Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah memperluas lanskap keamanan siber, menghadirkan peluang sekaligus tantangan baru dalam melindungi data dan sistem digital. Selama ini, perhatian utama sering terpusat pada aspek teknis seperti perangkat lunak, enkripsi, dan infrastruktur jaringan, padahal pada kenyataannya manusia justru menjadi elemen paling rentan dalam rantai keamanan. Dari kesalahan kecil seperti mengklik tautan phishing hingga kelalaian dalam menjaga kata sandi, faktor manusia kerap menjadi pintu masuk utama bagi ancaman siber. Meski begitu, dengan edukasi dan budaya keamanan yang tepat, manusia juga bisa menjadi pertahanan terkuat. Maka, pertanyaannya: apakah faktor manusia akan tetap menjadi weakest link atau justru berubah menjadi strongest defense?
Peran manusia dalam keamanan siber sangatlah krusial karena sebagian besar insiden keamanan berakar pada perilaku individu. Riset menunjukkan bahwa 70–90% pelanggaran siber disebabkan oleh kesalahan manusia, baik berupa kelalaian, pengambilan keputusan yang buruk, maupun ketidakpatuhan terhadap kebijakan organisasi. Contoh kasusnya adalah penggunaan kata sandi lemah, salah konfigurasi sistem, hingga kegagalan mengenali ancaman phishing. Hal tersebut diperkuat dalam temuan pada jurnal Human Factors of Cybersecurity karya Diab M. Al-Badayneh, Dara D. Al-Badayneh, dan Rabab K. Hashish yang menegaskan bahwa teknologi secanggih apa pun tidak akan efektif tanpa memperhitungkan peran manusia.
Selain itu, faktor manusia dapat dikategorikan dalam tiga ranah utama: fisik, kognitif, dan organisasi. Ranah fisik merujuk pada aspek ergonomi dan interaksi langsung dengan perangkat; kognitif berhubungan dengan cara manusia berpikir, memproses informasi, serta bias psikologis yang dapat mengaburkan penilaian; sedangkan faktor organisasi berkaitan dengan budaya kerja, struktur kepemimpinan, dan kebijakan yang berlaku. Hal tersebut diperkuat dalam temuan pada jurnal Human factors in cybersecurity: an interdisciplinary review and framework proposal karya Kalam Khadka dan Abu Barkat Ullah (2025), yang menekankan pentingnya memahami keterkaitan ketiga ranah tersebut dalam membentuk perilaku aman maupun berisiko dalam dunia siber.
Lebih jauh lagi, manusia merupakan target utama social engineering, yang mencakup sekitar 98% serangan siber. Teknik manipulasi psikologis seperti phishing, pretexting, dan baiting kerap dimanfaatkan penyerang karena sifat dasar manusia yang mudah percaya, terburu-buru, atau lengah. Kasus peretasan Twitter 2020 adalah contoh nyata bahwa kerentanan tidak hanya terdapat pada sistem teknis, melainkan pada manusia yang mengoperasikannya. Oleh karena itu, memahami faktor manusia tidak hanya penting untuk mencegah kesalahan, tetapi juga untuk membangun pertahanan berbasis kesadaran dan budaya keamanan yang lebih kuat (Al-Badayneh et al., 2025).
Baca juga: Membentuk Firewall Manusia Melalui Pelatihan Dan Kesadaran
Untuk memahami bagaimana faktor manusia bisa menjadi celah dalam keamanan siber, kita perlu melihat lebih dekat bentuk ancaman yang paling sering muncul. Dari kesalahan sehari-hari hingga ancaman orang dalam, semua ini membuktikan bahwa manusia dapat menjadi titik lemah terbesar dalam sistem pertahanan digital. Berikut penjelasan detailnya:
Human error masih menjadi penyebab utama insiden keamanan siber, mencakup kesalahan sederhana seperti salah konfigurasi, mengklik tautan phishing, hingga penggunaan kata sandi lemah. Situasi ini sering muncul karena tekanan kerja, beban informasi yang berlebihan, atau kelelahan yang membuat konsentrasi menurun. Faktor psikologis seperti overconfidence, stress, dan fatigue juga memperbesar kemungkinan seseorang mengambil keputusan yang salah. Karena itu, penting menghadirkan pendekatan yang tidak hanya mengandalkan kontrol teknis, tetapi juga memperhatikan sisi manusia—mulai dari edukasi, desain sistem yang ramah pengguna, hingga manajemen stres agar potensi kesalahan dapat diminimalkan.
