Cybersecurity Policy Indonesia Dari Regulasi hingga Implementasi
Read Time 8 mins | 18 Sep 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Cybersecurity Policy Indonesia menjadi sangat penting karena dunia maya tidak lagi mengenal batas negara dan ancaman siber dapat datang dari individu, kelompok, hingga aktor negara. Serangan siber telah berkembang menjadi ancaman non-militer serius yang dapat mengganggu kedaulatan, keamanan, hingga stabilitas sosial-ekonomi Indonesia . Kondisi ini menuntut adanya kebijakan keamanan siber yang kuat, bukan hanya untuk melindungi infrastruktur penting, tetapi juga untuk menjaga kepercayaan masyarakat dalam penggunaan teknologi. Artikel ini akan membahas secara menyeluruh mengenai regulasi yang sudah ada, implementasinya di lapangan, berbagai hambatan yang masih dihadapi, serta solusi strategis yang perlu ditempuh Indonesia untuk memperkuat pertahanan sibernya ke depan.
Konsep Dasar Cybersecurity Policy
Konsep Dasar Cybersecurity Policy berangkat dari pemahaman mengenai cyberspace sebagai ruang baru tanpa batas yang menghubungkan individu, organisasi, hingga negara melalui teknologi informasi. Dalam jurnal “Cybersecurity Policy and Its Implementation in Indonesia” oleh Muhamad Rizal dan Yanyan M. Yani (Journal of ASEAN Studies, 2016), cyberspace dipahami sebagai dunia virtual yang menghadirkan peluang sekaligus ancaman. Bentuk ancaman siber yang umum terjadi meliputi Advanced Persistent Threats (APT), serangan Distributed Denial of Service (DDoS), malware, hingga phishing yang dapat mengganggu kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan informasi. Ancaman-ancaman ini menunjukkan bahwa kebijakan keamanan siber tidak sekadar bersifat teknis, melainkan menyangkut kepentingan strategis suatu negara.
Kebijakan keamanan siber memiliki peran sentral dalam melindungi kedaulatan negara. Rizal dan Yani (2016) menegaskan bahwa lemahnya pertahanan siber dapat membuka celah bagi pihak asing maupun domestik untuk menyerang infrastruktur vital, mulai dari sektor energi, transportasi, hingga keuangan. Hal ini selaras dengan pandangan Ghernaouti-Hélie dalam Cybersecurity Guide for Developing Countries (2009) yang menekankan bahwa keamanan siber adalah instrumen penting untuk menjaga stabilitas sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Dengan kata lain, keberadaan cybersecurity policy bukan hanya bertujuan melindungi data atau jaringan, tetapi juga menjaga legitimasi dan kedaulatan negara di mata internasional.
Lebih jauh, hubungan antara keamanan siber, pertahanan nasional, dan kepentingan publik sangat erat. Serangan siber yang berhasil dapat melumpuhkan layanan publik, mengganggu aktivitas ekonomi, hingga menurunkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah. Karena itu, Rizal dan Yani (2016) menilai bahwa kebijakan keamanan siber Indonesia harus dipandang sebagai bagian dari strategi pertahanan negara, sejalan dengan mandat UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Dengan pendekatan ini, kebijakan keamanan siber tidak hanya melindungi sistem teknologi, tetapi juga menjadi payung perlindungan bagi kepentingan publik—mulai dari keamanan identitas digital warga hingga keberlangsungan layanan vital negara.
Baca juga: Sejauh Mana Kepatuhan ISO 27001 & UU PDP Pada Perusahaan Anda?
Cybersecurity Policy Indonesia dalam Perspektif Regulasi
Kerangka regulasi terkait Cybersecurity Policy Indonesia dimulai dengan hadirnya sejumlah undang-undang utama, seperti UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi, serta UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Menurut Muhamad Rizal dan Yanyan M. Yani dalam jurnal Cybersecurity Policy and Its Implementation in Indonesia (Journal of ASEAN Studies, 2016), ketiga regulasi ini menjadi fondasi hukum awal yang mengatur tata kelola dunia digital, khususnya terkait penggunaan teknologi informasi, keamanan komunikasi, dan hak publik atas informasi . Namun, meski memiliki peran penting, regulasi ini masih bersifat umum dan belum secara eksplisit fokus pada aspek pertahanan siber.
