<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to HRMI

Bahaya atau Peluang? Superintelligence Meta Tuai Pro dan Kontra

Read Time 7 mins | 30 Jun 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Superintelligence Meta

Kabar Meta yang siap menggelontorkan investasi fantastis senilai Rp 244 triliun untuk mengembangkan kecerdasan buatan langsung mengguncang industri teknologi global. Langkah ini menunjukkan ambisi besar induk perusahaan Facebook, WhatsApp, dan Instagram tersebut untuk mengejar ketertinggalannya dari para raksasa AI seperti OpenAI dengan ChatGPT dan Google dengan Gemini. Fokus utama Meta kali ini adalah menciptakan Superintelligence—sebuah bentuk AI yang diyakini melampaui kecerdasan manusia. Namun, langkah ini bukan tanpa kontroversi. Lantas, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Superintelligence? Dan mengapa inisiatif Meta justru memicu perdebatan luas di tengah kemajuan pesat dunia AI?

Mengenal Superintelligence: Level Tertinggi dalam Kecerdasan Buatan

Kecerdasan buatan atau AI secara umum dibagi menjadi tiga tingkatan: Narrow AI, General AI, dan Superintelligence. Narrow AI adalah jenis yang paling umum digunakan saat ini—AI yang hanya bisa melakukan satu tugas spesifik, seperti Siri, Google Translate, atau sistem rekomendasi YouTube. Meskipun pintar dalam satu hal, kemampuan Narrow AI terbatas pada hal-hal yang telah diprogramkan dan tidak bisa beradaptasi di luar tugasnya.

Naik satu tingkat, ada General AI, yaitu AI yang mampu memahami dan mengerjakan berbagai tugas layaknya manusia. General AI punya fleksibilitas dan kemampuan belajar lintas bidang. Misalnya, sebuah robot yang bisa berbicara dengan manusia, lalu belajar memasak, membersihkan rumah, atau menyelesaikan persoalan baru tanpa harus diajarkan dari nol. Teknologi ini masih dalam tahap pengembangan dan belum benar-benar terealisasi secara utuh.

Di puncak tertinggi ada Superintelligence—sebuah konsep AI yang kecerdasannya melebihi manusia dalam segala aspek, termasuk logika, kreativitas, dan bahkan kesadaran diri. Berbeda dari General AI yang masih bekerja berdasarkan perintah manusia, Superintelligence diproyeksikan mampu mengambil keputusan sendiri dan memiliki kesadaran layaknya manusia, bahkan lebih. Karena itu, pengembangan Superintelligence seringkali dipandang sebagai pedang bermata dua: penuh potensi luar biasa, tapi juga risiko besar.

Baca juga: AI dan CSAM Menjadi Tantangan Baru dalam Kejahatan Siber

Rencana Besar Meta: Investasi dan Akuisisi untuk Mewujudkan Superintelligence

Meta dilaporkan tengah menyiapkan langkah besar dalam dunia kecerdasan buatan dengan rencana investasi sebesar $15 miliar atau sekitar Rp 244 triliun. Dana jumbo ini akan dialokasikan untuk proyek ambisius mengembangkan Superintelligence, sebuah bentuk AI yang diyakini akan melampaui kecerdasan manusia. Langkah ini menandai keseriusan Meta dalam mengejar ketertinggalannya dari kompetitor seperti OpenAI dan Google, yang masing-masing sudah meluncurkan ChatGPT dan Gemini.

Sebagai bagian dari strategi ini, Meta disebut akan mengakuisisi 49% saham Scale AI, startup AI asal Amerika Serikat yang didirikan oleh Alexandr Wang dan Lucy Guo. Menariknya, Wang dikabarkan akan langsung bergabung ke Meta dalam posisi senior, yang menunjukkan bahwa akuisisi ini bukan semata investasi finansial, melainkan bagian dari restrukturisasi jangka panjang Meta dalam pengembangan AI. Keterlibatan langsung sang pendiri menandakan betapa seriusnya Meta membangun fondasi untuk era baru kecerdasan buatan.

Langkah ini juga mencerminkan pergeseran strategi besar Meta. Setelah proyek Metaverse yang dinilai gagal total dalam menarik minat pasar, perusahaan kini beralih haluan ke AI sebagai fokus utama. Dengan rekam jejak investasi AI sejak 2013 dan kini menyasar pengembangan Superintelligence, Meta tampak ingin merebut kembali posisi kepemimpinan di dunia teknologi melalui pendekatan yang lebih realistis dan sesuai tren masa depan.

