Di tahun 2025, pendekatan Zero Trust tidak lagi dianggap sebagai teori semata, melainkan telah menjadi kebutuhan mendasar dalam strategi keamanan siber modern. Dalam dunia yang semakin terkoneksi dan dinamis, organisasi menghadapi tantangan besar untuk terus menilai risiko dan mengontrol akses berdasarkan data yang terus berubah—mulai dari perilaku pengguna, postur perangkat, hingga sensitivitas data yang diakses. Volume informasi yang sangat besar ini menjadikan implementasi Zero Trust sangat kompleks jika hanya mengandalkan upaya manual. Di sinilah peran Artificial Intelligence (AI) mulai menonjol sebagai pendukung utama, menawarkan kemampuan otomatisasi, analisis perilaku, dan deteksi anomali dalam skala besar. Artikel ini akan membahas secara mendalam bagaimana AI berkontribusi dalam membangun arsitektur Zero Trust yang lebih efektif, adaptif, dan berkelanjutan.
Zero Trust telah mengalami transformasi besar dari sekadar konsep keamanan menjadi kebutuhan strategis bagi organisasi modern. Pendekatan ini menolak asumsi lama bahwa apa pun yang berada di dalam jaringan dapat dipercaya, dan menggantikannya dengan prinsip "never trust, always verify." Artinya, setiap akses harus divalidasi secara konstan, tak peduli dari mana asalnya—baik dari internal maupun eksternal. Di tengah meningkatnya ancaman siber dan pola kerja hybrid, pendekatan ini terbukti jauh lebih relevan dibandingkan model perimeter tradisional.
Laporan terbaru dari Zscaler menunjukkan bahwa lebih dari 80% organisasi secara aktif merencanakan implementasi strategi Zero Trust sebelum tahun 2026. Temuan serupa juga diungkap dalam laporan Cisco dan SentinelOne, yang mencatat bahwa sebagian besar perusahaan telah memulai adopsi Zero Trust, meski mayoritas masih pada tahap awal atau sebatas satu pilar implementasi saja. Hanya sekitar 2% organisasi yang berhasil menerapkan Zero Trust secara matang di semua area—identitas, perangkat, jaringan, aplikasi, dan data. Ini bukan sekadar tren, melainkan respons nyata terhadap kebutuhan akan arsitektur keamanan yang mampu beradaptasi dengan kompleksitas digital saat ini.
Zero Trust tidak hanya dibicarakan di ruang-ruang diskusi keamanan, tapi sudah masuk ke dalam agenda utama dewan direksi dan roadmap teknologi perusahaan global. Lebih dari sekadar kepatuhan terhadap regulasi, Zero Trust kini dipandang sebagai fondasi utama dalam membangun ketahanan siber jangka panjang. Dengan mengandalkan prinsip kontrol akses yang ketat, segmentasi mikro, dan pemantauan berkelanjutan, strategi ini membantu organisasi menjaga integritas sistem, melindungi hubungan dengan pihak ketiga, serta memastikan keberlangsungan operasional meski menghadapi serangan. Zero Trust bukan lagi “nice to have”—ia sudah menjadi fondasi wajib bagi keamanan dan kelangsungan bisnis modern.
Baca juga: Peran AI dan Machine Learning dalam Mendeteksi Ancaman Siber
Untuk menerapkan Zero Trust secara efektif, organisasi perlu melakukan evaluasi akses yang bersifat adaptif dan terus-menerus. Hal ini tidak cukup hanya memeriksa kredensial awal, melainkan menilai berbagai konteks dan dinamika yang terus berubah. Berikut adalah beberapa faktor utama yang harus dievaluasi secara real-time:
Postur perangkat mengacu pada kondisi keamanan perangkat yang digunakan untuk mengakses sistem, termasuk status antivirus, update sistem operasi, dan konfigurasi keamanan lainnya. Jika perangkat terdeteksi dalam kondisi tidak aman—misalnya belum di-update atau terhubung ke jaringan publik, maka sistem harus bisa menyesuaikan tingkat kepercayaan dan akses yang diberikan secara otomatis. Tanpa kemampuan ini, organisasi berisiko membiarkan perangkat rentan menjadi pintu masuk serangan.
