Pentingnya Mengukur Security Awareness di Lingkungan Kerja
Read Time 7 mins | 25 Sep 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Ancaman siber semakin meningkat dan kerap menyasar manusia sebagai titik terlemah dalam sistem keamanan informasi. Lingkungan kerja menjadi salah satu target utama karena di dalamnya terdapat data sensitif, akses sistem penting, hingga proses bisnis yang berjalan setiap hari. Serangan seperti phishing, ransomware, hingga rekayasa sosial dapat dengan mudah menipu karyawan yang kurang waspada. Oleh karena itu, Security Awareness di lingkungan kerja tidak hanya penting untuk dibangun, tetapi juga perlu diukur secara berkala agar organisasi dapat mengetahui tingkat kesiapan karyawannya dalam menghadapi risiko siber serta memastikan program pelatihan yang dijalankan benar-benar efektif.
Apa Itu Security Awareness di Lingkungan Kerja?
Security Awareness di lingkungan kerja merujuk pada tingkat pemahaman, sikap, dan perilaku karyawan dalam menjaga keamanan informasi sesuai kebijakan yang berlaku. Menurut model Knowledge, Attitude, Behaviour (KAB), kesadaran keamanan informasi diukur dari sejauh mana karyawan mengetahui aturan (knowledge), memiliki sikap positif terhadap kepatuhan (attitude), serta menerapkan perilaku aman dalam aktivitas sehari-hari (behaviour). Permadi & Ramli dalam MALCOM: Indonesian Journal of Machine Learning and Computer Science (2024) menjelaskan bahwa KAB model menjadi dasar penting dalam mengukur kesadaran keamanan karena menyatukan aspek teori dan praktik nyata di tempat kerja.
Hubungan antara Security Awareness dengan kepatuhan kebijakan keamanan informasi sangat erat. Kebijakan yang disusun organisasi tidak akan efektif tanpa adanya pemahaman dan komitmen dari karyawan untuk menjalankannya. Penelitian Parsons et al. (2017) menjelaskan bahwa kesadaran keamanan adalah prasyarat utama agar kebijakan tidak hanya dibaca, tetapi juga dipatuhi dan diterapkan secara konsisten. Dengan kata lain, kesadaran berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan aturan formal organisasi dengan tindakan nyata karyawan sehari-hari.
Relevansi Security Awareness kini semakin tinggi, tidak hanya bagi institusi pemerintah yang menyimpan data sensitif skala nasional, tetapi juga perusahaan swasta dan startup digital. Permadi & Ramli (2024) menemukan bahwa pelatihan dan simulasi phishing mampu menurunkan risiko klik tautan berbahaya hingga lebih dari 50% pada karyawan. Hasil serupa ditunjukkan penelitian Kritzinger et al. (2023) yang menekankan bahwa faktor demografi dan budaya organisasi berpengaruh besar terhadap tingkat kesadaran. Artinya, baik organisasi besar maupun kecil perlu menyesuaikan strategi Security Awareness dengan profil karyawan agar kebijakan keamanan benar-benar terlaksana secara efektif.
Baca juga: AI Chatbot sebagai Solusi Inovatif dalam Cybersecurity Awareness
Mengapa Perlu Mengukur Security Awareness?
Karyawan sering menjadi sasaran utama serangan social engineering seperti phishing, baiting, atau pretexting. Serangan ini memanfaatkan kelemahan manusia dengan cara membangun kepercayaan atau menciptakan rasa urgensi. Studi oleh Permadi & Ramli dalam MALCOM: Indonesian Journal of Machine Learning and Computer Science (2024) menunjukkan bahwa sebelum pelatihan, 65% karyawan di institusi pemerintahan mengklik tautan phishing, dan 33% bahkan menyerahkan data pribadi mereka, memperlihatkan betapa rentannya karyawan apabila awareness belum dibangun.
Mengukur Security Awareness juga sangat penting karena organisasi mengelola data sensitif yang meliputi data pelanggan, pegawai, maupun rahasia bisnis. Kesadaran tidak bisa diasumsikan karena kondisi budaya organisasi, infrastruktur TI, dan profil karyawan berbeda-beda. Misalnya jurnal “Measuring Digital Data Security Awareness: The Case of Higher Education Institution” oleh Salih Serkan Kaleli (Journal of Studies in Advanced Technologies, 2024) menunjukkan bahwa tingkat awareness mengenai keamanan data digital masih berada di level menengah hingga tinggi tergantung kelompok (akademik, administratif, mahasiswa), namun ada variasi besar dalam aspek perilaku seperti penggunaan password dan backup data.
Tanpa adanya pengukuran, sulit bagi organisasi untuk menilai efektivitas program pelatihan keamanan secara nyata. Sebagai contoh, studi “Measuring the Effectiveness of U.S. Government Security Awareness Programs: A Mixed-Methods Study” oleh Jacobs, Haney & Furman (2023) menemukan bahwa banyak organisasi hanya mengukur kepatuhan pelatihan (jumlah karyawan yang menyelesaikan training), bukan dampak terhadap sikap atau perilaku mereka. Selain itu, penelitian Exploring the Effectiveness of Cybersecurity Training Programs: Factors, Best Practices, and Future Directions oleh Sadiq Nasir (2023) memperlihatkan bahwa program pelatihan yang mencakup evaluasi perubahan perilaku secara jangka panjang jauh lebih efektif dalam menurunkan insiden keamanan dari sisi manusia dibanding hanya memberikan materi secara satu arah.
