Human Risk Management Institute

Interdisipliner Melawan Cybercrime Peran Psikologi hingga Ilmu Politik

Written by Nur Rachmi Latifa | 15 Sep 2025

Kasus cybercrime terus meningkat dengan dampak yang tidak hanya merugikan individu melalui pencurian data dan penipuan online, tetapi juga mengancam keberlangsungan bisnis serta stabilitas negara. Ancaman ini tidak bisa dipandang sekadar sebagai masalah teknis yang bisa diatasi dengan teknologi semata, melainkan menuntut pemahaman yang lebih luas tentang perilaku manusia, regulasi, dan dinamika sosial. Di sinilah pentingnya pendekatan interdisipliner, yang menggabungkan perspektif psikologi untuk memahami kerentanan dan motivasi individu, serta ilmu politik untuk merumuskan kebijakan dan tata kelola yang adaptif dalam menghadapi kejahatan digital. Pendekatan lintas disiplin inilah yang menjadi kunci untuk membangun strategi komprehensif melawan cybercrime.

Cybercrime: Lebih dari Sekadar Masalah Teknis

Cybercrime selama ini sering dipandang sebagai masalah teknis yang bisa diatasi dengan solusi teknologi mutakhir seperti enkripsi, biometrik, atau kecerdasan buatan. Namun, pendekatan monodisipliner ini terbukti tidak memadai karena mengabaikan dimensi manusia yang justru menjadi pusat dari berbagai serangan. Seperti yang dijelaskan Dupont & Holt dalam The Human Factor of Cybercrime (Social Science Computer Review, 2022), “silver bullet technologies” tidak mampu menghentikan laju kejahatan digital karena pelaku terus berinovasi memanfaatkan kelemahan perilaku pengguna maupun celah institusional .

Banyak penelitian memperkuat argumen ini. Misalnya, Fischer, Lea, & Evans dalam Journal of Applied Social Psychology (2013) menunjukkan bahwa korban sering terjebak scam bukan karena lemahnya teknologi, melainkan karena faktor psikologis seperti kepercayaan berlebihan dan ketidakmampuan mengenali tanda-tanda manipulasi. Hal serupa ditegaskan oleh Whitty dalam Journal of Financial Crime (2019), yang menemukan bahwa kerentanan manusia menjadi penentu utama keberhasilan phishing, bahkan ketika sistem keamanan digital sudah tersedia. Artinya, faktor manusia tidak bisa dipisahkan dari strategi melawan cybercrime.

Selain individu, peran institusi juga sangat menentukan. Shackelford dalam American University Law Review (2013) menekankan bahwa pemerintah masih menggunakan regulasi era industri untuk menghadapi risiko digital, sehingga respons kebijakan seringkali terlambat dan tidak relevan. Oleh karena itu, pemahaman mengenai human factor—baik pelaku yang memanfaatkan celah, korban yang rentan, maupun institusi yang lamban beradaptasi—harus ditempatkan di pusat strategi penanggulangan. Tanpa memperhatikan dimensi ini, solusi teknis akan selalu tertinggal satu langkah di belakang para penjahat siber.

Baca juga: Bagaimana AI Membuat Insider Threat Lebih Sulit Dideteksi

Perspektif Psikologi dalam Memahami Cybercrime

Untuk memahami dimensi psikologis dalam cybercrime, penting melihat bagaimana peran manusia tidak hanya sebagai korban, tetapi juga sebagai pelaku. Seperti dijelaskan dalam The Human Factor of Cybercrime oleh Dupont & Holt (2022), faktor manusia adalah inti dari ekosistem kejahatan siber, di mana kerentanan psikologis, motivasi individu, dan interaksi sosial menjadi kunci utama dalam menentukan bagaimana sebuah serangan berhasil atau gagal.

Psikologi Korban

Korban sering kali mudah terjebak dalam scam, phishing, maupun romance fraud karena adanya celah psikologis yang dimanfaatkan oleh pelaku. Rasa percaya yang berlebihan, kebutuhan emosional seperti rasa kesepian atau rasa ingin mendapat validasi, hingga kurangnya kewaspadaan terhadap pola manipulatif membuat individu lebih rentan. Bahkan ketika sistem peringatan dan edukasi sudah tersedia, korban tetap sering jatuh pada jebakan karena serangan dirancang untuk menyesuaikan dengan kelemahan kognitif manusia. Faktor inilah yang menjelaskan mengapa serangan sederhana masih bisa menimbulkan dampak besar meski teknologi keamanan semakin maju.

