<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to HRMI

Deteksi Ancaman Insider Threats dengan Behavioral Analytics

Read Time 8 mins | 07 Okt 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Insider Threats

Ancaman keamanan siber tidak selalu datang dari luar organisasi. Faktanya, salah satu risiko terbesar justru muncul dari orang dalam—karyawan, kontraktor, atau mitra—yang memiliki akses sah ke sistem perusahaan. Inilah yang disebut insider threats, ancaman yang sulit dideteksi karena aktivitasnya sering menyerupai perilaku normal. Untuk mengatasinya, pendekatan tradisional seperti firewall atau sistem deteksi berbasis signature sudah tidak lagi cukup. Diperlukan metode yang lebih cerdas, seperti Behavioral Analytics, yang mampu menganalisis pola perilaku pengguna secara real-time dan mendeteksi penyimpangan sekecil apa pun sebelum berubah menjadi insiden serius.

Mengenal Ancaman Orang Dalam (Insider Threats)

Dalam dunia keamanan siber modern, insider threats atau ancaman dari orang dalam menjadi salah satu risiko paling berbahaya. Berbeda dengan serangan eksternal yang biasanya memanfaatkan celah sistem, insider threats justru datang dari individu dengan akses sah seperti karyawan, kontraktor, atau mitra bisnis. Mereka dapat menyalahgunakan hak istimewa tersebut untuk mencuri data, melakukan sabotase, atau bahkan membocorkan informasi strategis perusahaan. Menurut studi Ponemon Institute, insiden insider meningkat lebih dari 47% dalam dua tahun terakhir, dengan rata-rata kerugian mencapai $11,45 juta per tahun bagi organisasi. Fakta ini menegaskan bahwa ancaman dari dalam sama berbahayanya, bahkan seringkali lebih sulit dikendalikan dibanding serangan eksternal.

Kesulitan mendeteksi insider threats terletak pada sifatnya yang samar. Aktivitas berbahaya sering menyerupai perilaku normal sehingga tidak memicu alarm sistem keamanan tradisional. Misalnya, akses file dalam jumlah besar bisa dianggap wajar bagi seorang analis data, tetapi mencurigakan jika dilakukan oleh staf administrasi. Tantangan ini diulas dalam jurnal “Real-Time Detection of Insider Threats Using Behavioral Analytics and Deep Evidential Clustering” oleh Anas Ali, Mubashar Husain, dan Peter Hans (2025), yang menekankan bahwa metode tradisional seperti intrusion detection system (IDS) berbasis signature cenderung gagal menangkap pola halus dari perilaku orang dalam.

Untuk itu, pendekatan berbasis Behavioral Analytics semakin relevan. Dengan menganalisis pola aktivitas pengguna secara mendalam, sistem mampu membedakan antara perilaku normal dan penyimpangan yang berpotensi berbahaya. Kajian serupa juga ditunjukkan oleh Green et al. dalam jurnal “Detecting Insider Threats Using Deep Learning” (Journal of Wireless Mobile Network, 2019), yang menekankan pentingnya pemodelan perilaku temporal untuk mendeteksi penyimpangan. Kombinasi antara analitik perilaku dengan teknik kecerdasan buatan memberikan landasan yang lebih kuat bagi organisasi untuk mengurangi risiko ancaman dari dalam dan menjaga keberlangsungan operasional bisnis mereka.

Baca juga: Bagaimana AI Membuat Insider Threat Lebih Sulit Dideteksi

Mengapa Behavioral Analytics Penting untuk Deteksi Insider Threats

Metode keamanan tradisional seperti firewall atau Intrusion Detection System (IDS) berbasis signature terbukti efektif menghadapi serangan eksternal, tetapi lemah ketika dihadapkan pada insider threats. Ancaman dari orang dalam jarang meninggalkan jejak khas seperti malware signature atau pola akses ilegal yang jelas. Sebaliknya, mereka menyamar dalam aktivitas sehari-hari, membuat sistem konvensional kesulitan membedakan antara perilaku wajar dan ancaman nyata. Hal ini ditegaskan dalam jurnal “Real-Time Detection of Insider Threats Using Behavioral Analytics and Deep Evidential Clustering” oleh Anas Ali, Mubashar Husain, dan Peter Hans (2025), yang menjelaskan bahwa pendekatan tradisional cenderung gagal mengenali deviasi perilaku halus yang khas dari insider.