Lokasi geografis pengguna menjadi indikator penting dalam menilai risiko akses. Akses yang datang dari lokasi tidak biasa, seperti negara dengan reputasi tinggi untuk aktivitas siber berbahaya, bisa menjadi sinyal peringatan. Zero Trust menuntut sistem untuk tidak hanya mencatat lokasi, tapi juga menyesuaikan kontrol berdasarkan tingkat risiko—misalnya dengan meminta autentikasi tambahan atau menolak akses secara otomatis.
Tidak semua sistem atau data memiliki tingkat risiko yang sama. Zero Trust mendorong pemisahan berdasarkan sensitivitas workload—misalnya akses ke data pelanggan atau sistem keuangan harus melalui lapisan kontrol yang lebih ketat dibandingkan akses ke sistem pendukung biasa. Ini menuntut arsitektur yang fleksibel dan cerdas, agar kebijakan akses dapat menyesuaikan berdasarkan sensitivitas informasi yang sedang diakses.
Evaluasi pola perilaku memungkinkan sistem mendeteksi aktivitas yang menyimpang dari kebiasaan pengguna, seperti login di waktu tidak biasa atau mengunduh sejumlah besar data secara tiba-tiba. Dengan menganalisis baseline perilaku, AI dapat mengidentifikasi anomali yang mungkin menunjukkan aktivitas berbahaya, dan memicu tindakan otomatis seperti pemutusan sesi atau permintaan verifikasi ulang.
Penilaian terhadap semua faktor ini harus dilakukan secara simultan dan berkelanjutan, menghasilkan volume data yang sangat besar dan kompleks. Dalam skala perusahaan, mustahil bagi tim manusia untuk memproses semua sinyal ini secara manual dan real-time. Inilah alasan mengapa dukungan AI menjadi krusial dalam mengelola beban data dan menjaga ketepatan respons dalam implementasi Zero Trust.
Dalam implementasi Zero Trust, volume data yang dihasilkan dari evaluasi akses secara terus-menerus sangatlah besar—mulai dari log perangkat, aktivitas pengguna, lokasi login, hingga pola akses ke aplikasi dan data sensitif. Tanpa bantuan teknologi, mustahil bagi tim keamanan untuk memilah mana aktivitas yang wajar dan mana yang berpotensi mengancam. Di sinilah peran AI menjadi sangat vital. Dengan kemampuannya menganalisis data dalam jumlah besar secara real-time, AI mampu menyaring “sinyal” dari “noise,” mengenali pola normal, serta mendeteksi anomali secara efisien.
Studi Adedokun Taofeek (2025) bahkan menunjukkan bahwa deteksi anomali berbasis AI, termasuk unsupervised learning, deep learning, dan User Entity Behavior Analytics (UEBA) dapat memperkuat kerangka Zero Trust serta mengurangi positif palsu dan mengautomasi respons ancaman secara instan. Misalnya, AI dapat mendeteksi aktivitas mencurigakan seperti seorang karyawan yang tiba-tiba mengunduh file sensitif pada pukul 2 pagi dari lokasi tak biasa. Sistem berbasis AI akan membandingkan kejadian tersebut dengan baseline perilaku pengguna, menilai tingkat risikonya, dan secara otomatis memicu tindakan seperti permintaan autentikasi ulang atau pemutusan akses.
Tanpa dukungan AI, insiden seperti ini bisa saja terlambat terdeteksi atau tidak tertangani secara konsisten. Inilah inti dari adaptive trust—akses yang dinamis dan disesuaikan dengan konteks serta tingkat risiko secara real-time. AI memungkinkan mekanisme ini berjalan otomatis, cepat, dan akurat tanpa menunggu intervensi manual, sehingga organisasi dapat merespons ancaman lebih gesit dan menjaga sistem tetap aman tanpa mengorbankan efisiensi operasional.
Dalam ekosistem Zero Trust yang semakin kompleks, AI hadir dalam berbagai bentuk dan fungsi. Setiap jenis AI memiliki peran unik yang saling melengkapi dalam mendukung keamanan adaptif, responsif, dan otomatis. Berikut adalah tiga ragam AI utama yang memainkan peran penting dalam arsitektur Zero Trust modern:
Predictive AI menggunakan machine learning dan deep learning untuk mendeteksi pola, mengenali indikator kompromi, serta memprediksi potensi ancaman sebelum terjadi. Teknologi ini menjadi tulang punggung berbagai sistem seperti Endpoint Detection & Response (EDR), behavioral analytics, dan intrusion detection. Dalam konteks Zero Trust, predictive AI memberikan masukan berbasis data secara real-time ke dalam kontrol dinamis—misalnya menilai apakah perangkat pengguna dalam kondisi aman, apakah lokasi login wajar, dan apakah perilaku akses sesuai dengan baseline. Hasil penilaian ini digunakan untuk mengatur tingkat kepercayaan dan respons secara otomatis.
