Telegram Menjadi Pilihan Pelaku Kejahatan Siber di Asia Tenggara?
Read Time 7 mins | Written by: Nur Rachmi Latifa
Kejahatan siber di Asia Tenggara terus menunjukkan tren peningkatan seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, di mana aplikasi terenkripsi seperti Telegram menjadi salah satu sarana utama bagi sindikat kriminal untuk beroperasi. Laporan terbaru dari PBB menyoroti bagaimana platform ini digunakan untuk berbagai aktivitas ilegal, seperti jual beli perangkat lunak deepfake dan malware pencuri data, penipuan finansial, hingga pencucian uang. Dengan fitur-fitur seperti anonimitas pengguna, enkripsi, dan kemudahan dalam membangun komunikasi massal, Telegram memberikan ruang yang sulit diawasi oleh pihak berwenang, sehingga menarik perhatian jaringan kriminal transnasional. Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai bagaimana Telegram dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber, langkah penanganan yang direkomendasikan PBB, serta tantangan yang dihadapi dalam upaya memerangi ancaman ini.
Telegram dan Popularitasnya di Asia Tenggara
Telegram telah menjelma menjadi salah satu platform komunikasi yang paling digemari di Asia Tenggara. Salah satu alasan utamanya adalah kemampuannya menyediakan layanan berkualitas tinggi yang gratis dan mudah digunakan. Dengan fitur enkripsi end-to-end serta keamanan yang lebih ketat dibandingkan aplikasi lain, Telegram menawarkan privasi maksimal bagi penggunanya. Menariknya, untuk mendaftar akun, pengguna hanya perlu menyertakan nomor telepon tanpa harus memberikan banyak informasi pribadi. Hal ini menjadikannya pilihan menarik bagi individu yang mengutamakan anonimitas, baik karena alasan keamanan maupun untuk tujuan yang tidak selalu sah.
Selain itu, fleksibilitas Telegram yang dapat diakses dari berbagai perangkat sekaligus menambah daya tariknya di kawasan ini. Di Asia Tenggara, penggunaan Telegram tidak terbatas pada komunikasi pribadi, tetapi juga berkembang menjadi sarana berbagi informasi secara massal melalui fitur grup dan channel publik. Fitur channel memungkinkan satu individu menyebarkan konten ke ribuan pengguna dalam waktu singkat, menjadikannya alat komunikasi yang efisien dan luas jangkauannya.
Sayangnya, fitur ini juga sering disalahgunakan oleh pelaku kejahatan siber untuk menyebarkan konten ilegal, seperti penjualan data curian, penyebaran tautan phishing, dan aktivitas peretasan terorganisir. Popularitas Telegram di kawasan ini mengungkap dua sisi yang bertolak belakang yaitu di satu sisi sebagai platform komunikasi efektif, namun di sisi lain menjadi ruang yang rawan digunakan untuk kegiatan ilegal.
Baca juga: Mitos dan Fakta tentang Pelindungan Data Pribadi yang Harus Anda Tahu
Laporan PBB: Telegram sebagai Sarana Kejahatan Siber
Menurut Tempo.co, Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) merilis laporan pada 7 Oktober 2024 yang mengungkap bahwa jaringan kriminal di Asia Tenggara memanfaatkan aplikasi Telegram untuk menjalankan kejahatan siber terorganisir. Benedikt Hofmann, Deputi UNODC untuk Asia Tenggara dan Pasifik, menjelaskan bahwa Telegram menawarkan kemudahan navigasi bagi pelaku kejahatan karena minimnya moderasi dalam saluran komunikasi yang ada.
Akibatnya, berbagai aktivitas ilegal seperti perdagangan data hasil peretasan—termasuk informasi kartu kredit, kata sandi, dan riwayat browser—terjadi secara terbuka di platform ini. Selain itu, perangkat lunak kejahatan seperti malware pencuri data, teknologi deepfake, dan layanan pencucian uang melalui bursa cryptocurrency tidak berlisensi juga marak diperjualbelikan. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa kejahatan siber telah berkembang pesat di Asia Tenggara, dengan nilai industri diperkirakan mencapai US$ 27,4 miliar hingga US$ 36,5 miliar setiap tahun.
Salah satu temuan menarik adalah iklan dalam bahasa Cina yang memuat klaim aktivitas pencucian uang harian senilai jutaan dolar. Banyak sindikat kriminal yang beroperasi berasal dari Cina dan berlokasi di tempat-tempat tersembunyi. Mereka terus berinovasi dengan menggabungkan teknologi canggih seperti malware, kecerdasan buatan (AI), dan deepfake ke dalam operasi mereka. Dengan karakteristik Telegram yang menjaga privasi pengguna dan minim pengawasan, platform ini menjadi alat strategis yang mendukung kejahatan siber transnasional dan menjadikan Asia Tenggara sebagai pusat kejahatan digital global.
