Intelligence untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan di forum-forum Dark Web, termasuk penjualan data hasil kebocoran dan rencana serangan siber.

Meskipun upaya tersebut menunjukkan kemajuan signifikan, masih terdapat dilema besar antara perlindungan privasi pengguna internet dan kebutuhan pengawasan hukum. Regulasi seperti Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia menjadi langkah penting dalam memperkuat perlindungan warga terhadap kebocoran data dan penipuan digital. Namun, keseimbangan antara hak privasi dan kewenangan investigasi tetap menjadi perdebatan etis yang kompleks di era digital.

Baca juga: Dampak Finansial Perusahaan dari Insiden Kebocoran Data Pribadi

Kesimpulan

Dark Web, data breach, dan penipuan finansial adalah tiga elemen yang saling terkait erat. Dark Web menyediakan ruang anonim bagi pelaku untuk memperjualbelikan data hasil kebocoran, yang kemudian digunakan untuk berbagai bentuk penipuan keuangan. Meningkatnya insiden kebocoran data di era digital menegaskan bahwa keamanan tidak hanya tanggung jawab perusahaan atau lembaga keuangan, tetapi juga setiap individu yang menggunakan internet. Dengan edukasi yang tepat, sistem keamanan yang kuat, serta monitoring berkelanjutan terhadap potensi kebocoran, risiko dapat ditekan secara signifikan.