Berbeda dari predictive AI yang fokus pada deteksi dan pencegahan, generative AI seperti ChatGPT atau Gemini berperan sebagai asisten cerdas bagi tim keamanan. Model ini tidak mengambil keputusan kontrol, melainkan membantu manusia dengan merangkum laporan, mempercepat proses scripting, menjawab pertanyaan teknis, hingga menyajikan konteks investigasi secara lebih cepat dan terstruktur. Dalam situasi dengan volume insiden yang tinggi, generative AI dapat mempercepat proses triase dan membantu analis memahami anomali lebih efisien, sehingga waktu respons bisa ditekan tanpa mengorbankan ketepatan analisis.
Agentic AI adalah evolusi dari model generatif yang dilengkapi dengan kemampuan bertindak—yakni menjalankan API, mengeksekusi skrip, dan menyesuaikan kebijakan keamanan secara otonom berdasarkan konteks real-time. Dalam arsitektur Zero Trust, agentic AI memungkinkan orkestrasi keamanan yang sepenuhnya otomatis. Contohnya, sebuah agent dapat secara mandiri mengumpulkan konteks identitas, menyesuaikan segmentasi jaringan, membuka akses sementara untuk kolaborasi lintas tim, lalu mencabut akses ketika risiko telah mereda. Pendekatan ini mempercepat respons, memastikan konsistensi enforcement, dan mengurangi beban manual dalam operasional keamanan sehari-hari.
Meskipun AI memiliki kemampuan luar biasa dalam mendeteksi ancaman, menganalisis data besar, dan mengeksekusi respons otomatis, AI bukanlah pengganti manusia—melainkan penguat. Dalam konteks Zero Trust, AI berfungsi sebagai co-pilot: mempercepat investigasi, menyaring sinyal penting, dan merekomendasikan tindakan. Namun, pengambilan keputusan strategis, penilaian etis, dan penyesuaian terhadap konteks bisnis tetap menjadi domain manusia. Kombinasi ini menciptakan sinergi yang memperkuat ketahanan siber secara keseluruhan.
Namun demikian, penggunaan AI juga membawa risiko yang tidak bisa diabaikan. Sistem AI dapat disusupi melalui teknik seperti model poisoning, inference tampering, dan manipulasi vektor data, yang jika tidak diawasi dapat justru dimanfaatkan untuk melemahkan kontrol Zero Trust. Oleh karena itu, kehadiran manusia menjadi sangat penting dalam memastikan AI beroperasi dalam batas-batas yang aman dan sesuai tujuan. Manusia harus merancang logika kebijakan, mengatur siapa yang boleh mengakses apa, dan terus mengevaluasi efektivitas serta akurasi output dari sistem AI yang digunakan.
Model keberlanjutan yang paling ideal bukanlah menggantikan manusia dengan mesin, melainkan membentuk tim pertahanan siber modern yang terdiri dari keduanya. AI memberikan kecepatan dan skala, sementara manusia membawa intuisi, penilaian strategis, dan sensitivitas terhadap konteks. Dengan pendekatan human-machine teaming ini, organisasi tidak hanya memperkuat Zero Trust, tetapi juga membangun sistem keamanan yang lebih adaptif, resilien, dan siap menghadapi dinamika ancaman yang terus berkembang.
Baca juga: Prediksi Keamanan Siber 2025: Dampak AI dan Komputasi Kuantum
AI kini menjadi pilar penting dalam menjalankan Zero Trust dengan kecepatan, skala, dan akurasi tinggi. Dari deteksi anomali hingga automasi kebijakan akses, AI memungkinkan respons keamanan yang adaptif dan real-time. Namun, efektivitasnya tetap bergantung pada kepemimpinan manusia dalam merancang kebijakan dan mengawasi operasionalnya. Organisasi perlu segera mengevaluasi kesiapan mereka, baik dalam strategi Zero Trust maupun pemanfaatan AI sebagai pendukung utama. Lakukan penilaian kesiapan Zero Trust di organisasi Anda hari ini untuk membangun pertahanan siber yang tangguh.