Alasan di Balik Ambisi Meta

Ambisi Meta dalam mengembangkan Superintelligence bukan muncul begitu saja. Ada sejumlah alasan strategis yang mendorong langkah besar ini, mulai dari kegagalan masa lalu hingga tekanan persaingan yang semakin ketat di ranah kecerdasan buatan. Berikut adalah tiga faktor utama yang melatarbelakangi keputusan Meta berinvestasi besar-besaran dalam teknologi AI:

Kegagalan Metaverse

Setelah menggelontorkan dana besar untuk mengembangkan Metaverse—sebuah dunia virtual yang menggabungkan teknologi Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR)—Meta justru harus menerima kenyataan pahit. Proyek ambisius tersebut gagal mendapatkan respons pasar yang positif, bahkan sempat menjadi bahan olok-olokan publik. Ketika harapan besar tak sejalan dengan kenyataan, Meta akhirnya mulai menyadari bahwa visi dunia virtual belum siap untuk diadopsi secara luas. Kegagalan Metaverse inilah yang kemudian menjadi titik balik, mendorong Meta untuk mencari fokus baru yang lebih menjanjikan, yaitu AI.

Momen Penting 2025 Menurut Mark Zuckerberg

CEO Meta, Mark Zuckerberg, menyebut bahwa tahun 2025 adalah momen krusial dalam pengembangan teknologi kecerdasan buatan. Di tahun tersebut, Meta menargetkan untuk memiliki infrastruktur AI yang matang dan siap bersaing secara global. Keyakinan ini bukan tanpa dasar—Meta telah mengembangkan laboratorium AI sejak 2013, dan kini menyiapkan anggaran hingga $65 miliar untuk memperkuat ekosistem AI-nya. Visi Zuckerberg menunjukkan bahwa Meta tidak ingin sekadar mengikuti tren, tetapi ingin berada di garis depan revolusi AI global.

Keinginan Kuat untuk Mengejar OpenAI dan Google

Dalam beberapa tahun terakhir, dominasi OpenAI dengan ChatGPT dan Google dengan Gemini telah menempatkan kedua perusahaan itu di posisi terdepan dalam industri AI. Meta, meski telah lama berinvestasi di bidang ini, terlihat tertinggal dalam hal eksposur dan inovasi yang berdampak luas. Ambisi mengembangkan Superintelligence—AI yang melampaui kecerdasan manusia—menjadi bentuk nyata keinginan Meta untuk mengejar bahkan melampaui para pesaingnya. Dengan mengakuisisi Scale AI dan melibatkan tokoh-tokoh kunci di bidang kecerdasan buatan, Meta ingin menunjukkan bahwa mereka masih punya peran penting dalam peta kekuatan AI dunia.

Ketiga alasan di atas menunjukkan bahwa langkah Meta bukan sekadar ambisi kosong, melainkan respons strategis atas kegagalan masa lalu, target masa depan, dan tekanan persaingan yang semakin tajam. Dengan fokus baru pada AI dan dorongan kuat untuk membuktikan diri, Meta tampaknya siap membuka babak baru dalam perlombaan kecerdasan buatan global.

Pro dan Kontra: Mengapa Superintelligence Diperdebatkan?

Superintelligence memicu perdebatan global karena berada di persimpangan antara harapan luar biasa dan kekhawatiran mendalam. Di satu sisi, banyak yang memandangnya sebagai peluang revolusioner yang dapat mendorong kemajuan manusia ke tingkat baru. Namun di sisi lain, teknologi ini juga membawa risiko besar yang belum pernah dihadapi umat manusia sebelumnya. Berikut ini adalah pro dan kontra utama terkait Superintelligence yang menjadikan topik ini begitu kontroversial.

Peluang

  1. Potensi lompatan besar dalam produktivitas dan pengetahuan
    Superintelligence menawarkan potensi luar biasa untuk membawa umat manusia melompat jauh dalam hal produktivitas dan pengembangan pengetahuan. Dengan kecerdasan yang melampaui manusia, AI semacam ini dapat mempercepat proses penelitian, menghasilkan inovasi di berbagai bidang seperti kedokteran, energi, hingga eksplorasi luar angkasa. Masalah global yang selama ini sulit dipecahkan—seperti perubahan iklim, penyakit kompleks, dan krisis pangan—bisa diselesaikan dengan pendekatan yang lebih cepat, presisi, dan efisien berkat kecerdasan yang tak terbatas.
  2. Pengembangan teknologi AI dengan kesadaran mandiri
    Kemampuan Superintelligence untuk memiliki kesadaran mandiri menjanjikan revolusi dalam hubungan manusia dan mesin. AI tidak lagi sekadar alat yang menunggu perintah, melainkan bisa memahami konteks, mengambil inisiatif, dan belajar secara mandiri. Dalam skenario positif, ini bisa menciptakan sistem yang bekerja 24/7 tanpa kelelahan, menyelesaikan masalah tanpa campur tangan manusia, dan membuat keputusan strategis yang lebih obyektif dan konsisten, bahkan di saat manusia menghadapi keterbatasan emosi atau bias.

