<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to blog

Faktor Psikologis dan Dampaknya pada Keputusan Keamanan Siber Karyawan

Read Time 3 mins | Written by: Hastin Lia

Alt text: A bright, minimalistic image of a person working at a desk in a modern office.

Keputusan yang diambil oleh karyawan dalam situasi terkait keamanan siber seringkali dipengaruhi oleh faktor psikologis yang mendalam. Meskipun banyak perusahaan fokus pada teknologi untuk menjaga keamanan siber, mereka sering mengabaikan faktor manusia. Namun, faktor-faktor psikologis seperti tekanan, kelelahan, bias kognitif, dan persepsi risiko dapat memengaruhi cara karyawan merespons ancaman siber. Dalam artikel ini, kita akan membahas beberapa faktor psikologis utama yang mempengaruhi keputusan keamanan siber dan dampaknya pada bisnis.

1. Tekanan Kerja dan Stress

Tekanan kerja yang tinggi sering kali menyebabkan karyawan membuat keputusan yang kurang hati-hati. Ketika karyawan merasa tertekan untuk memenuhi tenggat waktu yang ketat atau bekerja di bawah kondisi stres tinggi, mereka cenderung mengabaikan langkah-langkah keamanan. Misalnya, mereka mungkin terburu-buru membuka email tanpa berpikir panjang, meningkatkan risiko terkena serangan phishing.

Studi menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja di bawah stres lebih mungkin membuat kesalahan dalam mengidentifikasi ancaman siber, terutama jika pelatihan keamanan tidak memadai. Oleh karena itu, perusahaan harus memantau beban kerja karyawan dan menyediakan dukungan untuk mengurangi stres.

2. Bias Kognitif 

Bias kognitif adalah kecenderungan berpikir yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam konteks keamanan siber, beberapa bias kognitif yang umum mempengaruhi karyawan meliputi:

  • Bias Konfirmasi: Karyawan mungkin mengabaikan tanda-tanda ancaman karena mereka sudah yakin bahwa sistem keamanan perusahaan kuat.
  • Overconfidence Bias: Terlalu percaya diri dalam kemampuan keamanan pribadi dapat membuat karyawan meremehkan ancaman yang sebenarnya signifikan.
  • Bias Kekinian (Recency Bias): Karyawan lebih waspada terhadap ancaman yang baru-baru ini terjadi tetapi mungkin mengabaikan ancaman yang sudah tidak terdengar meskipun masih relevan.

Mengatasi bias ini memerlukan pelatihan berkelanjutan yang dirancang untuk membantu karyawan mengenali pola pikir tidak rasional yang mungkin mereka miliki saat berurusan dengan ancaman keamanan.

3. Persepsi Risiko 

Persepsi risiko berbeda untuk setiap individu, dan hal ini sangat mempengaruhi cara mereka merespons ancaman keamanan siber. Beberapa karyawan mungkin tidak memahami sepenuhnya konsekuensi dari serangan siber dan menganggap bahwa risiko terkena serangan kecil. Akibatnya, mereka mungkin tidak merasa urgensi untuk mengikuti prosedur keamanan yang telah ditetapkan.

Faktor-faktor seperti usia, latar belakang teknologi, dan pengalaman bekerja juga berperan dalam membentuk persepsi risiko. Perusahaan perlu menyampaikan konsekuensi nyata dari pelanggaran keamanan, seperti kehilangan data atau kerugian finansial, untuk meningkatkan kesadaran karyawan tentang pentingnya keamanan siber.

4. Kelelahan dari Keamanan Siber (Security Fatigue)

Security fatigue adalah fenomena di mana karyawan menjadi lelah dengan aturan dan pedoman keamanan yang kompleks dan terus-menerus. Jika karyawan terus-menerus diminta untuk mengikuti prosedur keamanan yang panjang dan rumit, mereka mungkin merasa kelelahan dan akhirnya mulai mengabaikan prosedur tersebut.

Kelelahan ini dapat menyebabkan pengambilan jalan pintas dalam tindakan keamanan, seperti menggunakan kata sandi yang lemah atau tidak memverifikasi email mencurigakan. Untuk mengatasi security fatigue, perusahaan dapat menerapkan sistem otomatis yang membuat proses keamanan lebih efisien dan user-friendly.

5. Tekanan Social dan Budaya Kerja

Budaya kerja di dalam suatu perusahaan dapat berdampak besar pada keputusan keamanan siber. Jika sebuah organisasi tidak memiliki budaya yang mendukung kepatuhan terhadap keamanan, karyawan mungkin merasa enggan untuk melaporkan insiden keamanan atau mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Tekanan sosial dari rekan kerja juga dapat memengaruhi cara karyawan menanggapi ancaman siber.

Misalnya, jika seorang karyawan melihat rekan mereka tidak mengikuti protokol keamanan, mereka mungkin merasa nyaman melakukan hal yang sama. Sebaliknya, jika keamanan dianggap sebagai tanggung jawab bersama dan ada budaya saling melindungi, keputusan yang lebih aman akan lebih mungkin diambil oleh karyawan.

6. Pelatihan dan Pendidikan 

Kurangnya pelatihan dan pendidikan keamanan siber dapat menghambat kemampuan karyawan untuk mengambil keputusan yang tepat. Karyawan yang tidak dilatih secara memadai cenderung tidak mengenali ancaman potensial, seperti email phishing atau malware. Selain itu, jika pelatihan terlalu teknis atau tidak relevan dengan peran karyawan, mereka cenderung tidak memahaminya atau merasa bahwa keamanan bukan tanggung jawab mereka.

Pelatihan yang efektif harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat pemahaman karyawan, menggunakan simulasi yang relevan dan menyeluruh. Karyawan perlu merasa bahwa mereka memiliki peran penting dalam menjaga keamanan organisasi.

Kesimpulan

Faktor psikologis memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan terkait keamanan siber di tempat kerja. Tekanan, bias kognitif, persepsi risiko, dan kelelahan semuanya dapat mengarah pada keputusan yang keliru yang meningkatkan risiko bagi perusahaan. Untuk mengurangi dampak faktor-faktor ini, perusahaan harus memperhatikan kesejahteraan karyawan, menyediakan pelatihan yang efektif, serta membangun budaya kerja yang mendukung kepatuhan terhadap keamanan.

Dengan pendekatan yang tepat, organisasi dapat lebih baik dalam memitigasi risiko yang berasal dari faktor manusia dan menjaga keamanan siber tetap kuat.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Hastin Lia

Passionate di dunia IT, sering berbagi tentang teknologi, keamanan data, dan solusi digital.