Kabar Meta yang siap menggelontorkan investasi fantastis senilai Rp 244 triliun untuk mengembangkan kecerdasan buatan langsung mengguncang industri teknologi global. Langkah ini menunjukkan ambisi besar induk perusahaan Facebook, WhatsApp, dan Instagram tersebut untuk mengejar ketertinggalannya dari para raksasa AI seperti OpenAI dengan ChatGPT dan Google dengan Gemini. Fokus utama Meta kali ini adalah menciptakan Superintelligence—sebuah bentuk AI yang diyakini melampaui kecerdasan manusia. Namun, langkah ini bukan tanpa kontroversi. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Superintelligence? Dan mengapa inisiatif Meta justru memicu perdebatan luas di tengah kemajuan pesat dunia AI?
Kecerdasan buatan atau AI secara umum dibagi menjadi tiga tingkatan: Narrow AI, General AI, dan Superintelligence. Narrow AI adalah jenis yang paling umum digunakan saat ini—AI yang hanya bisa melakukan satu tugas spesifik, seperti Siri, Google Translate, atau sistem rekomendasi YouTube. Meskipun pintar dalam satu hal, kemampuan Narrow AI terbatas pada hal-hal yang telah diprogramkan dan tidak bisa beradaptasi di luar tugasnya.
Naik satu tingkat, ada General AI, yaitu AI yang mampu memahami dan mengerjakan berbagai tugas layaknya manusia. General AI punya fleksibilitas dan kemampuan belajar lintas bidang. Misalnya, sebuah robot yang bisa berbicara dengan manusia, lalu belajar memasak, membersihkan rumah, atau menyelesaikan persoalan baru tanpa harus diajarkan dari nol. Teknologi ini masih dalam tahap pengembangan dan belum benar-benar terealisasi secara utuh.
Di puncak tertinggi ada Superintelligence—sebuah konsep AI yang kecerdasannya melebihi manusia dalam segala aspek, termasuk logika, kreativitas, dan bahkan kesadaran diri. Berbeda dari General AI yang masih bekerja berdasarkan perintah manusia, Superintelligence diproyeksikan mampu mengambil keputusan sendiri dan memiliki kesadaran layaknya manusia, bahkan lebih. Karena itu, pengembangan Superintelligence seringkali dipandang sebagai pedang bermata dua: penuh potensi luar biasa, tapi juga risiko besar.
Baca juga: AI dan CSAM Menjadi Tantangan Baru dalam Kejahatan Siber
Meta dilaporkan tengah menyiapkan langkah besar dalam dunia kecerdasan buatan dengan rencana investasi sebesar $15 miliar atau sekitar Rp 244 triliun. Dana jumbo ini akan dialokasikan untuk proyek ambisius mengembangkan Superintelligence, sebuah bentuk AI yang diyakini akan melampaui kecerdasan manusia. Langkah ini menandai keseriusan Meta dalam mengejar ketertinggalannya dari kompetitor seperti OpenAI dan Google, yang masing-masing sudah meluncurkan ChatGPT dan Gemini.
Sebagai bagian dari strategi ini, Meta disebut akan mengakuisisi 49% saham Scale AI, startup AI asal Amerika Serikat yang didirikan oleh Alexandr Wang dan Lucy Guo. Menariknya, Wang dikabarkan akan langsung bergabung ke Meta dalam posisi senior, yang menunjukkan bahwa akuisisi ini bukan semata investasi finansial, melainkan bagian dari restrukturisasi jangka panjang Meta dalam pengembangan AI. Keterlibatan langsung sang pendiri menandakan betapa seriusnya Meta membangun fondasi untuk era baru kecerdasan buatan.
Langkah ini juga mencerminkan pergeseran strategi besar Meta. Setelah proyek Metaverse yang dinilai gagal total dalam menarik minat pasar, perusahaan kini beralih haluan ke AI sebagai fokus utama. Dengan rekam jejak investasi AI sejak 2013 dan kini menyasar pengembangan Superintelligence, Meta tampak ingin merebut kembali posisi kepemimpinan di dunia teknologi melalui pendekatan yang lebih realistis dan sesuai tren masa depan.
Ambisi Meta dalam mengembangkan Superintelligence bukan muncul begitu saja. Ada sejumlah alasan strategis yang mendorong langkah besar ini, mulai dari kegagalan masa lalu hingga tekanan persaingan yang semakin ketat di ranah kecerdasan buatan. Berikut adalah tiga faktor utama yang melatarbelakangi keputusan Meta berinvestasi besar-besaran dalam teknologi AI:
Setelah menggelontorkan dana besar untuk mengembangkan Metaverse—sebuah dunia virtual yang menggabungkan teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR)—Meta justru harus menerima kenyataan pahit. Proyek ambisius tersebut gagal mendapatkan respons pasar yang positif, bahkan sempat menjadi bahan olok-olokan publik. Ketika harapan besar tak sejalan dengan kenyataan, Meta akhirnya mulai menyadari bahwa visi dunia virtual belum siap untuk diadopsi secara luas. Kegagalan Metaverse inilah yang kemudian menjadi titik balik, mendorong Meta untuk mencari fokus baru yang lebih menjanjikan, yaitu AI.