Selain itu, terdapat pula regulasi pendukung yang memperkuat kerangka hukum di bidang pertahanan dan keamanan, di antaranya UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI), UU No. 2/2002 tentang Kepolisian, serta UU No. 15/2003 terkait Tindak Pidana Terorisme. Rizal dan Yani (2016) menekankan bahwa meski undang-undang ini tidak secara langsung mengatur keamanan siber, namun relevan karena menyinggung kewenangan aparat dalam menjaga keamanan nasional dari ancaman, termasuk serangan siber . Dengan demikian, implementasi kebijakan keamanan siber tidak bisa dilepaskan dari sistem pertahanan dan keamanan nasional yang lebih luas.
Dari sisi peraturan teknis, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah mengeluarkan berbagai kebijakan seperti Regulasi ID-SIRTII untuk keamanan infrastruktur internet, aturan penggunaan domain .go.id untuk situs resmi pemerintah, serta pedoman sertifikasi otoritas digital. Meski begitu, Rizal dan Yani (2016) menggarisbawahi adanya kelemahan mendasar: kerangka hukum yang ada masih bersifat lex generalis (aturan umum), belum berkembang menjadi lex specialis yang secara spesifik mengatur tindak pidana dan tata kelola keamanan siber . Akibatnya, regulasi yang ada sering kali tidak cukup adaptif dalam menghadapi dinamika ancaman siber yang semakin kompleks.
Implementasi Cybersecurity Policy di Indonesia
Dalam jurnal Cybersecurity Policy and Its Implementation in Indonesia oleh Muhamad Rizal dan Yanyan M. Yani (Journal of ASEAN Studies, 2016), dijelaskan bahwa implementasi Cybersecurity Policy Indonesia melibatkan berbagai lembaga dan struktur tata kelola. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menjadi regulator utama yang mengoordinasikan kebijakan, sementara ID-SIRTII (Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure) dibentuk untuk memantau serta merespons insiden pada infrastruktur internet nasional. Selain itu, terdapat ID-CERT yang berperan sebagai mitra pemerintah dalam penanganan darurat keamanan siber, serta ID-ACAD-CSIRT yang beranggotakan perguruan tinggi untuk memperkuat riset dan kapasitas akademik di bidang keamanan siber .
Masih menurut Rizal dan Yani (2016), lembaga pertahanan dan intelijen juga mengambil peran strategis dalam membangun pertahanan siber. Kementerian Pertahanan (Kemenhan) bersama TNI telah mengembangkan unit-unit siber internal, seperti Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemenhan dan Pusinfolahta TNI, yang berfungsi menjaga keamanan komunikasi militer dan infrastruktur vital. Di sisi lain, Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Sandi Negara (sekarang BSSN) turut menjalankan fungsi perlindungan aset informasi serta pengamanan sinyal intelijen. Kehadiran lembaga-lembaga ini menunjukkan bahwa keamanan siber dipandang sebagai bagian integral dari pertahanan nasional, bukan semata isu teknologi .
Tidak hanya pemerintah, sektor swasta juga menunjukkan inisiatif penting dalam memperkuat keamanan siber. Menurut Rizal dan Yani (2016), industri telekomunikasi melalui PT Telkom telah mengadopsi standar internasional seperti ISO 27001 untuk melindungi jaringan dan layanan digital. Sektor perbankan di bawah regulasi Bank Indonesia (BI) juga menerapkan sistem keamanan ketat guna menjaga integritas infrastruktur keuangan digital. Demikian pula, industri minyak dan gas telah mengimplementasikan standar keamanan teknologi informasi pada setiap lini operasional. Kolaborasi lintas sektor ini memperlihatkan bahwa implementasi kebijakan keamanan siber membutuhkan peran aktif negara, lembaga pertahanan, dan dunia usaha untuk menciptakan ekosistem digital yang aman .
