Mengatasi Human Error di Keamanan Siber dengan Pendekatan Psikologi
Read Time 7 mins | 25 Agu 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Dalam dunia keamanan siber, human error masih menjadi salah satu celah terbesar yang sering dimanfaatkan penyerang, bahkan ketika organisasi telah membangun pertahanan teknologi yang canggih. Faktor manusia seperti perilaku, pengambilan keputusan, dan budaya organisasi memiliki peran yang sama pentingnya dengan sistem teknis dalam menjaga keamanan. Kasus Twitter hack pada tahun 2020 menjadi contoh nyata bagaimana pelaku berhasil menembus pertahanan melalui manipulasi terhadap karyawan, bukan melalui peretasan sistem yang kompleks. Artikel ini akan membahas bagaimana pendekatan psikologi dapat menjadi kunci dalam mengurangi risiko human error, dengan menitikberatkan pada pemahaman perilaku, pelatihan adaptif, dan strategi yang memberdayakan pengguna sebagai garda terdepan keamanan siber.
Memahami Human Error dalam Keamanan Siber
Human error dalam konteks keamanan siber dapat diartikan sebagai kesalahan yang dilakukan individu, baik disengaja maupun tidak—yang mengakibatkan kerentanan atau insiden keamanan. Menurut Khadka & Ullah (2025) dalam Human factors in cybersecurity: an interdisciplinary review and framework proposal, bentuknya dapat berupa kelalaian seperti mengabaikan prosedur keamanan, overconfidence yang mendorong pengguna mengambil risiko berlebihan, hingga kurangnya pelatihan yang membuat individu tidak mampu mengenali ancaman. Jenis kesalahan ini sering kali terjadi dalam interaksi sehari-hari dengan sistem digital, mulai dari penggunaan kata sandi yang lemah, mengklik tautan phishing, hingga salah konfigurasi sistem yang kritis.
Penelitian menunjukkan bahwa human error menyumbang porsi signifikan dari pelanggaran keamanan. Khadka & Ullah (2025) mengutip berbagai studi yang mengestimasi kontribusi kesalahan manusia mencapai sebagian besar insiden siber, bahkan hingga di atas 80% pada beberapa laporan industri. Tingginya angka ini menegaskan bahwa kelemahan terbesar dalam sistem keamanan tidak selalu terletak pada perangkat keras atau perangkat lunak, tetapi pada perilaku dan keputusan pengguna yang berinteraksi dengannya. Hal ini berarti, investasi pada teknologi saja tidak akan cukup jika tidak dibarengi dengan strategi mitigasi faktor manusia.
Lebih jauh lagi, human error erat kaitannya dengan perilaku, proses pengambilan keputusan, dan budaya organisasi. Lingkungan kerja yang tidak mendukung kepatuhan keamanan, tekanan beban kerja yang tinggi, serta kebijakan yang tidak selaras dengan kemampuan karyawan, dapat memperbesar peluang terjadinya kesalahan. Khadka & Ullah (2025) menekankan bahwa memahami interaksi antara faktor psikologis dan lingkungan organisasi adalah kunci untuk merancang intervensi yang efektif. Dengan kata lain, memperbaiki keamanan siber memerlukan pendekatan menyeluruh yang tidak hanya memperkuat sistem teknis, tetapi juga membentuk perilaku dan budaya kerja yang aman.
Baca juga: Membangun Budaya Keamanan Siber dengan Ilmu Psikologi
Faktor Psikologis Pemicu Human Error
Berikut penjelasan detail mengenai faktor-faktor psikologis yang memicu terjadinya human error dalam keamanan siber. Pemahaman mendalam tentang setiap faktor ini sangat penting agar organisasi dapat merancang intervensi yang tepat untuk mengurangi risiko insiden keamanan yang bersumber dari perilaku manusia.
Stres dan Kelelahan Kognitif
Stres dan beban kognitif yang tinggi dapat menjadi salah satu pemicu utama kesalahan manusia dalam keamanan siber. Situasi ini kerap terjadi pada analis Security Operations Center (SOC) yang bekerja di bawah tekanan waktu, memantau aliran data yang besar, dan mengambil keputusan cepat untuk menanggapi ancaman. Kondisi tersebut menguras energi mental, menurunkan fokus, dan meningkatkan risiko terlewatnya indikator serangan. Pengelolaan stres yang baik dan perancangan alur kerja yang lebih efisien menjadi kunci untuk mengurangi potensi kesalahan akibat faktor ini.