Metode Mengukur Security Awareness
Salah satu metode utama dalam mengukur Security Awareness adalah melalui kuesioner berbasis Knowledge, Attitude, Behaviour (KAB) Model yang kemudian dikembangkan menjadi instrumen Human Aspects of Information Security Questionnaire (HAIS-Q). Kuesioner ini digunakan untuk menilai sejauh mana pengetahuan karyawan mengenai aturan keamanan, sikap mereka terhadap kepatuhan, serta perilaku nyata dalam menjaga keamanan data. Permadi & Ramli dalam MALCOM: Indonesian Journal of Machine Learning and Computer Science (2024) menggunakan 75 butir pertanyaan dari HAIS-Q yang mencakup delapan area fokus, seperti manajemen password, penggunaan email, media sosial, perangkat mobile, hingga kebijakan keamanan informasi, untuk mendapatkan gambaran komprehensif tingkat kesadaran karyawan.
Selain kuesioner, simulasi phishing juga menjadi metode yang efektif karena mampu menggambarkan reaksi nyata karyawan ketika dihadapkan pada serangan tiruan. Dalam studi Permadi & Ramli (2024), simulasi phishing dilakukan dengan mengirimkan email undangan rapat palsu, lalu mencatat perilaku karyawan apakah mereka mengklik tautan atau bahkan memasukkan data pribadi ke situs tiruan. Hasil awal menunjukkan 65% karyawan mengklik tautan dan 33% memasukkan data, namun setelah pelatihan angka tersebut menurun signifikan menjadi 17% dan 16%. Data ini menegaskan bahwa simulasi phishing bukan hanya alat ukur, tetapi juga media pembelajaran yang mampu meningkatkan kewaspadaan secara langsung.
Integrasi antara kuesioner KAB/HAIS-Q dan simulasi phishing membuat hasil pengukuran lebih akurat serta menyeluruh. Kuesioner memberikan gambaran persepsi dan self-assessment karyawan, sementara simulasi phishing menguji perilaku nyata dalam situasi yang menyerupai serangan siber. Permadi & Ramli (2024) menekankan bahwa pendekatan kombinasi ini penting karena kesadaran keamanan tidak cukup diukur dari pengetahuan saja, tetapi harus diverifikasi melalui perilaku di lapangan. Dengan demikian, organisasi dapat mengetahui kesenjangan antara apa yang karyawan ketahui dan bagaimana mereka bertindak, lalu menyusun strategi pelatihan yang lebih tepat sasaran.
Manfaat Mengukur Security Awareness
Mengukur Security Awareness memberikan berbagai manfaat nyata bagi organisasi. Setiap hasil pengukuran bukan hanya angka statistik, tetapi cerminan langsung dari kesiapan karyawan dalam menghadapi ancaman siber. Berikut adalah beberapa manfaat penting yang bisa diperoleh:
Identifikasi Celah Risiko Manusia
Melalui pengukuran, organisasi dapat menemukan titik lemah dari sisi manusia yang kerap menjadi pintu masuk serangan siber. Aspek tertentu seperti penggunaan perangkat mobile dan email sering kali menjadi area paling rentan, meskipun tingkat kesadaran secara umum sudah baik. Dengan mengetahui hal ini, organisasi dapat memetakan risiko yang tidak terlihat sebelumnya dan mengambil langkah pencegahan lebih dini.
Menentukan Fokus Pelatihan
Setelah celah risiko teridentifikasi, organisasi dapat merancang pelatihan yang lebih relevan dengan kebutuhan karyawan. Misalnya, jika hasil pengukuran menunjukkan skor rendah pada keamanan perangkat mobile, maka materi pelatihan harus menekankan praktik aman menggunakan smartphone dan laptop kerja. Dengan pendekatan ini, pelatihan tidak lagi bersifat umum, melainkan kontekstual sesuai dengan kelemahan nyata yang dihadapi.
Buktikan Efektivitas Training
Pengukuran sebelum dan sesudah pelatihan menjadi bukti nyata apakah program Security Awareness benar-benar efektif. Misalnya, ketika jumlah karyawan yang awalnya mudah tertipu serangan phishing berkurang signifikan setelah pelatihan, hal ini membuktikan bahwa program yang dijalankan memang berdampak. Data semacam ini juga berguna untuk meyakinkan manajemen bahwa investasi dalam program kesadaran keamanan layak untuk dilanjutkan.
Bangun Budaya Keamanan Berkelanjutan
Manfaat terakhir yang tidak kalah penting adalah terciptanya budaya keamanan yang berkesinambungan. Dengan adanya pengukuran rutin, karyawan akan terbiasa memandang keamanan informasi sebagai bagian dari pekerjaan sehari-hari, bukan sekadar kewajiban formal. Hal ini menciptakan pola pikir kolektif bahwa menjaga keamanan data adalah tanggung jawab bersama, sehingga ketahanan siber organisasi dapat terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.
