Kemunculan 5G menjadi katalis penting bagi pertumbuhan IoT di berbagai sektor, mulai dari industri manufaktur, transportasi, kesehatan, hingga smart city. Dengan dukungan kecepatan akses yang jauh lebih tinggi, latensi yang rendah, dan konektivitas yang mampu menghubungkan miliaran perangkat sekaligus, era 5G membuka peluang besar bagi terciptanya ekosistem digital yang lebih cerdas dan efisien. Namun, di balik peluang tersebut, semakin luas penggunaan teknologi ini juga menghadirkan ancaman yang semakin kompleks, mulai dari pencurian data pribadi, penyalahgunaan informasi, hingga serangan siber berskala besar yang berpotensi melumpuhkan layanan penting. Karena itu, pembahasan mengenai keamanan IoT di era 5G menjadi sangat krusial agar perkembangan inovasi digital dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Teknologi 5G menjadi katalis utama dalam percepatan adopsi IoT di berbagai sektor. Dengan kecepatan akses hingga 10 Gbps, latensi ultra-rendah, serta kemampuan menghubungkan jutaan perangkat secara bersamaan, 5G membuka peluang baru yang sebelumnya sulit dicapai dengan jaringan generasi sebelumnya. Seperti dijelaskan oleh M. Pons dalam jurnal Utilization of 5G Technologies in IoT Applications (2023), arsitektur 5G memungkinkan IoT beroperasi lebih efisien melalui pemrosesan data real-time dan otomatisasi skala besar. Hal serupa ditegaskan Chavan et al. dalam konferensi International Conference on Future Electronics (ICOFE-2024) , bahwa 5G mengatasi keterbatasan 4G dalam hal stabilitas dan kapasitas, sehingga IoT dapat diterapkan lebih luas, mulai dari smart grids hingga telehealth.
Keterhubungan erat antara IoT dan 5G juga menjadi pendorong utama transformasi digital. Dengan fondasi konektivitas real-time yang lebih andal, integrasi keduanya memungkinkan pengelolaan data, efisiensi energi, serta manajemen jaringan yang lebih cerdas. A. I. Zreikat dalam publikasinya di Computers (MDPI, 2025) menekankan bahwa kombinasi IoT dan 5G bukan sekadar peningkatan teknis, melainkan fondasi baru bagi ekosistem digital yang aman dan berkelanjutan. Pariyandani (2022) turut menambahkan bahwa performa 5G—khususnya latensi rendah dan throughput tinggi—menjadi faktor kunci yang membuat aplikasi IoT seperti smart home, otomasi industri, dan transportasi cerdas mampu berjalan lebih inovatif.
Penerapan IoT di era 5G kini dapat terlihat jelas di berbagai sektor. Dalam otomotif, 5G memungkinkan teknologi Vehicle-to-Everything (V2X) yang mendukung kendaraan otonom dan sistem pemantauan cerdas. Di sektor industri, implementasi jaringan 5G privat seperti yang dilakukan Numaligarh Refinery di India membuka jalan bagi penggunaan digital twins, AR/VR, dan IoT untuk operasi yang lebih efisien dan aman. Sementara itu, di bidang kesehatan, telemedicine berbasis IoT dapat berjalan lebih stabil dengan dukungan koneksi real-time. Bahkan di pertanian, sensor IoT yang terhubung dengan 5G membantu petani mengoptimalkan hasil melalui pertanian presisi. Semua ini menunjukkan bahwa integrasi 5G dan IoT bukan sekadar tren, melainkan motor penggerak utama transformasi digital global.
Baca juga: Mobil Listrik di Era IoT: Apakah Keamanannya Terjamin?
Memasuki era 5G, perkembangan Internet of Things (IoT) memang membawa manfaat besar, tetapi juga menghadirkan tantangan serius dalam hal keamanan. Berikut adalah beberapa risiko utama yang perlu diwaspadai, karena jika tidak diantisipasi sejak dini, dampaknya bisa merugikan individu, bisnis, bahkan infrastruktur kritis suatu negara.