Behavioral Analytics hadir untuk menjembatani kekurangan tersebut. Dengan menganalisis jejak aktivitas pengguna—seperti pola login, akses file, eksekusi perintah, hingga penggunaan aplikasi—sistem mampu membangun baseline perilaku normal tiap individu. Ketika terjadi penyimpangan signifikan, misalnya volume akses data yang mendadak melonjak atau login di jam yang tidak biasa, sistem dapat segera mengeluarkan peringatan. Studi dari Green et al. juga menunjukkan bahwa pemodelan perilaku temporal sangat efektif untuk mendeteksi anomali yang tidak bisa ditangkap metode rule-based tradisional.

Keunggulan utama Behavioral Analytics adalah kemampuannya bekerja secara kontekstual dan real-time. Sistem tidak hanya menilai aktivitas secara terpisah, tetapi juga memperhatikan konteks di sekitarnya. Misalnya, akses file besar-besaran di jam kerja mungkin normal untuk tim analisis data, namun menjadi mencurigakan jika dilakukan oleh staf administrasi di tengah malam. Kajian dari Rahman et al. dalam “Insider Threat Detection Using Machine Learning Techniques: A Systematic Literature Review” (Applied Sciences, 2021) menekankan pentingnya model adaptif berbasis data yang mampu menangani dinamika perilaku pengguna sekaligus meminimalkan false positive. Dengan cara ini, Behavioral Analytics memberi perusahaan lapisan pertahanan yang lebih cerdas dan proaktif terhadap ancaman dari dalam.

Metode Canggih: Deep Evidential Clustering dalam Behavioral Analytics

Salah satu inovasi penting dalam deteksi insider threats adalah penerapan Deep Evidential Clustering (DEC), sebuah metode yang memadukan analitik perilaku dengan pembelajaran mesin berbasis evidensi. Metode ini dikembangkan untuk mengatasi kelemahan algoritma clustering tradisional seperti k-means atau DBSCAN yang hanya membuat keputusan “tegas” tanpa mempertimbangkan ketidakpastian. Padahal, perilaku pengguna dalam organisasi sangat dinamis, kompleks, dan sering kali ambigu. Inilah yang membuat DEC menjadi pendekatan yang lebih cerdas, karena selain mampu mengelompokkan perilaku, ia juga menghitung tingkat ketidakpastian (uncertainty) pada setiap prediksi (Ali et al., 2025).

Mengapa ketidakpastian ini penting? Karena tidak semua aktivitas yang menyimpang otomatis berarti berbahaya. Misalnya, seorang karyawan yang tiba-tiba mengakses banyak file dalam satu hari bisa jadi sedang melakukan pekerjaan mendesak, bukan bermaksud melakukan pencurian data. DEC memungkinkan sistem untuk memberikan label ancaman dengan tingkat keyakinan tinggi ketika pola perilaku benar-benar menyimpang, sekaligus menandai aktivitas ambigu agar dianalisis lebih lanjut oleh manusia. Dengan demikian, teknologi ini menghadirkan keseimbangan antara otomatisasi deteksi ancaman dan peran penting analis manusia. Pendekatan serupa juga pernah diteliti oleh Guh et al. dalam jurnal “Deep Evidential Clustering for Anomaly Detection” (2021) yang menyoroti efektivitas penggunaan distribusi Dirichlet dalam memberikan estimasi ketidakpastian pada kasus anomali.