Kepribadian & Bias Kognitif
Karakteristik kepribadian dan bias kognitif berperan besar dalam membentuk cara seseorang merespons ancaman siber. Individu yang terlalu percaya diri (overconfidence) cenderung mengabaikan prosedur keamanan karena merasa sudah aman, sementara mereka yang mudah cemas atau terlalu waspada justru dapat tergesa-gesa mengambil keputusan yang salah. Bias seperti kecenderungan mempercayai sumber yang tampak otoritatif atau akrab juga membuat seseorang lebih mudah tertipu. Pemahaman akan bias ini penting untuk membantu individu mengelola responnya dan membuat keputusan yang lebih rasional.
Manipulasi Psikologis oleh Social Engineering
Social engineering memanfaatkan kelemahan psikologis untuk memanipulasi seseorang agar memberikan informasi sensitif atau akses sistem. Teknik yang sering digunakan antara lain menciptakan rasa urgensi, memanfaatkan rasa percaya, dan menggunakan kedok otoritas. Tanpa kesadaran dan keterampilan untuk mengenali tanda-tanda manipulasi ini, individu dapat dengan mudah menjadi korban. Pelatihan berbasis simulasi dan pembelajaran kasus nyata terbukti efektif untuk membangun ketahanan mental terhadap taktik semacam ini.
Kurangnya Self-Efficacy dan Kesalahan Persepsi Risiko
Self-efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk menangani situasi tertentu, termasuk ancaman keamanan siber. Ketika keyakinan ini rendah, individu cenderung ragu, takut salah, atau bahkan pasif dalam mengambil tindakan pencegahan. Kesalahan persepsi risiko, seperti meremehkan kemungkinan terjadinya serangan atau menganggap ancaman tidak relevan dengan dirinya, juga membuat orang enggan menerapkan praktik keamanan yang baik. Meningkatkan rasa percaya diri melalui latihan interaktif dan edukasi yang relevan dapat mendorong perilaku yang lebih aman dan proaktif.
Pendekatan Psikologi untuk Mengurangi Human Error
Pendekatan psikologi dalam mengurangi human error pada keamanan siber menekankan bahwa faktor manusia perlu dikelola secara strategis, bukan sekadar dipandang sebagai titik lemah. Strategi ini menggabungkan pemahaman perilaku, pembentukan kebiasaan aman, dan penyesuaian lingkungan kerja agar mendukung kepatuhan serta ketahanan terhadap ancaman. Ada empat fokus utama yang dapat diterapkan organisasi untuk mencapai tujuan ini.
Intervensi Berbasis Psikologi
Langkah pertama adalah menerapkan intervensi berbasis psikologi untuk membangun ketahanan mental dan perilaku aman. Emotional Intelligence training membantu individu memahami dan mengelola emosi mereka, sehingga mampu merespons tekanan atau provokasi secara rasional. Manajemen stres dan pengendalian beban kognitif juga penting, terutama bagi pekerja di lingkungan dengan tekanan tinggi seperti SOC analyst. Selain itu, membangun persepsi risiko yang tepat akan membuat individu lebih waspada terhadap ancaman tanpa terjebak dalam rasa takut berlebihan atau sikap acuh tak acuh.
Pelatihan dan Edukasi
Pendekatan berikutnya adalah melalui pelatihan dan edukasi yang dirancang secara efektif dan menarik. Gamifikasi dan pembelajaran adaptif dapat meningkatkan keterlibatan sekaligus memperkuat retensi materi pelatihan. Agar efektif, konten harus disesuaikan dengan budaya dan perbedaan generasi, karena setiap kelompok memiliki gaya belajar dan tingkat literasi digital yang berbeda. Peran komunitas dan institusi publik seperti perpustakaan juga tidak kalah penting, terutama untuk memperluas jangkauan edukasi keamanan siber hingga ke wilayah atau kelompok masyarakat yang kurang terlayani.