Insider threats adalah ancaman yang datang dari orang dalam organisasi, baik karena kelalaian maupun ketidakpuasan, dan kerap menjadi jalur pintas paling berbahaya bagi penyerang. Kasus Twitter Hack 2020 menjadi contoh nyata bagaimana penyerang mampu mengeksploitasi akses karyawan melalui rekayasa sosial untuk menembus pertahanan teknis yang sebenarnya sudah kuat. Ancaman semacam ini menegaskan bahwa teknologi saja tidak cukup; dibutuhkan budaya kewaspadaan, kebijakan yang selaras dengan perilaku kerja, serta pelatihan adaptif agar setiap individu menyadari tanggung jawabnya. Selain itu, kepemimpinan yang mampu membangun kepercayaan dan menumbuhkan kesadaran kolektif sangat penting untuk meminimalkan potensi orang dalam menjadi titik lemah sistem.
Kecanduan digital dan cyber fatigue menjadi faktor lain yang melemahkan kewaspadaan dalam keamanan siber. Kecanduan digital sering membuat seseorang tergesa-gesa membuka lampiran atau tautan tanpa verifikasi, sementara cyber fatigue dan cognitive overload—akibat banjir notifikasi, prosedur rumit, dan penggunaan banyak alat—mendorong pengguna mencari jalan pintas dan mengabaikan kontrol keamanan. Kondisi ini bukan hanya menurunkan disiplin, tetapi juga meningkatkan peluang kesalahan fatal yang bisa dimanfaatkan penyerang. Untuk mengatasinya, organisasi perlu menciptakan lingkungan kerja yang lebih manusiawi, mendesain sistem yang sederhana, serta mendukung manajemen stres agar kualitas keputusan tetap terjaga meski dalam tekanan.
Manusia tidak selalu menjadi titik lemah dalam keamanan siber. Jika diberdayakan dengan strategi yang tepat, mereka justru dapat menjadi garda terdepan dalam melindungi organisasi dari ancaman digital. Berikut tiga aspek penting yang menunjukkan bagaimana manusia bisa bertransformasi dari sisi paling rentan menjadi pertahanan paling kuat:
Kesadaran adalah fondasi pertama dalam membangun pertahanan yang tangguh. Individu yang paham risiko siber akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan, seperti memverifikasi email mencurigakan atau menggunakan kata sandi yang kuat. Edukasi berkelanjutan—baik melalui pelatihan adaptif, gamifikasi, maupun peningkatan literasi digital—mampu menanamkan kebiasaan positif dalam menghadapi ancaman. Selain itu, pendekatan nudging dan behavioral design terbukti efektif dalam mendorong perilaku aman secara alami, sehingga keamanan menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari, bukan sekadar kewajiban.
Peran organisasi sangat besar dalam menentukan seberapa kuat pertahanan manusia terhadap ancaman siber. Budaya kerja yang sehat dan berbasis keamanan membuat setiap karyawan merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga sistem. Di sinilah pentingnya kepemimpinan dengan emotional intelligence, karena pemimpin yang mampu berempati dan membimbing akan lebih mudah menumbuhkan disiplin, kepercayaan, dan kepedulian kolektif. Ketika keamanan sudah menjadi norma dalam budaya kerja, setiap individu otomatis menjadi bagian dari rantai pertahanan, bukan sekadar pengguna pasif.