Salah satu keunggulan 5G adalah kemampuannya menghubungkan miliaran perangkat dalam waktu yang bersamaan. Namun, semakin banyak perangkat yang terhubung berarti semakin banyak pula potensi celah serangan yang bisa dimanfaatkan peretas. Setiap sensor, kamera, atau perangkat pintar yang tidak diamankan dengan baik dapat menjadi pintu masuk ke dalam jaringan yang lebih besar. Dengan kata lain, skala koneksi masif justru memperluas permukaan serangan (attack surface) yang membuat sistem IoT semakin rentan.
Selain soal jumlah perangkat, masalah lain yang muncul adalah perlindungan data pribadi. Perangkat IoT sering kali mengumpulkan informasi sensitif, mulai dari lokasi pengguna, kebiasaan sehari-hari, hingga data medis. Tanpa mekanisme enkripsi dan kebijakan privasi yang kuat, data ini bisa bocor atau disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Di era 5G, transfer data yang lebih cepat justru memperbesar risiko jika data jatuh ke tangan yang salah, sehingga isu privasi menjadi semakin krusial.
IoT di era 5G juga rawan terhadap berbagai bentuk serangan siber, seperti malware, botnet, hingga serangan Distributed Denial of Service (DDoS). Serangan botnet IoT misalnya, memanfaatkan kelemahan pada perangkat pintar untuk mengendalikan ribuan perangkat sekaligus sebagai “senjata” dalam melancarkan serangan ke server atau infrastruktur penting. Dengan latensi rendah dan koneksi masif di jaringan 5G, serangan semacam ini bisa berlangsung lebih cepat, lebih besar, dan lebih sulit dideteksi.
Banyak perangkat IoT didesain dengan keterbatasan sumber daya, baik dari sisi prosesor, memori, maupun daya tahan baterai. Akibatnya, fitur keamanan seperti enkripsi tingkat tinggi atau sistem deteksi intrusi tidak selalu bisa diterapkan. Kondisi ini membuat perangkat IoT relatif lemah terhadap eksploitasi, sehingga peretas lebih mudah memanfaatkannya untuk menyusup ke jaringan. Tanpa peningkatan kemampuan keamanan di level perangkat, risiko akan tetap tinggi meskipun infrastruktur 5G sudah sangat canggih.
Risiko terakhir yang tidak kalah penting adalah kurangnya standar keamanan universal dalam ekosistem IoT. Setiap produsen perangkat memiliki pendekatan keamanan berbeda, sehingga interoperabilitas antar perangkat seringkali menyisakan celah. Dalam skala global, ketiadaan standar ini membuat adopsi IoT di era 5G rawan terhadap ketidakselarasan keamanan, yang pada akhirnya bisa membuka peluang serangan lintas perangkat dan lintas jaringan.
Kegagalan dalam mengelola keamanan IoT dapat menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar bagi perusahaan. Biaya yang timbul tidak hanya sebatas pada pemulihan sistem dan investigasi forensik, tetapi juga denda kepatuhan, potensi gugatan hukum, hingga hilangnya peluang bisnis. Laporan tahunan IBM & Ponemon Institute – Cost of a Data Breach (2025) mencatat rata-rata kerugian global akibat kebocoran data mencapai sekitar US$4,4 juta per insiden, sementara sektor keuangan bahkan lebih tinggi lagi. Temuan serupa dalam Cisco Consumer Privacy Survey juga menegaskan bahwa pelanggan semakin selektif dalam memilih penyedia layanan yang benar-benar melindungi data mereka, sehingga dampak finansial sering kali berlipat ganda akibat hilangnya loyalitas konsumen.
Selain kerugian materi, serangan terhadap ekosistem IoT juga berpotensi melumpuhkan operasional bisnis maupun layanan publik. Perangkat pintar yang dikompromikan dapat direkrut menjadi botnet untuk melancarkan serangan Distributed Denial of Service (DDoS), seperti yang dipelajari dalam riset Zhang, Upton, Beebe, & Choo (2020) di Forensic Science International: Digital Investigation. Salah satu contoh nyata adalah serangan Mirai botnet terhadap penyedia DNS Dyn pada tahun 2016 yang membuat akses ke sejumlah situs besar di seluruh dunia terganggu. Pedoman NISTIR 8228 yang diterbitkan oleh Boeckl et al. (2019) pun secara jelas mengingatkan bahwa perangkat IoT yang rentan dapat dieksploitasi untuk menyerang jaringan lain dan menimbulkan efek domino pada infrastruktur digital.
