Serangan social engineering telah menjadi salah satu ancaman paling sulit dikendalikan dalam keamanan siber modern. Bukan karena teknologi yang digunakan canggih, tetapi karena target utama serangan ini adalah manusia—elemen paling tidak terprediksi dalam sistem keamanan mana pun. Dalam banyak kasus, serangan seperti phishing, pretexting, dan baiting tidak menembus sistem melalui celah teknis, melainkan melalui manipulasi psikologis terhadap penggunanya. Untuk menghadapi ancaman ini secara efektif, kita perlu memahami bagaimana social engineering bekerja sebagai sebuah sistem pengetahuan—siapa pelakunya, apa motivasinya, bagaimana pola interaksinya, dan faktor manusia apa yang paling sering dieksploitasi. Pendekatan ontologi menawarkan cara sistematis untuk memetakan dan menganalisis pola tersebut.
Social engineering adalah bentuk serangan yang memanfaatkan kelemahan manusia melalui bujukan, penipuan, atau manipulasi untuk memperoleh informasi sensitif atau akses tidak sah ke sistem. Menurut Wang et al. (2021) dalam jurnal “Social Engineering in Cybersecurity: A Domain Ontology and Knowledge Graph Application Examples”, serangan ini mengeksploitasi kerentanan manusia melalui interaksi sosial untuk melanggar tujuan keamanan siber seperti kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan. Berbeda dengan serangan teknis yang menargetkan sistem, social engineering berfokus pada perilaku dan psikologi manusia. Pelaku dapat berpura-pura menjadi rekan kerja, petugas IT, atau bahkan otoritas resmi untuk membangun kepercayaan korban dan mendorong mereka bertindak tanpa sadar.
Dalam konteks modern, kemajuan teknologi seperti machine learning, deepfake, dan automasi membuat serangan social engineering semakin sulit dideteksi. Penyerang kini mampu mempersonalisasi pesan, meniru gaya komunikasi seseorang, bahkan menciptakan identitas digital palsu untuk meningkatkan efektivitas serangan. Bentuk-bentuk serangan ini sering kali terlihat sederhana namun memiliki dampak besar: mulai dari pencurian data hingga kompromi total terhadap sistem organisasi. Sebagaimana ditegaskan oleh Hadnagy (2018) dalam “Social Engineering: The Science of Human Hacking”, aspek kunci dari serangan ini bukan pada teknologinya, tetapi pada manipulasi psikologis dan kemampuan penyerang untuk mempengaruhi emosi manusia. Beberapa contoh umum serangan social engineering yang sering digunakan antara lain:
Serangan-serangan tersebut menunjukkan bahwa faktor manusia adalah titik paling rentan dalam keamanan siber. Sebagaimana dijelaskan pula oleh Mouton et al. (2014) dalam “Towards an Ontological Model Defining the Social Engineering Domain”, memahami pola hubungan antara pelaku, metode, media, dan korban sangat penting untuk mengembangkan sistem pertahanan yang berfokus pada aspek manusia (human-centric cybersecurity).
Baca juga: Human Vulnerabilities: Celah Terbesar dalam Serangan Malware Modern
Sebagian besar pendekatan terhadap social engineering selama ini berfokus pada deteksi serangan atau peningkatan kesadaran pengguna melalui pelatihan keamanan siber. Namun, metode-metode tersebut seringkali hanya menyentuh permukaan dan tidak menjelaskan struktur konseptual yang mendasari serangan sosial itu sendiri—yakni bagaimana pelaku, korban, media, dan metode saling berinteraksi dan membentuk pola serangan berulang. Seperti yang dikemukakan oleh Mouton et al. (2014), tanpa model formal yang menggambarkan hubungan antar-entitas, sulit bagi organisasi untuk memahami akar penyebab dan dinamika serangan sosial secara menyeluruh.