Fitur Telegram yang Menarik bagi Pelaku Kejahatan Siber
Telegram telah menjadi pilihan utama bagi pelaku kejahatan siber karena sejumlah fitur yang mendukung privasi dan kemudahan operasional mereka. Dengan desain yang berfokus pada keamanan dan fleksibilitas, aplikasi ini memberikan ruang yang sulit diawasi oleh pihak berwenang. Hal inilah yang membuat Telegram lebih diminati dibandingkan platform komunikasi lainnya. Berikut adalah beberapa fitur utama Telegram yang kerap dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber:
Enkripsi End-to-End
Salah satu fitur paling menonjol di Telegram adalah enkripsi end-to-end, yang memastikan bahwa pesan hanya dapat dibaca oleh pengirim dan penerima. Fitur ini memberikan privasi yang sangat tinggi dan membuat percakapan sulit diakses oleh pihak ketiga, termasuk aparat penegak hukum. Dengan adanya enkripsi ini, aktivitas ilegal seperti perencanaan kejahatan, perdagangan data curian, atau koordinasi jaringan kriminal dapat berlangsung dengan aman tanpa risiko mudah dilacak.
Anonimitas Identitas
Telegram memungkinkan pengguna mendaftar akun hanya dengan nomor telepon, tanpa perlu verifikasi identitas resmi. Hal ini memudahkan pelaku kejahatan untuk membuat akun anonim dalam hitungan detik. Anonimitas ini menjadi keuntungan besar bagi sindikat kriminal karena identitas asli mereka sulit terungkap, bahkan ketika aktivitas ilegal sudah berjalan dalam skala besar.
Channel dan Grup Besar
Fitur channel dan grup di Telegram memungkinkan komunikasi massal yang efisien, dengan kapasitas hingga ratusan ribu anggota. Hal ini dimanfaatkan oleh sindikat kriminal untuk menyebarkan informasi, beriklan, atau merekrut anggota dalam jaringan mereka. Misalnya, data hasil peretasan, perangkat lunak berbahaya, hingga layanan pencucian uang dapat ditawarkan secara terbuka melalui saluran-saluran yang sedikit dimoderasi.
Bot Otomatis
Telegram juga menyediakan fitur bot otomatis yang dapat diprogram untuk berbagai fungsi, termasuk aktivitas kejahatan siber. Bot ini sering digunakan untuk mengirim pesan phishing secara masif, menyebarkan malware, atau menjalankan skema penipuan otomatis seperti pencurian data pengguna. Dengan bot, operasi ilegal bisa berjalan lebih cepat dan terstruktur tanpa campur tangan manusia secara langsung.
Dengan kombinasi fitur-fitur tersebut, Telegram memberikan ruang yang ideal bagi pelaku kejahatan siber untuk menjalankan aktivitas mereka dengan efisien, aman, dan sulit terlacak. Tidak heran jika platform ini menjadi pilihan utama dalam berbagai operasi kriminal di Asia Tenggara dan kawasan lainnya.
Perbandingan Telegram dengan Platform Lain
Telegram sering kali dibandingkan dengan aplikasi pesan populer lainnya seperti WhatsApp, Signal, dan Facebook Messenger, terutama dalam aspek keamanan dan privasi. Perbedaan utama terlihat pada penggunaan fitur enkripsi end-to-end. WhatsApp dan Signal mengaktifkan enkripsi ini secara otomatis untuk seluruh percakapan, sehingga hanya pengirim dan penerima yang dapat membaca pesan. Sementara itu, Telegram hanya menerapkan enkripsi end-to-end pada fitur Secret Chat, yang harus diaktifkan secara manual oleh pengguna. Percakapan standar di Telegram menggunakan enkripsi server-to-client, yang memberikan keleluasaan lebih bagi pengguna, tetapi sekaligus menciptakan potensi risiko keamanan.
Di sisi lain, fleksibilitas ini menjadikan Telegram lebih menarik bagi pelaku kejahatan siber, karena mereka bisa memilih mode komunikasi sesuai kebutuhan. Dalam hal pengawasan, Facebook Messenger memiliki kelemahan signifikan karena percakapan tidak terenkripsi secara otomatis, membuatnya lebih mudah diakses oleh pihak ketiga seperti penegak hukum atau perusahaan penyedia layanan. WhatsApp memiliki tingkat keamanan yang lebih baik berkat enkripsi end-to-end, namun proses pendaftaran yang memerlukan verifikasi nomor telepon membuat anonimitas lebih sulit dicapai.
Signal, di sisi lain, menonjol sebagai aplikasi paling aman dengan kebijakan ketat yang tidak menyimpan metadata pengguna. Namun, Signal memiliki keterbatasan fitur seperti channel atau bot yang tersedia di Telegram. Telegram sendiri unggul dalam hal kemampuan komunikasi massal melalui grup besar dan channel, serta memberikan kemudahan bagi pengguna untuk tetap anonim. Sayangnya, fleksibilitas dan minimnya pengawasan ini juga sering dimanfaatkan oleh sindikat kriminal untuk menjalankan aktivitas ilegal dengan lebih bebas dibandingkan platform lain.