Dampak paling serius dari lemahnya keamanan IoT bahkan bisa mengancam keselamatan manusia. Dalam dunia medis, Klonoff & Han (2019) di Journal of Diabetes Science and Technology mencatat adanya penarikan produk pompa insulin Medtronic MiniMed karena celah keamanan yang memungkinkan peretas memodifikasi dosis obat pasien. Risiko serupa juga terjadi di sektor otomotif, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Miller & Valasek (2015) yang berhasil mengambil alih kendali Jeep Cherokee dari jarak jauh. Kasus-kasus tersebut memperlihatkan bahwa kompromi keamanan IoT tidak hanya menimbulkan kerugian finansial atau reputasi, tetapi juga bisa berujung pada bahaya nyata terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Untuk menjaga agar ekosistem IoT di era 5G tetap aman sekaligus berkelanjutan, dibutuhkan strategi mitigasi yang terstruktur. Strategi ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga mencakup standar, kebijakan, dan edukasi pengguna. Berikut adalah langkah-langkah yang banyak direkomendasikan dalam riset dan laporan internasional.
Data yang dipertukarkan antar perangkat IoT harus selalu diamankan dengan enkripsi end-to-end. Tantangannya, banyak perangkat IoT memiliki keterbatasan daya, memori, dan prosesor. Solusi yang ditawarkan adalah penggunaan algoritma enkripsi ringan. Penelitian Christoph Dobraunig et al. (2020) di Journal of Cryptology memperkenalkan algoritma Ascon, yang kemudian dipilih oleh NIST pada 2023 sebagai standar lightweight cryptography untuk perangkat dengan sumber daya terbatas. Dengan penerapan algoritma ini, data tetap terlindungi meskipun perangkat tidak mendukung kriptografi kompleks.
Perangkat IoT sering jatuh korban serangan karena autentikasi lemah, misalnya penggunaan kata sandi bawaan atau kunci bersama. Standar ACE-OAuth yang dikembangkan oleh IETF, ditulis oleh Seitz et al. (2022), menawarkan adaptasi mekanisme OAuth 2.0 ke perangkat IoT yang terbatas. Sistem ini memungkinkan penerapan mutual authentication serta token berbasis hak akses, sehingga setiap perangkat hanya bisa mengakses data atau layanan sesuai dengan perannya. Cara ini terbukti menutup banyak celah serangan yang sebelumnya sering dimanfaatkan.
Perangkat IoT yang tidak diperbarui menjadi target empuk bagi penyerang. Oleh karena itu, pembaruan harus dilakukan secara aman, terverifikasi, dan otomatis. Moran et al. (2021) dalam dokumen IETF SUIT Architecture menjelaskan bagaimana sistem update dapat dilengkapi tanda tangan digital, pemeriksaan integritas, hingga perlindungan rollback. Dengan metode ini, vendor dapat menutup kerentanan segera setelah ditemukan, dan pengguna tetap terlindungi tanpa perlu intervensi teknis yang rumit. Ke depan, SBOM (Software Bill of Materials) juga mulai diadopsi untuk memudahkan pemetaan komponen perangkat lunak yang digunakan.
Tidak semua perangkat IoT memiliki risiko yang sama. Karena itu, penerapan segmentasi jaringan dan network slicing di era 5G menjadi penting untuk meminimalisir dampak serangan. Penelitian Foukas et al. (2017) yang dipublikasikan di IEEE Communications Magazine menekankan bahwa slicing memungkinkan isolasi beban kerja berdasarkan kebutuhan, misalnya perangkat kritis yang membutuhkan latensi rendah dipisahkan dari perangkat biasa. Selain itu, laporan keamanan 5G Network Slicing oleh CISA dan NSA (2021) juga menegaskan pentingnya isolasi ini untuk mencegah penyebaran serangan lintas segmen.
Perbedaan kualitas keamanan antar vendor menjadi salah satu masalah utama IoT. Untuk itu, standar internasional perlu dijadikan acuan bersama. ETSI EN 303 645 (2020) mengatur baseline keamanan perangkat konsumen, mulai dari password unik, mekanisme update, hingga disclosure kerentanan. Sementara itu, laporan NISTIR 8259A (2020) yang ditulis oleh Fagan et al. menjabarkan kemampuan keamanan dasar perangkat IoT seperti identitas unik, konfigurasi aman, logging, hingga pembaruan perangkat lunak. Mengikuti standar ini membantu memastikan ekosistem IoT lebih konsisten dan tahan terhadap serangan.
