Di era kecerdasan buatan yang berkembang pesat, penipuan investasi kini memasuki babak baru dengan memanfaatkan teknologi deepfake untuk menipu calon korban. Video palsu tokoh publik, ekonom ternama, hingga pejabat tinggi dibuat sedemikian meyakinkan lalu disebarkan melalui platform milik Meta seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp—yang menjadi lahan subur berkat jangkauan luas dan kemudahan distribusi iklan berbayar. Jika sebelumnya X (Twitter) dikenal sebagai sarang penipuan kripto yang memanfaatkan akun selebritas palsu, kini Meta tengah menghadapi reputasi serupa di ranah penipuan investasi berbasis deepfake, di mana pelaku memadukan teknologi AI dan strategi pemasaran digital untuk meraih kepercayaan korban sebelum menguras habis uang mereka.
Kemajuan teknologi AI telah membawa inovasi besar, tetapi juga melahirkan bentuk penipuan investasi yang semakin sulit dideteksi. Salah satu modus yang kini marak adalah penggunaan teknologi deepfake untuk membuat video palsu tokoh publik—mulai dari ekonom, jurnalis, hingga pejabat negara—yang seolah memberikan rekomendasi atau ajakan investasi. Dengan visual yang tampak meyakinkan, suara yang nyaris identik, dan narasi yang disusun rapi, pelaku mampu membangun kepercayaan korban dalam waktu singkat, membuat banyak orang terkecoh dan merasa mendapat informasi dari sumber terpercaya.
Platform milik Meta seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp menjadi lahan subur bagi para scammer untuk menyebarkan modus ini. Fitur iklan berbayar memungkinkan mereka menargetkan audiens secara presisi, sementara jangkauan masif dan interaksi instan membuat penipuan bisa menjangkau ribuan orang dalam hitungan jam. Pelaku kerap menggunakan akun lama yang dibajak atau akun “matang” untuk menghindari moderasi, lalu mengarahkan korban ke percakapan pribadi di WhatsApp. Di ruang privat inilah bujuk rayu dilakukan—mulai dari pemberian tips investasi yang tampak menguntungkan hingga mengarahkan ke platform palsu yang pada akhirnya menguras dana korban.
Jika platform X (Twitter) sudah lama dikenal sebagai sarang penipuan kripto yang memanfaatkan akun selebritas palsu atau diretas, maka Meta kini menghadapi reputasi serupa di ranah penipuan investasi berbasis deepfake. Bedanya, di Meta modus ini lebih sering dikemas dalam bentuk video iklan berbayar dan interaksi privat, membuatnya terlihat lebih profesional dan terencana. Kedua platform sama-sama menjadi target empuk karena tingginya interaksi pengguna, namun pendekatan di Meta memanfaatkan saluran resmi iklan sebagai pintu masuk, sehingga lebih sulit dibedakan dari promosi legal dan membuat korban lengah sebelum menyadari bahwa mereka sedang dijebak.
Baca juga: AI Jadi Senjata Pemerasan Digital, Indonesia Harus Waspada
Modus penipuan investasi berbasis deepfake di platform Meta umumnya mengikuti alur yang serupa—dimulai dari pembuatan konten palsu yang meyakinkan, lalu dipromosikan secara masif melalui iklan berbayar, hingga akhirnya mengarahkan korban ke jalur komunikasi pribadi tempat proses penipuan diselesaikan.
Pelaku memproduksi video deepfake dengan meniru wajah, suara, dan gaya berbicara tokoh publik seperti ekonom, jurnalis ternama, atau pejabat tinggi. Video sering dilengkapi elemen pendukung seperti logo lembaga keuangan, data kinerja palsu, atau potongan wawancara “resmi” untuk memperkuat kesan kredibel. Tujuannya adalah memanfaatkan reputasi tokoh tersebut agar korban merasa mendapatkan informasi investasi yang terpercaya dan layak diikuti.