Contoh Kasus Kejahatan Siber di Asia Tenggara
Di Indonesia, serangan siber terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) mengalami peningkatan signifikan. Berdasarkan laporan dari Trend Micro, pada pertengahan awal tahun 2022, tercatat lebih dari 5 juta serangan web yang menargetkan sektor ini. Pelaku kejahatan siber kerap mencuri informasi sensitif seperti kata sandi dan data pribadi, yang kemudian digunakan untuk aksi penipuan daring atau pencurian identitas.
Selain itu, pada Juni 2024, serangan ransomware menargetkan pusat data nasional Indonesia. Serangan ini menyebabkan gangguan layanan publik, termasuk pemeriksaan imigrasi di bandara, dan para peretas menuntut tebusan sebesar 8 juta dolar AS. Insiden ini menunjukkan bahwa infrastruktur digital pemerintah masih memiliki celah keamanan yang cukup serius. Di Thailand, jaringan kriminal memanfaatkan platform digital untuk kejahatan seperti penipuan daring dan perdagangan manusia. Selama pandemi, Interpol menemukan bahwa kelompok ini berkembang menjadi jaringan berskala global, menghasilkan hingga 3 triliun dolar AS per tahun dari berbagai aktivitas ilegal.
Sementara itu, di Filipina, serangan siber yang menyasar sektor keuangan terus meningkat. Peretas menggunakan malware canggih untuk mencuri informasi rekening bank dan melakukan penipuan finansial. Menurut laporan UNODC, sindikat kejahatan siber di Asia Tenggara semakin canggih dengan memanfaatkan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan mata uang kripto untuk memperluas skala operasi mereka, yang berdampak pada kerugian finansial yang sangat besar di kawasan ini. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana platform komunikasi ini telah berkembang menjadi sarana efektif untuk aktivitas kriminal transnasional di kawasan Asia Tenggara, menciptakan tantangan besar bagi pemerintah dan penegak hukum setempat.
Langkah Penanganan dan Rekomendasi PBB
PBB telah memberikan sejumlah rekomendasi untuk mengatasi penyalahgunaan platform komunikasi terenkripsi yang sering dimanfaatkan dalam aktivitas kejahatan siber. Salah satu inisiatif utama adalah peluncuran Prinsip-Prinsip Global PBB untuk Integritas Informasi, yang mengajak pemerintah, perusahaan teknologi, dan pemangku kepentingan lainnya untuk bekerja sama dalam memerangi penyebaran disinformasi dan konten ilegal di ruang digital. Inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan digital yang aman dan terpercaya, sambil tetap menghormati hak asasi manusia, seperti kebebasan berekspresi.
Upaya ini juga mencakup penguatan kebijakan privasi dan peningkatan transparansi platform komunikasi dalam memoderasi konten yang berpotensi disalahgunakan. Di kawasan Asia Tenggara, berbagai pemerintah telah mengambil langkah konkret untuk meningkatkan pengawasan keamanan siber. ASEAN Regional Forum (ARF), misalnya, mendorong negara-negara anggotanya untuk mengadopsi undang-undang keamanan siber yang sesuai dengan standar internasional, seperti Resolusi Majelis Umum PBB 55/63.
Selain itu, ARF menekankan pentingnya kolaborasi regional melalui pembentukan Computer Security Incident Response Teams (CSIRT), yang berfungsi untuk mempercepat pertukaran informasi tentang ancaman siber. Meskipun demikian, implementasi kebijakan ini menghadapi berbagai tantangan, termasuk keterbatasan infrastruktur, kesenjangan kapasitas antarnegara, dan kurangnya sumber daya manusia yang kompeten di bidang keamanan siber. Selain itu, tingkat literasi digital yang masih rendah di beberapa negara Asia Tenggara turut menghambat efektivitas langkah-langkah penanganan ancaman siber.
Baca juga: 7 Langkah Efektif Melindungi Data Perusahaan dari Phishing dan Malware
Kesimpulan
Penyalahgunaan platform komunikasi terenkripsi seperti Telegram untuk kejahatan siber di Asia Tenggara telah menjadi perhatian serius, dengan PBB merekomendasikan prinsip global untuk integritas informasi, meskipun implementasi di tingkat regional masih menghadapi tantangan besar. Negara-negara Asia Tenggara, melalui forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF), telah berupaya meningkatkan pengawasan dengan membentuk kebijakan keamanan siber dan kolaborasi antar negara. Namun, keterbatasan infrastruktur, perbedaan kapasitas antar negara, serta rendahnya literasi digital dan kekurangan sumber daya manusia di bidang keamanan siber menjadi hambatan utama. Oleh karena itu, kolaborasi yang lebih erat dan peningkatan kapasitas sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem digital yang aman di kawasan tersebut.