Budaya Organisasi & Kepatuhan
Selain fokus pada individu, organisasi juga perlu membangun budaya yang mendukung keamanan siber secara menyeluruh. Kepemimpinan yang mengedepankan empati dan inklusivitas akan menciptakan lingkungan kerja yang mendorong keterbukaan dan kolaborasi dalam menjaga keamanan. Kebijakan yang diterapkan harus diselaraskan dengan perilaku serta kemampuan karyawan agar lebih mudah dipatuhi. Strategi perilaku juga diperlukan untuk mengurangi risiko insider threat, misalnya dengan menciptakan lingkungan kerja yang aman, transparan, dan memfasilitasi pelaporan dini atas aktivitas mencurigakan.
Integrasi Sosio-Teknis
Langkah terakhir adalah mengintegrasikan elemen manusia dan teknologi agar saling memperkuat. Decision-support system dapat membantu mengurangi beban kognitif pengguna, sehingga keputusan penting dapat diambil dengan cepat dan tepat. Penerapan human reliability models di lingkungan berisiko tinggi akan membantu memprediksi dan meminimalkan potensi kesalahan. Teknologi seperti AI perlu digunakan secara etis dan transparan untuk menjaga kepercayaan, sementara pencegahan social engineering non-digital juga harus diperhatikan, termasuk manipulasi langsung atau interaksi fisik yang berisiko terhadap keamanan.
Kerangka Human-Centric Cybersecurity
Menurut penelitian Khadka & Ullah (2025) dalam Human factors in cybersecurity: an interdisciplinary review and framework proposal, kerangka Human-Centric Cybersecurity dibangun di atas empat pilar utama yang saling melengkapi, yaitu psikologis, pelatihan, budaya organisasi, dan integrasi sosio-teknis. Pilar psikologis berfokus pada resiliensi mental, manajemen stres, dan kesadaran risiko. Pilar pelatihan mengedepankan gamifikasi, pembelajaran adaptif, serta penyesuaian materi sesuai budaya dan generasi. Pilar budaya organisasi menekankan kepemimpinan inklusif dan kebijakan yang selaras dengan perilaku karyawan. Sementara itu, pilar integrasi sosio-teknis memastikan harmonisasi antara perilaku manusia dan teknologi melalui decision-support system, human reliability models, serta AI yang etis dan transparan.
Prinsip utama dalam kerangka ini adalah adaptif, inklusif, dan praktis. Adaptif berarti strategi harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika ancaman dan kebutuhan pengguna, termasuk perbedaan tingkat literasi digital. Inklusif menegaskan pentingnya menjangkau seluruh lapisan pengguna, termasuk kelompok yang kurang terlayani atau memiliki akses terbatas terhadap teknologi. Sedangkan praktis menggarisbawahi penerapan langkah-langkah yang dapat langsung diimplementasikan di lingkungan kerja tanpa mengganggu operasional, seperti modul pelatihan singkat, kebijakan keamanan yang sederhana namun efektif, dan sistem pendukung keputusan yang mudah digunakan.
Kerangka ini dirancang agar dapat diterapkan lintas sektor, mulai dari perbankan, kesehatan, hingga industri manufaktur. Di sektor perbankan, fokusnya bisa pada pelatihan karyawan untuk mencegah phishing dan insider threat. Dalam sektor kesehatan, penekanan diberikan pada perlindungan data pasien dan pengurangan kesalahan operasional yang melibatkan sistem digital rumah sakit. Sementara di sektor industri, penerapan human reliability models dapat meminimalkan risiko kesalahan di lingkungan produksi berisiko tinggi. Dengan pendekatan yang terstruktur dan berlapis ini, setiap sektor dapat membangun ketahanan siber yang lebih kuat, mengintegrasikan aspek teknis dan perilaku manusia dalam satu strategi menyeluruh
Rekomendasi Langkah Praktis untuk Organisasi
Untuk mengurangi human error dan membangun ketahanan keamanan siber yang berkelanjutan, organisasi perlu menerapkan langkah-langkah praktis yang terstruktur dan berfokus pada faktor manusia. Strategi ini tidak hanya mengandalkan teknologi, tetapi juga mengoptimalkan perilaku, budaya kerja, dan proses pembelajaran karyawan. Berikut adalah lima rekomendasi utama yang dapat menjadi panduan implementasi.