Pendekatan ontologi hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut. Dalam ilmu komputer, ontologi merupakan representasi formal dari pengetahuan dalam suatu domain, mencakup konsep, hubungan antar-konsep, serta aturan yang menghubungkannya. Dengan pendekatan ini, fenomena social engineering tidak lagi dipandang sebagai kumpulan serangan terpisah, tetapi sebagai sistem pengetahuan terstruktur yang dapat dianalisis, dimodelkan, dan diprediksi. Menurut Wang et al. (2021), ontologi membantu menjawab pertanyaan penting: “Apa saja elemen yang membentuk serangan social engineering, dan bagaimana hubungan antar elemen tersebut dapat digunakan untuk mengantisipasi serangan berikutnya?”. Secara praktis, pendekatan ontologi pada social engineering memungkinkan peneliti dan praktisi keamanan untuk:
Dengan demikian, ontologi tidak hanya berfungsi sebagai alat konseptual, tetapi juga sebagai kerangka kerja kolaboratif yang dapat digunakan untuk memperkuat kebijakan keamanan berbasis manusia. Pendekatan ini menandai pergeseran penting dari reaksi terhadap serangan menuju pemahaman preventif dan prediktif, di mana keamanan siber dibangun di atas fondasi pengetahuan yang saling terhubung.
Penelitian Wang et al. (2021) dalam jurnal “Social Engineering in Cybersecurity: A Domain Ontology and Knowledge Graph Application Examples” mendefinisikan 11 konsep inti dan 22 relasi antar-entitas yang membentuk struktur domain social engineering. Ontologi ini membantu menggambarkan bagaimana pelaku, korban, motivasi, serta strategi serangan saling terhubung dalam satu ekosistem pengetahuan yang utuh.
Secara keseluruhan, sebelas konsep inti ini membentuk kerangka berpikir terstruktur yang memungkinkan analisis menyeluruh terhadap setiap fase serangan—mulai dari niat hingga dampak. Seperti yang ditegaskan oleh Fenz & Ekelhart (2009) dalam “Formalizing Information Security Knowledge”, pendekatan berbasis ontologi memungkinkan pengetahuan keamanan siber tidak hanya didokumentasikan, tetapi juga diolah secara otomatis untuk mendeteksi pola, memperkirakan ancaman baru, dan memperkuat sistem pertahanan berbasis manusia.
Setelah merancang ontologi social engineering, para peneliti dalam studi Wang et al. (2021) mengembangkan knowledge graph yang dibangun dari 15 skenario serangan nyata. Pendekatan ini memungkinkan visualisasi hubungan antar-entitas secara dinamis, sehingga peneliti dapat melihat bagaimana motivasi, strategi, metode, dan kerentanan manusia saling berinteraksi dalam satu sistem pengetahuan. Dengan menggunakan Neo4j graph database, mereka berhasil memetakan 344 node dan 939 relasi, menghasilkan model analisis yang mampu menelusuri pola dan prediksi serangan secara otomatis.
Hasil eksperimen dari Wang et al. menunjukkan bahwa model ini mencapai tingkat recall 99,7% dalam mendeteksi pola serangan baru berdasarkan relasi antar-entitas. Dengan pendekatan ini, knowledge graph tidak hanya menjadi alat analisis retrospektif, tetapi juga alat prediktif yang mampu mengantisipasi ancaman sebelum terjadi. Penelitian lanjutan seperti Alotaibi et al. (2016) dan Fenz & Ekelhart (2009) menegaskan bahwa model semantik seperti ini dapat memperkaya sistem keamanan siber berbasis AI, menjadikan ontologi sebagai jembatan antara pengetahuan manusia dan otomatisasi deteksi ancaman.
Pendekatan ontologi tidak hanya menjelaskan “apa yang terjadi” dalam serangan sosial, tetapi juga membantu memahami “mengapa” dan “bagaimana” serangan itu terjadi. Dengan mengubah fenomena social engineering menjadi struktur pengetahuan yang terhubung, ontologi membuka peluang bagi analisis yang lebih dalam dan kolaborasi lintas disiplin dalam keamanan siber. Beberapa keunggulan utamanya dijelaskan berikut ini.
Ontologi menyediakan kerangka pengetahuan yang eksplisit dan terstruktur, menggambarkan hubungan antar elemen seperti pelaku, target, metode, dan kerentanan manusia. Dengan pendekatan ini, data keamanan tidak lagi berdiri sendiri, tetapi saling terhubung dalam bentuk yang dapat dipahami baik oleh manusia maupun mesin. Seperti dijelaskan oleh Fenz & Ekelhart (2009), representasi formal ini menjadi landasan penting bagi analisis keamanan berbasis bukti dan automated knowledge reasoning.