Hambatan dalam Implementasi
Dalam jurnal Rizal dan Yani (2016), dijelaskan bahwa implementasi Cybersecurity Policy Indonesia menghadapi sejumlah hambatan serius yang membuat upaya pertahanan siber nasional belum optimal. Berikut adalah beberapa hambatan utama tersebut:
Rendahnya Pemahaman Pejabat Negara
Banyak pejabat dan penyelenggara negara masih memiliki pemahaman yang lemah terkait isu-isu siber. Hal ini menyebabkan kebijakan yang dirumuskan sering bersifat umum, tidak spesifik, dan kurang responsif terhadap perkembangan ancaman siber yang terus berubah. Kurangnya kesadaran ini juga berimbas pada lambatnya proses legislasi dan minimnya prioritas alokasi anggaran untuk sektor keamanan siber.
Server Internet di Luar Negeri
Sebagian besar layanan internet yang digunakan masyarakat Indonesia memiliki server yang ditempatkan di luar negeri. Kondisi ini membuat kontrol dan pengawasan menjadi sulit, serta menimbulkan risiko keamanan karena data warga negara Indonesia disimpan di yurisdiksi asing. Ketergantungan pada server luar negeri juga menyulitkan penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran atau serangan siber lintas negara.
Tidak Adanya UU Khusus Cybercrime
Meskipun terdapat UU ITE, regulasi tersebut masih bersifat umum dan belum secara spesifik mengatur tindak pidana siber. Ketiadaan undang-undang khusus cybercrime membuat aparat penegak hukum kesulitan menghadapi kasus-kasus kejahatan digital yang semakin kompleks. Hal ini berakibat pada lemahnya kepastian hukum dalam penindakan dan pencegahan serangan siber.
Lemahnya Koordinasi Antar Lembaga
Implementasi kebijakan keamanan siber di Indonesia masih berjalan secara sektoral dan kurang terkoordinasi antar lembaga pemerintah, militer, intelijen, dan swasta. Akibatnya, upaya pertahanan siber sering kali terfragmentasi, berjalan sendiri-sendiri, dan tidak memiliki standar bersama yang jelas. Kondisi ini sangat berisiko karena ancaman siber bersifat lintas sektor dan membutuhkan respons terpadu.
Minimnya Industri dalam Negeri
Indonesia juga menghadapi keterbatasan serius dalam ketersediaan industri perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) lokal. Minimnya produksi dalam negeri menyebabkan ketergantungan pada produk asing, yang selain mahal juga menimbulkan risiko keamanan jika teknologi yang digunakan memiliki celah atau backdoor. Keterbatasan ini membuat kemandirian pertahanan siber nasional masih jauh dari ideal.
Upaya Penguatan Cybersecurity Policy Indonesia
Menurut penelitian Rizal dan Yani (2016), dijelaskan bahwa terdapat sejumlah langkah penting yang perlu ditempuh untuk memperkuat Cybersecurity Policy Indonesia agar lebih efektif menghadapi ancaman siber yang semakin kompleks. Upaya tersebut mencakup peningkatan kapasitas, kerja sama internasional, hingga penguatan aspek hukum.
Capacity Building
Peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) menjadi salah satu langkah strategis dalam memperkuat pertahanan siber nasional. Pelatihan dan kursus keamanan siber perlu digalakkan secara berkesinambungan untuk meningkatkan keterampilan teknis maupun pemahaman strategis di kalangan aparat pertahanan, penegak hukum, dan pegawai publik. Contohnya, TNI telah menjalin kerja sama dengan Institut Teknologi Del (IT Del) di Sumatera Utara untuk menyelenggarakan program-program seperti persiapan model perang siber, seminar intelijen militer, hingga cyber camp. Program semacam ini tidak hanya meningkatkan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk budaya kesadaran siber di kalangan personel yang bertugas menjaga infrastruktur vital negara.
International Cooperation
Kerja sama internasional juga menjadi kunci dalam memperkuat kebijakan keamanan siber, mengingat sifat ancaman siber yang lintas batas. Indonesia telah aktif menjalin kolaborasi dengan berbagai organisasi dan negara, seperti ASEAN, ASEAN Regional Forum (ARF), International Telecommunication Union (ITU), serta menjalin kemitraan bilateral dengan Jepang dan Inggris. Melalui kerja sama ini, Indonesia dapat berbagi informasi intelijen siber, mengadopsi praktik terbaik, serta meningkatkan kemampuan deteksi dan respons terhadap serangan. Selain itu, keterlibatan dalam forum internasional memperkuat posisi Indonesia dalam diplomasi keamanan siber, sekaligus membuka peluang untuk pengembangan kapasitas nasional melalui bantuan teknis dan transfer pengetahuan.