Hasil pengujian DEC dalam konteks insider threats menunjukkan performa yang menjanjikan. Pada uji coba menggunakan dataset benchmark CERT Insider Threat Dataset dan TWOS, model ini mampu mencapai akurasi deteksi hingga 94,7% dan menurunkan false positive sebesar 38% dibanding metode clustering tradisional seperti Isolation Forest atau autoencoder-based detection. Dengan hasil ini, DEC terbukti lebih efisien dalam menyaring alert palsu yang biasanya membebani tim Security Operations Center (SOC). Selain itu, DEC juga lebih adaptif dalam menghadapi concept drift, yaitu perubahan pola perilaku pengguna dari waktu ke waktu. Artinya, sistem ini mampu menyesuaikan baseline perilaku normal tanpa harus sering dilatih ulang (Ali et al., 2025). Dengan kombinasi akurasi tinggi, interpretabilitas, dan kemampuan adaptasi, DEC menjanjikan solusi yang lebih realistis bagi perusahaan yang ingin memperkuat lapisan pertahanan dari ancaman orang dalam. Tidak hanya sebagai teknologi deteksi otomatis, tetapi juga sebagai sistem pendukung keputusan yang membantu analis keamanan memprioritaskan kasus berdasarkan tingkat keyakinan model.

Dampak dan Manfaat Bagi Perusahaan

Mengadopsi Behavioral Analytics dengan pendekatan canggih seperti Deep Evidential Clustering (DEC) tidak hanya memberi keuntungan teknis, tetapi juga dampak nyata bagi operasional dan strategi keamanan perusahaan. Berikut beberapa manfaat yang paling menonjol:

Mengurangi Beban Tim SOC

Salah satu tantangan terbesar tim Security Operations Center (SOC) adalah menghadapi jumlah alert yang sangat banyak setiap harinya. Sebagian besar dari alert ini ternyata tidak relevan karena berasal dari false positive. Dengan tingkat false positive yang lebih rendah, hasil dari sistem berbasis Behavioral Analytics membuat tim SOC tidak lagi kewalahan menghadapi ratusan notifikasi palsu. Hal ini memungkinkan mereka untuk memfokuskan sumber daya pada insiden yang benar-benar kritis dan berpotensi merugikan bisnis. Efisiensi seperti ini pada akhirnya meningkatkan produktivitas tim keamanan serta mempercepat waktu respons terhadap ancaman nyata. 

Meningkatkan Interpretabilitas

Berbeda dengan sistem deteksi tradisional yang sering kali bekerja seperti black box, model berbasis DEC tidak hanya memberi label “anomali” tetapi juga menyajikan tingkat keyakinan (confidence level) di balik keputusan tersebut. Informasi tambahan ini membantu analis keamanan memahami alasan mengapa suatu aktivitas dianggap berisiko. Dengan adanya transparansi ini, analis dapat mengambil keputusan dengan lebih cepat, tepat, dan percaya diri. Selain itu, interpretabilitas yang baik juga membuat sistem lebih mudah diterima oleh manajemen karena hasil analisis dapat dijelaskan dengan bahasa yang lebih sederhana. 

Mendukung Kepatuhan Regulasi

Banyak sektor industri, khususnya keuangan, kesehatan, dan layanan publik, diwajibkan oleh regulasi untuk menjaga keamanan data pelanggan dan operasional secara ketat. Regulasi seperti ISO 27001, HIPAA, maupun aturan lokal terkait perlindungan data pribadi menuntut adanya sistem yang mampu mendeteksi ancaman secara proaktif. Dengan mengimplementasikan Behavioral Analytics untuk mendeteksi insider threats, perusahaan dapat menunjukkan compliance yang lebih kuat terhadap standar keamanan dan audit. Hal ini tidak hanya mengurangi risiko sanksi hukum, tetapi juga meningkatkan reputasi organisasi di mata regulator dan klien.