Keamanan IoT tidak berhenti di teknologi, karena faktor manusia juga berperan besar. Sistem monitoring berbasis telemetri dan deteksi anomali sangat penting untuk mendeteksi serangan lebih cepat. Namun, tanpa kesadaran dari pengguna maupun operator, perlindungan akan tetap rapuh. Studi Parsons et al. (2017) dalam Computers & Security memperkenalkan HAIS-Q (Human Aspects of Information Security Questionnaire), sebuah instrumen untuk mengukur pengetahuan, sikap, dan perilaku karyawan terkait keamanan. Temuan mereka menunjukkan bahwa pelatihan berbasis perilaku yang berkesinambungan mampu menurunkan risiko nyata, sehingga kombinasi teknologi dan edukasi menjadi strategi mitigasi yang lebih utuh.
Agar potensi besar IoT di era 5G bisa benar-benar dimanfaatkan tanpa menimbulkan risiko keamanan, pemerintah dan industri harus memainkan peran penting melalui regulasi dan sinergi aktif. Regulasi formal seperti rekomendasi IoT Security and Privacy oleh ENISA (2022) telah menetapkan pedoman keamanan perangkat IoT dan jaringan 5G di Eropa, termasuk kebijakan enkripsi, manajemen identitas perangkat, dan disclosure kerentanan. Di Indonesia, evaluasi dalam jurnal “Penerapan Kebijakan Data Privacy di Era Teknologi 5G di Indonesia” oleh Yuli Fatmawati & Arizona Firdonsyah (2024) juga menunjukkan bahwa meski Undang‑Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sudah ada, penegakan masih lemah dan kesadaran masyarakat rendah—menyoroti perlunya revisi regulasi dan edukasi publik yang kuat.
Interaksi antara perusahaan teknologi, operator 5G, dan regulator menjadi kunci agar kebijakan bisa diterjemahkan ke implementasi nyata. Misalnya, lembaga seperti CISA di AS menegaskan pentingnya keterlibatan berbagai stakeholder, mulai dari pemerintah hingga industri dan akademisi, untuk mengidentifikasi, prioritisasi, dan mitigasi risiko keamanan 5G secara bersama-sama. Di tingkat global, konsorsium seperti IMPACT – ITU‑IMPACT, yang didukung oleh PBB, mempertemukan pemerintah, industri, dan akademia sebagai platform kooperatif untuk berbagi informasi ancaman dan koordinasi respons keberlanjutan terhadap risiko siber secara internasional.
Upaya global juga terlihat dalam inisiatif-inisiatif strategis yang meningkatkan keamanan IoT dan 5G secara kolektif. Program seperti Clean Network (AS‑EU) mengadvokasi pembangunan jaringan 5G yang terbebas dari vendor risiko tinggi—sebuah langkah keamanan geopolitik yang berdampak pada rantai pasokan teknologi. Selain itu, kolaborasi seperti proyek BEACON‑5G di Inggris, yang didanai oleh pemerintah dan industri, menguji penggunaan Open RAN secara aman dan interoperabel, membantu menyusun arsitektur jaringan yang lebih beragam dan tahan serangan siber.
Baca juga: Era IoT dan CPS: Tantangan Baru dalam Keamanan Digital
Era 5G mempercepat perkembangan IoT dengan konektivitas super cepat, latensi rendah, dan kemampuan menghubungkan miliaran perangkat, sehingga mendorong transformasi digital di berbagai sektor. Namun, manfaat ini diiringi risiko serius seperti kebocoran data, serangan siber, hingga lemahnya standar keamanan. Jika tidak dikelola, dampaknya bisa berupa kerugian finansial, gangguan layanan penting, bahkan ancaman keselamatan. Karena itu, diperlukan strategi mitigasi seperti enkripsi ringan, autentikasi kuat, pembaruan aman, segmentasi jaringan, standar internasional, serta edukasi berkelanjutan. Selain itu, sinergi antara industri, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci agar IoT di era 5G berkembang aman dan berkelanjutan.