Dengan demikian, pengukuran Security Awareness bukan hanya membantu organisasi memahami tingkat kesiapan karyawannya, tetapi juga memastikan setiap langkah pelatihan, kebijakan, dan strategi keamanan benar-benar tepat sasaran. Hasil pengukuran yang konsisten akan menjadi fondasi dalam membangun budaya keamanan yang kuat, sehingga organisasi mampu menghadapi ancaman siber dengan lebih tangguh dan berkelanjutan.
Rekomendasi untuk Perusahaan & Instansi
Berdasarkan hasil penelitian yang tercantum dalam MALCOM: Indonesian Journal of Machine Learning and Computer Science oleh Permadi & Ramli (2024), terdapat beberapa rekomendasi penting bagi perusahaan dan instansi dalam mengelola serta meningkatkan Security Awareness di lingkungan kerja. Rekomendasi ini disusun agar program kesadaran keamanan dapat berjalan lebih terarah, terukur, dan berkelanjutan. Berikut adalah empat langkah utama yang bisa diterapkan:
Lakukan Pengukuran Rutin
Organisasi sebaiknya tidak hanya melakukan pengukuran satu kali, tetapi menetapkannya sebagai agenda rutin, misalnya setiap tahun atau bahkan per kuartal. Hal ini penting karena tingkat kesadaran karyawan dapat berubah seiring waktu, baik akibat pergantian personel, munculnya ancaman siber baru, maupun perubahan teknologi yang digunakan perusahaan. Dengan pengukuran berkala, organisasi dapat memantau tren kesadaran, mengidentifikasi pola kelemahan yang muncul kembali, serta menyesuaikan strategi pelatihan sesuai kebutuhan terkini.
Gabungkan Teori dan Simulasi
Pelatihan yang hanya berfokus pada teori sering kali membuat karyawan menganggap keamanan siber sebagai konsep abstrak, sementara ancaman sebenarnya membutuhkan reaksi cepat dan tepat. Oleh karena itu, organisasi dianjurkan untuk menggabungkan pelatihan teori dengan simulasi serangan nyata, misalnya simulasi phishing atau uji rekayasa sosial. Simulasi ini akan menguji sejauh mana karyawan benar-benar menerapkan pengetahuan yang diperoleh, sekaligus memberikan pengalaman langsung yang lebih membekas dibandingkan sekadar membaca materi pelatihan.
Sesuaikan Materi dengan Profil Karyawan
Tingkat efektivitas pelatihan akan lebih tinggi jika materi disesuaikan dengan karakteristik karyawan, seperti usia, jabatan, maupun unit kerja. Misalnya, staf administrasi mungkin lebih membutuhkan pelatihan mengenai keamanan email, sementara manajer lebih perlu diberi pemahaman terkait kebijakan dan tanggung jawab dalam pengambilan keputusan. Penyesuaian ini memastikan setiap kelompok karyawan mendapatkan pelatihan yang relevan, sehingga mereka dapat langsung menghubungkannya dengan tugas sehari-hari.
Gunakan Hasil Pengukuran untuk Kebijakan
Pengukuran Security Awareness tidak boleh berhenti pada laporan semata, tetapi harus ditindaklanjuti menjadi dasar dalam penyusunan regulasi internal dan kebijakan keamanan. Misalnya, jika hasil pengukuran menunjukkan rendahnya kesadaran terhadap penggunaan perangkat mobile, maka organisasi dapat membuat kebijakan khusus tentang keamanan perangkat tersebut, lengkap dengan prosedur dan sanksi jika dilanggar. Dengan demikian, hasil pengukuran benar-benar memberi nilai tambah dalam memperkuat tata kelola keamanan informasi organisasi.
Baca juga: Mengukur Efektivitas Program Awareness dari Perspektif Faktor Manusia
Kesimpulan
Security Awareness di lingkungan kerja merupakan fondasi utama pertahanan siber yang tidak bisa diabaikan. Dengan pengukuran yang sistematis melalui kombinasi Knowledge, Attitude, Behaviour (KAB) Model dan simulasi phishing, terbukti tingkat kewaspadaan karyawan dapat meningkat signifikan sehingga risiko serangan siber berkurang drastis. Namun, upaya ini tidak boleh berhenti pada satu kali pelatihan saja, melainkan harus dijadikan program berkelanjutan agar organisasi mampu menjaga keamanan data sekaligus reputasi bisnisnya.
Karena itu, penting bagi setiap perusahaan maupun instansi untuk mulai mengukur dan meningkatkan Security Awareness di tempat kerja mereka. Langkah paling tepat untuk memulainya adalah dengan menggunakan HRM Maturity Assessment dari SiberMate, yang akan membantu memetakan level kematangan program awareness Anda, mengidentifikasi area perbaikan, serta memberikan rekomendasi strategis untuk membangun budaya keamanan yang lebih kuat dan berkesinambungan.