Psikologi Pelaku

Dari sisi pelaku, motivasi mereka tidak selalu didorong oleh uang semata. Ada pelaku yang digerakkan oleh tujuan politik, penyebaran ideologi tertentu, atau sekadar mencari pengakuan dan kepuasan pribadi ketika berhasil menembus sistem. Beberapa pelaku juga melibatkan unsur kompetisi dalam komunitas digital, sehingga aksi kejahatan menjadi sarana pembuktian diri. Hal ini menunjukkan bahwa cybercrime tidak bisa dipahami hanya dari aspek ekonomi, melainkan merupakan fenomena kompleks yang berakar pada psikologi manusia, dinamika sosial, serta konteks budaya yang melatarbelakanginya.

Kombinasi antara kerentanan psikologis korban dan beragam motivasi pelaku memperlihatkan bahwa strategi pencegahan tidak boleh sebatas teknologi, melainkan harus menekankan aspek edukasi dan kesadaran. Kampanye kesadaran yang berbasis pada pemahaman perilaku manusia dapat membantu individu mengenali pola manipulasi yang digunakan pelaku, lebih kritis terhadap informasi digital, dan lebih tangguh menghadapi bujukan emosional yang sering dimanfaatkan dalam serangan siber. Dengan menempatkan faktor psikologi di pusat strategi, upaya membangun masyarakat yang lebih waspada dan tahan terhadap cybercrime akan jauh lebih efektif.

Perspektif Ilmu Politik dan Kebijakan Publik

Cybercrime tidak hanya menantang aspek teknis, tetapi juga memunculkan persoalan regulasi yang masih terjebak pada pola pikir era industri. Seperti ditegaskan dalam The Human Factor of Cybercrime oleh Dupont & Holt (2022), banyak pemerintah masih menggunakan instrumen kebijakan lama untuk mengatasi risiko era digital, sehingga respons yang dihasilkan sering kali lambat dan kurang efektif. Regulasi yang dirancang untuk dunia fisik tidak cukup adaptif menghadapi ancaman maya yang sifatnya lintas batas, cepat berubah, dan sering kali sulit dilacak pelakunya. Akibatnya, regulasi tradisional menjadi kurang relevan dalam memberikan perlindungan nyata di dunia siber.

Sebagai alternatif, sejumlah peneliti menekankan pentingnya model tata kelola yang lebih fleksibel. Shackelford dalam American University Law Review (2013) memperkenalkan konsep polycentric governance, yakni pendekatan kebijakan yang melibatkan banyak aktor secara paralel, mulai dari pemerintah, sektor swasta, hingga komunitas internasional. Pendekatan ini dianggap lebih sesuai karena cybercrime bersifat global dan tidak bisa dikendalikan hanya oleh satu negara atau lembaga. Dengan tata kelola yang bersifat kolaboratif, respons terhadap serangan dapat lebih cepat, adaptif, dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan.

Selain itu, peran negara, lembaga internasional, dan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci dalam membangun ekosistem keamanan siber yang kokoh. Dupont (2017) dalam Crime, Law and Social Change menegaskan bahwa keterlibatan berbagai pihak, termasuk korporasi teknologi dan organisasi masyarakat sipil, sangat penting dalam memperkuat kapasitas respons terhadap serangan siber. Negara tetap berfungsi sebagai regulator utama, lembaga internasional berperan dalam menyelaraskan standar global, sementara sektor swasta memegang kendali atas infrastruktur digital yang menjadi sasaran utama kejahatan. Sinergi lintas sektor inilah yang dapat melahirkan kebijakan cyber yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.

Interdisipliner sebagai Solusi Holistik

Cybercrime adalah fenomena kompleks yang tidak bisa dijelaskan atau diatasi hanya melalui satu disiplin ilmu. Dalam The Human Factor of Cybercrime oleh Dupont & Holt (2022), ditegaskan bahwa memahami interaksi antara pelaku, mesin, dan korban memerlukan kombinasi pendekatan dari kriminologi, psikologi, ilmu komputer, ilmu politik, hingga ekonomi. Pendekatan interdisipliner ini membantu kita memahami bukan hanya bagaimana serangan terjadi, tetapi juga mengapa individu maupun institusi rentan terhadap serangan tersebut.

Penerapan interdisipliner terlihat dalam berbagai studi kasus. Misalnya, Banerjee et al. (2022) menggabungkan machine learning dengan analisis sosial untuk mengungkap motif serangan defacement yang ternyata banyak dipicu faktor non-ekonomi. Studi lain oleh van der Bruggen & Blokland (2022) menunjukkan bagaimana analisis longitudinal terhadap forum dark web dapat membantu merumuskan intervensi yang lebih tepat sasaran. Dengan kata lain, ketika ilmu komputer bertemu dengan ilmu sosial, pemahaman kita terhadap pola kejahatan siber menjadi jauh lebih dalam dan strategis.