Kombinasi Otomatisasi dan Oversight Manusia

Keunggulan lain dari pendekatan DEC adalah kemampuannya untuk menyeimbangkan otomatisasi dengan keterlibatan manusia. Aktivitas yang jelas-jelas menyimpang dan memiliki tingkat keyakinan tinggi bisa ditangani secara otomatis, sehingga respons dapat dilakukan secepat mungkin tanpa menunggu persetujuan manual. Sementara itu, kasus dengan tingkat ketidakpastian tinggi dapat diarahkan kepada analis keamanan untuk ditinjau lebih lanjut. Model hybrid ini memastikan kecepatan tidak mengorbankan ketepatan, sehingga perusahaan dapat menjaga efektivitas sekaligus mengurangi potensi kesalahan klasifikasi yang merugikan.

Strategi Implementasi Behavioral Analytics untuk Insider Threats

Agar penerapan Behavioral Analytics dalam mendeteksi insider threats berjalan efektif, perusahaan perlu merancang langkah implementasi yang terstruktur. Berikut beberapa strategi yang dapat menjadi pedoman:

Monitoring Aktivitas Real-Time

Langkah pertama adalah memastikan sistem mampu memantau aktivitas karyawan secara real-time, mulai dari login session, akses file, penggunaan command, hingga interaksi dengan aplikasi penting. Data log yang komprehensif memungkinkan sistem membangun baseline perilaku normal untuk setiap pengguna. Semakin kaya dan detail data yang dikumpulkan, semakin akurat pula profil perilaku yang dapat dibuat. Monitoring real-time juga memberi perusahaan kemampuan untuk mendeteksi anomali sejak dini sebelum berkembang menjadi insiden serius.

Penyesuaian Threshold

Setiap organisasi memiliki tingkat toleransi risiko yang berbeda. Misalnya, perusahaan perbankan tentu menetapkan standar keamanan yang lebih ketat dibanding startup teknologi, terutama dalam hal deteksi akses data sensitif. Oleh karena itu, threshold dalam sistem perlu disesuaikan dengan konteks bisnis dan kebutuhan operasional. Threshold yang terlalu rendah bisa memicu banyak false alert, sementara threshold yang terlalu tinggi bisa membuat ancaman nyata lolos. Penyesuaian yang tepat memastikan keseimbangan antara sensitivitas deteksi dan efisiensi operasional.

Active Learning dengan Human-in-the-Loop

Strategi terakhir adalah menerapkan mekanisme active learning yang melibatkan manusia di dalam proses. Kasus yang memiliki tingkat ketidakpastian tinggi sebaiknya tidak diputuskan sepenuhnya oleh sistem, melainkan diarahkan kepada analis keamanan untuk ditinjau lebih lanjut. Feedback dari analis tersebut kemudian digunakan untuk melatih ulang model, sehingga sistem semakin akurat dan adaptif seiring waktu. Dengan pendekatan human-in-the-loop ini, perusahaan mendapatkan manfaat ganda: kecepatan deteksi dari otomatisasi dan ketepatan penilaian dari keahlian manusia.

Baca juga: Insider Threats: Faktor Psikologis dan Tanda Awal yang Perlu Dikenali

Kesimpulan

Insider threats adalah salah satu ancaman terbesar dalam dunia keamanan siber modern. Dengan kerugian rata-rata mencapai jutaan dolar per tahun, organisasi tidak bisa lagi hanya mengandalkan metode tradisional. Behavioral Analytics, terutama bila digabungkan dengan metode canggih seperti Deep Evidential Clustering, terbukti mampu meningkatkan akurasi deteksi sekaligus menurunkan false positive. Pendekatan ini tidak hanya membantu melindungi data perusahaan, tetapi juga mendukung efisiensi tim keamanan, kepatuhan regulasi, dan kepercayaan manajemen. Di masa depan, penerapan active learning, pemantauan multi-platform, serta analisis perilaku yang lebih luas akan semakin memperkuat sistem ini. Dengan begitu, perusahaan dapat lebih siap menghadapi ancaman dari dalam yang semakin kompleks dan sulit ditebak.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy dan Human Cyber Risk Management.

WhatsApp Icon Mira