CEO Meta, Mark Zuckerberg, menyebut bahwa tahun 2025 adalah momen krusial dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan. Di tahun tersebut, Meta menargetkan untuk memiliki infrastruktur AI yang matang dan siap bersaing secara global. Keyakinan ini bukan tanpa dasar—Meta telah mengembangkan laboratorium AI sejak 2013, dan kini menyiapkan anggaran hingga $65 miliar untuk memperkuat ekosistem AI-nya. Visi Zuckerberg menunjukkan bahwa Meta tidak ingin sekadar mengikuti tren, tetapi ingin berada di garis depan revolusi AI global.
Dalam beberapa tahun terakhir, dominasi OpenAI dengan ChatGPT dan Google dengan Gemini telah menempatkan kedua perusahaan itu di posisi terdepan dalam industri AI. Meta, meski telah lama berinvestasi di bidang ini, terlihat tertinggal dalam hal eksposur dan inovasi yang berdampak luas. Ambisi mengembangkan Superintelligence—AI yang melampaui kecerdasan manusia—menjadi bentuk nyata keinginan Meta untuk mengejar bahkan melampaui para pesaingnya. Dengan mengakuisisi Scale AI dan melibatkan tokoh-tokoh kunci di bidang kecerdasan buatan, Meta ingin menunjukkan bahwa mereka masih punya peran penting dalam peta kekuatan AI dunia.
Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa langkah Meta bukan sekadar ambisi kosong, melainkan respons strategis atas kegagalan masa lalu, target masa depan, dan tekanan persaingan yang semakin tajam. Dengan fokus baru pada AI dan dorongan kuat untuk membuktikan diri, Meta tampaknya siap membuka babak baru dalam perlombaan kecerdasan buatan global.
Superintelligence memicu perdebatan global karena berada di persimpangan antara harapan luar biasa dan kekhawatiran mendalam. Di satu sisi, banyak yang memandangnya sebagai peluang revolusioner yang dapat mendorong kemajuan manusia ke tingkat baru. Namun di sisi lain, teknologi ini juga membawa risiko besar yang belum pernah dihadapi umat manusia sebelumnya. Berikut ini adalah pro dan kontra utama terkait Superintelligence yang menjadikan topik ini begitu kontroversial.
Melihat besarnya peluang dan risiko yang dibawa oleh Superintelligence, jelas bahwa teknologi ini bukan sekadar terobosan, melainkan juga ujian bagi umat manusia. Di sinilah pentingnya keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab agar kemajuan AI tetap berada dalam kendali dan berpihak pada kepentingan bersama.
Meski terdengar menjanjikan, para ahli menilai bahwa Superintelligence hingga kini masih sebatas konsep teoretis yang belum memiliki wujud nyata. Belum ada AI saat ini yang benar-benar menunjukkan tanda-tanda memiliki kesadaran, intuisi, atau kemampuan pengambilan keputusan setara manusia—apalagi melebihinya. Banyak ilmuwan meyakini bahwa kita masih berada sangat jauh dari pencapaian Superintelligence yang sesungguhnya, baik dari sisi teknologi, infrastruktur, maupun pemahaman tentang kesadaran itu sendiri.
Faktanya, AI hari ini masih memiliki banyak keterbatasan. Model-model seperti ChatGPT atau Gemini memang terlihat canggih, tetapi mereka tetap bekerja berdasarkan pola data dan probabilitas, bukan pemahaman sejati. AI masih bisa memberikan respons yang keliru, gagal memahami konteks emosional, bahkan tersandung pada tugas-tugas sederhana yang mudah bagi manusia. Dengan kata lain, AI saat ini lebih mirip alat bantu pintar, bukan entitas berpikir mandiri seperti yang digambarkan dalam visi Superintelligence.
Melihat kondisi tersebut, wajar jika ada yang mempertanyakan: apakah langkah Meta ini nyata, atau sekadar upaya menjual mimpi pasca kegagalan proyek Metaverse? Setelah investasi besar di dunia virtual yang tak kunjung berhasil, fokus pada Superintelligence bisa saja menjadi strategi baru untuk membangun citra “inovatif,” meski realisasi teknologinya belum tentu dekat. Ambisi memang penting, tapi tanpa landasan yang kuat dan roadmap yang jelas, Superintelligence bisa berakhir menjadi sekadar narasi pemasaran yang belum tentu terwujud.
Baca juga: Eksploitasi ChatGPT: Bagaimana AI Bisa Disalahgunakan untuk Kejahatan?
Langkah Meta untuk mengembangkan Superintelligence bisa jadi merupakan peluang emas yang akan mengubah arah masa depan teknologi, namun juga menyimpan potensi bahaya laten yang tidak bisa diabaikan. Dengan ambisi sebesar ini, penting bagi dunia untuk mengawasi secara ketat perkembangan yang terjadi—baik dari sisi etika, keamanan, hingga dampak sosialnya. Jika dilakukan dengan visi yang tepat dan regulasi yang kuat, Meta bisa menjadi pelopor era baru kecerdasan buatan. Tapi tanpa kehati-hatian, bukan tidak mungkin mereka justru mengulang kegagalan ambisius seperti proyek Metaverse sebelumnya.