Lebih jauh, pendekatan interdisipliner membuka jalan bagi solusi yang lebih komprehensif. Psikologi dapat menjelaskan kerentanan korban, ilmu politik merumuskan tata kelola yang adaptif, sementara kriminologi dan hukum memberikan kerangka penegakan yang efektif. Kolaborasi ini, seperti ditegaskan oleh Coventry et al. (2014), juga dapat memperkuat resiliensi masyarakat melalui strategi pencegahan berbasis perilaku. Dengan memadukan berbagai perspektif, strategi melawan cybercrime tidak lagi reaktif, melainkan proaktif, adaptif, dan lebih berkelanjutan dalam menghadapi tantangan digital yang terus berkembang.

Strategi Praktis Melawan Cybercrime

Dalam The Human Factor of Cybercrime oleh Dupont & Holt (2022), ditegaskan bahwa strategi praktis melawan cybercrime tidak bisa berhenti pada aspek teknis, tetapi harus menyentuh perilaku, kebijakan, hingga kolaborasi lintas sektor. Dari pemahaman tersebut, ada tiga pendekatan utama yang perlu dikembangkan agar perlindungan siber lebih komprehensif.

Edukasi & Literasi Digital

Pencegahan berbasis perilaku adalah langkah paling mendasar karena mayoritas serangan siber memanfaatkan kerentanan manusia, bukan semata-mata celah teknologi. Dengan literasi digital yang baik, masyarakat bisa memahami pola penipuan, mengenali tanda manipulasi seperti urgensi palsu atau tautan mencurigakan, dan membentuk kebiasaan yang lebih aman, misalnya dengan memverifikasi sumber informasi sebelum mengklik tautan. Program literasi digital yang berkesinambungan, baik melalui pendidikan formal, kampanye publik, maupun pelatihan di lingkungan kerja, akan memperkecil peluang pelaku memanfaatkan kesalahan kognitif manusia. Semakin tinggi kesadaran masyarakat, semakin rendah pula tingkat keberhasilan serangan cybercrime sederhana seperti phishing atau scam.

Kebijakan Adaptif

Strategi kebijakan perlu menyesuaikan diri dengan cepatnya perkembangan teknologi dan pola kejahatan digital. Salah satu wujudnya adalah mekanisme kompensasi bagi korban, sehingga kerugian finansial maupun psikologis dapat lebih cepat dipulihkan. Selain itu, kerja sama internasional menjadi krusial karena pelaku sering beroperasi lintas negara, memanfaatkan perbedaan regulasi dan yurisdiksi. Regulasi adaptif juga berarti hukum tidak bersifat kaku, melainkan terus diperbarui mengikuti munculnya teknologi baru seperti kripto, Internet of Things, hingga kecerdasan buatan. Dengan kebijakan yang dinamis dan kolaboratif, pemerintah dapat memastikan bahwa sistem hukum tetap relevan, serta mampu melindungi masyarakat dari berbagai bentuk ancaman siber yang terus berevolusi.

Kolaborasi Lintas Sektor

Membangun cyber resilience membutuhkan sinergi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Pemerintah berperan sebagai regulator dan pengawas, sektor swasta sebagai pengelola infrastruktur digital, sementara masyarakat sipil berfungsi sebagai penggerak literasi dan kontrol sosial. Kolaborasi ini memungkinkan adanya pertukaran informasi ancaman secara real-time, penerapan standar keamanan yang lebih merata, hingga pengembangan solusi teknologi yang responsif terhadap serangan. Misalnya, bank dan penyedia layanan digital dapat bekerja sama dengan aparat keamanan untuk mendeteksi pola penipuan keuangan lebih cepat. Dengan pendekatan kolektif seperti ini, kapasitas pertahanan siber dapat meningkat signifikan, dan risiko serangan dapat diminimalisasi sebelum berkembang menjadi insiden besar.

Baca juga: Strategi Efektif Melatih Karyawan Menghadapi Taktik Social Engineering

Kesimpulan

Upaya melawan cybercrime tidak bisa lagi dipandang hanya sebagai masalah teknis, melainkan harus dilihat sebagai persoalan multidimensi yang menyentuh perilaku manusia, regulasi, dan tata kelola bersama. Dengan memahami kerentanan psikologis korban, beragam motivasi pelaku, serta keterbatasan regulasi yang ada, strategi pencegahan dapat dirancang lebih adaptif dan relevan dengan perkembangan zaman. Edukasi dan literasi digital membantu masyarakat lebih waspada, kebijakan yang responsif memberikan perlindungan yang lebih kuat, sementara kolaborasi lintas sektor memperkuat daya tahan kolektif terhadap ancaman digital. Pendekatan interdisipliner inilah yang menjadi kunci untuk membangun ketahanan siber yang berkelanjutan, melindungi individu, bisnis, hingga negara dari dampak kejahatan siber yang terus berkembang.