Dengan menghubungkan entitas seperti attacker, vulnerability, dan victim, sistem berbasis ontologi dapat melakukan inferensi otomatis. Misalnya, ketika sistem mendeteksi pola serangan yang menargetkan jenis kerentanan tertentu, ia dapat memperkirakan target baru yang berisiko. Menurut Alotaibi et al. (2016), kemampuan reasoning ini menjadikan ontologi bukan hanya alat dokumentasi, tetapi juga mekanisme cerdas untuk deteksi dan prediksi ancaman.
Ontologi berperan sebagai semantic layer—lapisan makna yang memperkaya dataset sebelum digunakan oleh model AI. Dengan menambahkan konteks semantik, sistem kecerdasan buatan dapat memahami hubungan konseptual antara serangan dan perilaku manusia, bukan sekadar pola numerik. Studi Ben-Asher & Gonzalez (2015) menunjukkan bahwa integrasi antara ontologi dan pembelajaran mesin memperkuat efektivitas sistem deteksi ancaman berbasis perilaku (behavior-based threat detection).
Hasil analisis dari ontologi dapat digunakan untuk mengidentifikasi aspek perilaku manusia yang paling berisiko, seperti rasa ingin tahu atau kepatuhan berlebihan terhadap otoritas. Temuan ini memungkinkan organisasi merancang pelatihan kesadaran keamanan yang lebih terfokus dan berbasis data. Misalnya, jika ontologi menunjukkan bahwa helpfulness sering dimanfaatkan dalam serangan phishing, modul pelatihan dapat disesuaikan untuk mengurangi kecenderungan perilaku tersebut.
Karena ontologi bersifat terbuka, berbagai pihak dari akademisi, peneliti, maupun praktisi keamanan industri dapat berkontribusi dan memperluas model pengetahuan ini secara kolaboratif. Hal ini menciptakan ekosistem pertukaran data dan riset yang lebih cepat berkembang. Seperti dijelaskan oleh Mouton et al. (2014), sifat interoperabilitas ontologi memungkinkan berbagai sistem keamanan berbagi pemahaman konseptual yang sama, memperkuat koordinasi global terhadap ancaman siber.
Pendekatan ontologi pada akhirnya menjembatani kesenjangan antara pengetahuan manusia dan kecerdasan mesin. Dengan struktur yang fleksibel dan adaptif, ontologi menjadi dasar bagi pembangunan sistem keamanan generasi berikutnya—yang tidak hanya mampu mendeteksi ancaman, tetapi juga memahami motif, konteks, dan perilaku di baliknya. Ini adalah langkah menuju keamanan siber yang benar-benar berbasis pengetahuan dan berpusat pada manusia (knowledge-driven and human-centric cybersecurity).
Meskipun pendekatan ontologi menawarkan potensi besar dalam memahami dan mencegah serangan social engineering, penerapannya masih menghadapi sejumlah hambatan konseptual dan praktis. Tantangan-tantangan ini perlu diselesaikan agar ontologi dapat berfungsi optimal sebagai fondasi bagi sistem keamanan berbasis pengetahuan (knowledge-driven cybersecurity).
Kendati masih terdapat tantangan, penelitian ini membuka arah baru bagi pengembangan Human-Centric Cybersecurity Ontology — suatu pendekatan yang menempatkan perilaku, kebiasaan, dan pola pikir manusia sebagai pusat sistem pertahanan organisasi. Dengan menggabungkan ontologi, psikologi, dan kecerdasan buatan, masa depan keamanan siber dapat bergeser dari sekadar deteksi teknis menuju pemahaman menyeluruh tentang faktor manusia sebagai elemen paling vital dalam perlindungan data dan sistem.
Baca juga: Analisis Social Engineering: Mengapa Gamer Terjebak Skema Penipuan?
Memahami social engineering tidak cukup dengan mengenali jenis serangannya, tetapi juga perlu memahami hubungan antara motivasi, metode, media, dan perilaku manusia. Pendekatan ontologi memberikan cara berpikir yang sistematis untuk memetakan pola serangan dan mengungkap kerentanan manusia yang sering dimanfaatkan. Dengan memadukan ontologi, kecerdasan buatan, dan analisis perilaku, keamanan siber dapat berkembang menuju pendekatan yang berpusat pada manusia—di mana kesadaran dan pengetahuan menjadi pertahanan terkuat melawan manipulasi sosial.