Konten deepfake kemudian disebarkan melalui Facebook Ads dan Instagram Ads, memanfaatkan jangkauan luas dan kemampuan penargetan audiens yang spesifik. Scammer kerap menggunakan akun “matang” yang sudah lama aktif atau akun hasil curian untuk menghindari kecurigaan dan lolos moderasi iklan. Mereka juga menerapkan strategi seperti rotasi domain, variasi materi iklan, dan penggunaan beberapa akun bisnis agar kampanye tetap berjalan meskipun ada penurunan konten oleh Meta.
Iklan biasanya mengandung ajakan langsung untuk bergabung ke chat atau grup WhatsApp, di mana korban akan disambut oleh “admin” atau “penasihat investasi” palsu. Di sini, bujuk rayu dilakukan secara personal—mulai dari pemberian tips investasi yang tampak menguntungkan, penawaran peluang “eksklusif”, hingga pengiriman tautan ke platform trading palsu. Korban sering digiring untuk melakukan setoran awal kecil sebelum diminta menambah modal secara bertahap, sampai akhirnya dana mereka hilang sepenuhnya tanpa bisa ditarik kembali.
Di Kanada, sebuah kampanye penipuan memanfaatkan deepfake kepala strategi investasi Bank of Montreal, Brian Belski. Video palsu ini menampilkan sosok Belski seolah mengajak masyarakat bergabung dalam grup investasi eksklusif di WhatsApp. Pelaku dengan cerdik memanfaatkan kredibilitas brand BMO dan reputasi pribadi Belski untuk menanamkan rasa percaya. Iklan berbayar yang digunakan bahkan dijalankan dari akun Facebook lama yang dibajak, sehingga lolos moderasi dan terlihat sah. Meski jumlah korban dan kerugiannya tidak terungkap, pola ini menunjukkan bagaimana reputasi lembaga keuangan dapat dipelintir menjadi senjata penipuan.
Di Inggris, modus serupa menimpa Martin Wolf, jurnalis senior dan kepala komentator ekonomi di Financial Times. Deepfake dirinya dipakai untuk mengiklankan grup investasi di WhatsApp, dengan penyebaran yang luar biasa masif—lebih dari 1.700 iklan di Facebook dan Instagram. Kampanye ini menjangkau hampir satu juta pengguna di Uni Eropa dan melibatkan setidaknya sepuluh akun iklan berbeda. Dalam kasus serupa, kerugian korban bisa mencapai puluhan ribu dolar, dengan dua kasus terburuk mencatat kerugian hingga US$75.000 dan US$45.000.
Australia pun tak luput dari serangan ini. Pelaku membuat deepfake sejumlah tokoh publik, termasuk Perdana Menteri Anthony Albanese, jurnalis David Koch, dan miliarder Gina Rinehart. Video palsu tersebut mempromosikan skema cepat kaya yang diarahkan ke situs berita palsu, lengkap dengan “kutipan” tokoh terkenal untuk memperkuat narasi. Korban yang tergiur diarahkan untuk mendaftar dan kemudian diminta menyetor uang ke platform investasi fiktif. Meski ada banyak laporan, pihak Meta kerap gagal menghapus iklan-iklan ini dengan cepat, membuat kampanye penipuan terus berulang dan memakan korban baru setiap harinya.
Salah satu alasan utama Meta kesulitan menghentikan penipuan investasi berbasis deepfake adalah adanya celah dalam sistem moderasi iklannya. Meskipun Meta memiliki kebijakan yang melarang iklan menyesatkan, proses penyaringan tidak selalu efektif, terutama ketika pelaku menggunakan akun “matang” atau akun curian yang sudah lama aktif sehingga terlihat sah. Moderasi otomatis sering kali hanya memeriksa teks dan elemen visual secara umum, bukan melakukan verifikasi mendalam terhadap identitas tokoh yang ditampilkan atau keaslian konten video. Akibatnya, banyak materi penipuan berhasil lolos dan tampil di feed pengguna.