Audit Perilaku & Budaya
Langkah pertama adalah mengadakan audit perilaku dan budaya organisasi untuk mengidentifikasi potensi kelemahan dari sisi manusia. Audit ini melibatkan pengamatan terhadap kebiasaan kerja, sikap terhadap kebijakan keamanan, serta interaksi antar karyawan terkait praktik keamanan siber. Dengan memahami pola perilaku dan budaya yang ada, organisasi dapat menemukan akar masalah yang memicu human error, seperti rendahnya kepedulian keamanan atau adanya norma informal yang bertentangan dengan prosedur resmi.
Program Pelatihan Adaptif & Gamifikasi
Tahap berikutnya adalah merancang program pelatihan adaptif yang disesuaikan dengan tingkat literasi digital, latar belakang, dan kebutuhan setiap kelompok karyawan. Mengintegrasikan elemen gamifikasi dalam pelatihan akan meningkatkan keterlibatan dan motivasi belajar, misalnya melalui kompetisi mendeteksi phishing, sistem poin, atau leaderboard. Pendekatan ini tidak hanya membuat proses belajar lebih menarik, tetapi juga meningkatkan retensi materi dan mendorong penerapan perilaku aman di kehidupan kerja sehari-hari.
Kebijakan yang User-Centric
Langkah ketiga adalah memastikan kebijakan keamanan siber dirancang dengan pendekatan user-centric yang mempertimbangkan kenyamanan dan keterjangkauan bagi pengguna. Prosedur dan aturan harus mudah dipahami, relevan dengan pekerjaan, dan tidak membebani karyawan secara berlebihan. Misalnya, kebijakan kata sandi dapat dioptimalkan dengan password manager atau autentikasi multi-faktor yang sederhana, sehingga karyawan tetap aman tanpa harus mengingat banyak kombinasi rumit.
Integrasi Teknologi yang Mempertimbangkan Perilaku Manusia
Rekomendasi selanjutnya adalah memastikan teknologi yang digunakan mendukung perilaku aman, bukan justru mempersulitnya. Sistem seperti decision-support tools dapat membantu mengurangi beban kognitif dalam pengambilan keputusan, sementara pengaturan default yang aman mencegah kesalahan akibat kelalaian. Integrasi teknologi ini harus mempertimbangkan cara kerja dan kebiasaan pengguna, sehingga setiap fitur baru dapat diadopsi secara alami tanpa menimbulkan resistensi.
Evaluasi Berkala & Studi Longitudinal
Langkah terakhir adalah melakukan evaluasi berkala untuk menilai efektivitas kebijakan, pelatihan, dan teknologi yang telah diterapkan. Studi longitudinal sangat dianjurkan untuk memantau perubahan perilaku dan dampaknya terhadap penurunan insiden keamanan dari waktu ke waktu. Pendekatan ini memungkinkan organisasi menyesuaikan strategi berdasarkan data nyata, memastikan bahwa upaya yang dilakukan tetap relevan dengan dinamika ancaman dan kebutuhan pengguna.
Baca juga: Human Error Masih Jadi Risiko Besar? Ini Solusi Efektifnya
Kesimpulan
Mengatasi human error dalam keamanan siber membutuhkan pendekatan yang seimbang antara teknologi dan pemahaman mendalam tentang faktor manusia. Dengan memadukan intervensi psikologis, pelatihan adaptif, budaya organisasi yang mendukung, serta integrasi teknologi yang mempertimbangkan perilaku pengguna, organisasi dapat membangun pertahanan yang lebih tangguh dan berkelanjutan. Perubahan paradigma dari melihat pengguna sebagai titik lemah menjadi aset strategis akan mendorong keterlibatan aktif mereka dalam menjaga keamanan. Melalui kolaborasi lintas disiplin, strategi ini tidak hanya mampu meminimalkan risiko, tetapi juga menciptakan ekosistem keamanan siber yang adaptif, inklusif, dan berorientasi pada pemberdayaan manusia.