Sistem yang ramah pengguna akan jauh lebih efektif dalam mengurangi risiko kesalahan. Prinsip Human Factors Engineering menekankan bahwa desain sistem harus menyesuaikan kemampuan dan keterbatasan manusia, bukan sebaliknya. Dengan antarmuka sederhana, prosedur yang jelas, serta teknologi pendukung yang membantu pengambilan keputusan, kemungkinan terjadinya human error dapat ditekan. Lebih dari itu, kolaborasi interdisipliner—melibatkan psikologi, kriminologi, ergonomi, hingga sosiologi—diperlukan untuk menciptakan sistem pertahanan yang benar-benar manusia-sentris, di mana teknologi dan perilaku bekerja secara selaras untuk menghadapi ancaman siber.
Pendekatan keamanan siber yang efektif tidak dapat hanya bergantung pada teknologi, tetapi harus memadukan teknologi, manusia, budaya organisasi, dan etika. Teknologi menyediakan alat pertahanan, sementara manusia menentukan bagaimana alat itu digunakan dalam praktik sehari-hari. Budaya organisasi membentuk kebiasaan kolektif yang mendukung perilaku aman, sedangkan etika memastikan bahwa praktik keamanan tetap menjaga privasi dan keadilan. Hal tersebut diperkuat dalam temuan pada jurnal Human Factors of Cybersecurity , yang menekankan bahwa tanpa keseimbangan antara aspek teknis dan manusia, pertahanan digital akan selalu rapuh (Al-Badayneh et al., 2025).
Kerangka yang dapat menjadi acuan adalah Human-Centric Cybersecurity Framework, yang menekankan empat pilar: aspek psikologis, pelatihan dan edukasi, budaya organisasi, serta pendekatan sosio-teknis. Pilar psikologis berfokus pada pengelolaan stres dan bias kognitif; pelatihan dan edukasi menekankan metode adaptif dan gamifikasi agar pengetahuan mudah diterapkan; budaya organisasi menggarisbawahi pentingnya kepemimpinan berempati dan norma keamanan yang melekat dalam rutinitas kerja; sementara aspek sosio-teknis menekankan desain sistem yang ramah pengguna untuk meminimalisir kesalahan. Hal tersebut diperkuat dalam temuan pada jurnal Human factors in cybersecurity: an interdisciplinary review and framework proposal, yang menekankan perlunya intervensi lintas disiplin agar keempat pilar dapat berjalan beriringan (Khadka & Ullah, 2025).
Selain kerangka internal, organisasi juga perlu mengacu pada standar global untuk memastikan konsistensi dan kualitas sistem pertahanan. Framework seperti NIST Cybersecurity Framework (CSF) membantu memetakan fungsi keamanan dalam lima langkah—Identify, Protect, Detect, Respond, Recover—sementara ISO/IEC 27001 menekankan sistem manajemen keamanan informasi (ISMS) dengan kontrol yang mencakup faktor teknis maupun manusia. Dengan menghubungkan praktik human-centric pada standar ini, organisasi dapat membangun pertahanan yang tidak hanya patuh regulasi, tetapi juga adaptif, inklusif, dan benar-benar tangguh menghadapi ancaman siber.
Baca juga: Mengatasi Human Error di Keamanan Siber dengan Pendekatan Psikologi
Faktor manusia bukan hanya titik lemah dalam keamanan siber, tetapi juga dapat menjadi garda terdepan pertahanan jika diberdayakan dengan benar. Keamanan siber yang efektif harus berorientasi pada manusia, adaptif terhadap perubahan, serta melibatkan kolaborasi lintas disiplin untuk menyatukan teknologi, psikologi, budaya, dan etika. Masa depan keamanan siber terletak pada kemampuan membangun budaya kewaspadaan yang berkelanjutan, di mana setiap individu memiliki peran aktif dalam menjaga ekosistem digital tetap aman dan tangguh.