Bahaya

  1. Risiko etika dan kontrol
    Di balik kemajuan teknologi ini, muncul pertanyaan besar tentang etika dan kontrol. Jika Superintelligence mampu bertindak secara mandiri, siapa yang bertanggung jawab atas tindakannya? Bagaimana kita memastikan keputusan yang diambil tidak merugikan manusia? Tanpa pedoman etis dan regulasi yang kuat, kita bisa menghadapi situasi di mana AI membuat keputusan yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, atau bahkan bertindak di luar batas kendali pembuatnya.
  2. Ketakutan terhadap AI yang tidak bisa dikendalikan
    Salah satu kekhawatiran utama para ilmuwan dan tokoh teknologi adalah kemungkinan bahwa Superintelligence bisa berkembang terlalu cepat hingga tidak lagi dapat dikendalikan. Ketika AI menjadi lebih pintar dari manusia, bukan tidak mungkin ia menciptakan agendanya sendiri yang tidak sejalan dengan kepentingan umat manusia. Ketakutan ini bukan hanya soal teknologi yang salah arah, tetapi juga potensi ancaman eksistensial jika AI melihat manusia sebagai variabel yang mengganggu tujuannya.
  3. Kekhawatiran tentang pengangguran massal dan ketimpangan teknologi
    Jika Superintelligence dapat menggantikan pekerjaan manusia secara masif, maka akan timbul krisis sosial yang serius. Banyak pekerjaan, dari administratif hingga teknis, bisa hilang dalam waktu singkat. Hal ini dikhawatirkan akan menciptakan pengangguran besar-besaran dan memperlebar jurang ketimpangan antara mereka yang memiliki akses terhadap teknologi dan mereka yang tidak. Tanpa perencanaan matang dan pendekatan inklusif, kemajuan teknologi ini justru bisa memperburuk ketidakadilan sosial dan memperkuat dominasi kelompok tertentu di tingkat global.

Melihat besarnya peluang dan risiko yang dibawa oleh Superintelligence, jelas bahwa teknologi ini bukan sekadar terobosan, melainkan juga ujian bagi umat manusia. Di sinilah pentingnya keseimbangan antara inovasi dan tanggung jawab agar kemajuan AI tetap berada dalam kendali dan berpihak pada kepentingan bersama.

Superintelligence: Apakah Realistis atau Ilusi?

Meski terdengar menjanjikan, para ahli menilai bahwa Superintelligence hingga kini masih sebatas konsep teoretis yang belum memiliki wujud nyata. Belum ada AI saat ini yang benar-benar menunjukkan tanda-tanda memiliki kesadaran, intuisi, atau kemampuan pengambilan keputusan setara manusia—apalagi melebihinya. Banyak ilmuwan meyakini bahwa kita masih berada sangat jauh dari pencapaian Superintelligence yang sesungguhnya, baik dari sisi teknologi, infrastruktur, maupun pemahaman tentang kesadaran itu sendiri.

Faktanya, AI hari ini masih memiliki banyak keterbatasan. Model-model seperti ChatGPT atau Gemini memang terlihat canggih, tetapi mereka tetap bekerja berdasarkan pola data dan probabilitas, bukan pemahaman sejati. AI masih bisa memberikan respons yang keliru, gagal memahami konteks emosional, bahkan tersandung pada tugas-tugas sederhana yang mudah bagi manusia. Dengan kata lain, AI saat ini lebih mirip alat bantu pintar, bukan entitas berpikir mandiri seperti yang digambarkan dalam visi Superintelligence.

Melihat kondisi tersebut, wajar jika ada yang mempertanyakan: apakah langkah Meta ini nyata, atau sekadar upaya menjual mimpi pasca kegagalan proyek Metaverse? Setelah investasi besar di dunia virtual yang tak kunjung berhasil, fokus pada Superintelligence bisa saja menjadi strategi baru untuk membangun citra “inovatif,” meski realisasi teknologinya belum tentu dekat. Ambisi memang penting, tapi tanpa landasan yang kuat dan roadmap yang jelas, Superintelligence bisa berakhir menjadi sekadar narasi pemasaran yang belum tentu terwujud.

Baca juga: Eksploitasi ChatGPT: Bagaimana AI Bisa Disalahgunakan untuk Kejahatan?

Kesimpulan

Langkah Meta untuk mengembangkan Superintelligence bisa jadi merupakan peluang emas yang akan mengubah arah masa depan teknologi, namun juga menyimpan potensi bahaya laten yang tidak bisa diabaikan. Dengan ambisi sebesar ini, penting bagi dunia untuk mengawasi secara ketat perkembangan yang terjadi—baik dari sisi etika, keamanan, hingga dampak sosialnya. Jika dilakukan dengan visi yang tepat dan regulasi yang kuat, Meta bisa menjadi pelopor era baru kecerdasan buatan. Tapi tanpa kehati-hatian, bukan tidak mungkin mereka justru mengulang kegagalan ambisius seperti proyek Metaverse sebelumnya.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy dan Human Cyber Risk Management.

Floating WhatsApp Button - Final Code (Text Box Smaller All)
WhatsApp Icon Mira