Legal Certainty
Aspek kepastian hukum merupakan fondasi penting dalam memperkuat kebijakan keamanan siber di Indonesia. Hingga kini, regulasi yang ada seperti UU ITE masih bersifat umum (lex generalis) dan belum mencakup secara rinci tindak pidana siber. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan regulasi khusus yang mengatur cybercrime secara lebih komprehensif serta tata kelola keamanan siber nasional. Regulasi tersebut harus mampu memberikan kejelasan bagi aparat penegak hukum, mengurangi celah hukum yang bisa dimanfaatkan pelaku kejahatan, serta memperkuat koordinasi antar lembaga. Dengan adanya kepastian hukum, Indonesia dapat membangun ekosistem pertahanan siber yang lebih kokoh, terstandarisasi, dan selaras dengan praktik internasional.
Perbandingan dengan Negara ASEAN Lain
Dalam jurnal Cybersecurity Policy and Its Implementation in Indonesia oleh Muhamad Rizal dan Yanyan M. Yani (Journal of ASEAN Studies, 2016), disebutkan bahwa Malaysia merupakan salah satu negara ASEAN yang cukup maju dalam menata kebijakan keamanan siber. Malaysia memiliki lembaga Siberoc yang berfungsi mengoordinasikan kebijakan keamanan informasi nasional serta bekerja sama erat dengan MyCERT (Malaysian Computer Emergency Response Team). Keberadaan lembaga ini memungkinkan Malaysia memiliki tata kelola yang lebih terstruktur, baik dalam penanganan insiden siber maupun dalam menyusun kebijakan nasional yang konsisten dengan standar internasional.
Sementara itu, Singapura dikenal unggul dalam hal sumber daya manusia dan jumlah pakar keamanan siber. Menurut Rizal dan Yani (2016), Singapura memiliki tenaga ahli yang jauh lebih banyak dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya, yang menjadikannya pusat kompetensi regional di bidang keamanan informasi. Hal ini sejalan dengan analisis Ghernaouti-Hélie dalam Cybersecurity Guide for Developing Countries (2009) yang menekankan bahwa keberhasilan kebijakan siber suatu negara sangat bergantung pada kapasitas SDM yang dimilikinya. Dengan keunggulan tersebut, Singapura tidak hanya mampu melindungi infrastruktur nasionalnya, tetapi juga berperan besar dalam forum kerja sama internasional.
Adapun Indonesia, meskipun belum memiliki lembaga khusus dengan kewenangan penuh seperti Malaysia dan Singapura, tetap aktif dalam kerja sama regional melalui ASEAN-CERT. Dalam forum ini, Indonesia berkomitmen memperkuat kolaborasi antar negara ASEAN untuk meningkatkan kapasitas bersama dalam menghadapi serangan siber. Rizal dan Yani (2016) menegaskan bahwa partisipasi Indonesia di ASEAN-CERT menunjukkan keseriusan untuk memperbaiki koordinasi dan membangun kepercayaan di tingkat regional, meskipun secara nasional masih terdapat kelemahan regulasi dan koordinasi antar lembaga. Dengan demikian, posisi Indonesia dalam kerja sama ASEAN menjadi pintu penting untuk mempercepat penguatan kebijakan keamanan siber dalam negeri.
Baca juga: Mengapa Banyak Kebijakan Keamanan Gagal Dijalankan dengan Efektif?
Kesimpulan
Cybersecurity Policy Indonesia sejatinya sudah tersedia, namun masih memiliki kelemahan mendasar terutama pada aspek regulasi yang belum spesifik serta koordinasi implementasi yang masih terfragmentasi. Untuk menjawab tantangan tersebut, Indonesia memerlukan keberadaan lembaga nasional khusus yang kuat dan memiliki kewenangan penuh dalam mengelola keamanan siber secara terpadu. Lebih jauh, penguatan kebijakan keamanan siber juga harus dilakukan melalui integrasi antara regulasi hukum yang jelas, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, penguasaan teknologi, serta kerja sama internasional yang solid, sehingga Indonesia mampu menghadapi ancaman siber dengan strategi yang lebih komprehensif dan berkelanjutan.