Selain itu, ada faktor finansial yang membuat masalah ini semakin kompleks. Meta memperoleh keuntungan dari setiap iklan yang tayang, termasuk iklan penipuan sebelum akhirnya terdeteksi dan dihapus. Meskipun perusahaan memanfaatkan teknologi AI untuk mendeteksi deepfake, kemampuan sistem tersebut masih terbatas, terutama menghadapi konten yang dimodifikasi secara kreatif agar terlihat asli. Keterlambatan deteksi ini memberi cukup waktu bagi scammer untuk menjangkau ribuan bahkan jutaan pengguna, sehingga dampaknya tetap signifikan meski iklan pada akhirnya dihapus.
Penipuan investasi berbasis deepfake tidak hanya merugikan individu secara pribadi, tetapi juga menciptakan efek berantai yang merusak kepercayaan publik dan reputasi institusi. Dampaknya bisa dirasakan dalam jangka pendek maupun panjang, baik oleh korban, tokoh publik yang disalahgunakan citranya, maupun platform media sosial yang menjadi tempat beredarnya konten penipuan tersebut.
Dampak paling langsung dari penipuan ini adalah hilangnya uang yang telah diinvestasikan korban. Banyak yang awalnya tergoda dengan iming-iming keuntungan besar dalam waktu singkat, sehingga rela menyetor dana dalam jumlah signifikan. Dalam beberapa kasus, korban kehilangan tabungan seumur hidup atau dana pensiun, dan sulit mendapatkan kembali uang tersebut karena pelaku kerap menggunakan rekening luar negeri atau identitas palsu. Kerugian finansial ini sering disertai tekanan emosional dan psikologis yang berat, seperti rasa malu, stres, hingga trauma finansial jangka panjang.
Video deepfake yang memalsukan tokoh publik—seperti ekonom, jurnalis, atau pimpinan lembaga keuangan—dapat merusak citra mereka secara serius. Meski tokoh tersebut tidak terlibat, publik yang kurang memahami teknologi deepfake mungkin percaya bahwa pernyataan dalam video adalah asli. Hal ini juga mencoreng reputasi lembaga terkait, terutama jika brand atau logo mereka digunakan dalam konten penipuan. Pemulihan reputasi sering membutuhkan kampanye klarifikasi yang intensif dan waktu yang lama, sementara keraguan publik bisa bertahan.
Setiap kali penipuan seperti ini terjadi, kepercayaan pengguna terhadap platform media sosial semakin terkikis. Ketidakmampuan platform seperti Facebook atau Instagram untuk mendeteksi dan menghapus konten deepfake secara cepat membuat pengguna merasa tidak aman. Mereka menjadi ragu untuk mempercayai informasi yang muncul di feed mereka, bahkan dari akun yang tampak resmi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memengaruhi engagement pengguna, reputasi platform, dan keefektifan iklan yang legal, karena publik mulai mengasosiasikan media sosial dengan risiko penipuan yang tinggi.
Menghindari penipuan investasi berbasis deepfake di platform Meta memerlukan kombinasi kewaspadaan, pengetahuan, dan kebiasaan berinvestasi yang sehat. Berikut langkah-langkah praktis yang dapat membantu Anda terhindar dari jebakan para scammer.
Ingatlah bahwa high return = high risk. Jika suatu peluang terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan, kemungkinan besar memang penipuan. Hanya investasikan uang yang siap Anda hilangkan, dan selalu lakukan diversifikasi agar kerugian di satu tempat tidak menghancurkan kondisi finansial Anda secara keseluruhan.
Baca juga: Deepfake Tanpa Delay: Tren AI yang Menakutkan
Di era AI yang serba cepat, deepfake telah menjadi senjata baru dalam penipuan investasi, memadukan teknologi canggih dengan strategi manipulasi psikologis untuk mengelabui korban. Kasus-kasus di berbagai negara menunjukkan bahwa siapa pun bisa menjadi target, bahkan mereka yang merasa melek finansial sekalipun. Literasi digital menjadi kunci pertahanan pertama—memahami cara kerja deepfake, mengenali tanda-tanda penipuan, dan tidak mudah percaya pada konten yang beredar di media sosial. Dengan meningkatkan kewaspadaan pribadi dan aktif menyebarkan informasi pencegahan kepada keluarga serta lingkungan, kita dapat memutus rantai korban dan menciptakan ekosistem digital yang lebih aman.