<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to HRMI

Rekayasa AI: Tren Kejahatan Siber yang Mengancam Perbankan

Read Time 6 mins | Written by: Nur Rachmi Latifa

Rekayasa AI

Kecerdasan buatan (AI) telah berkembang pesat dan diterapkan di berbagai sektor, termasuk perbankan, untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan kenyamanan layanan keuangan. Namun, di sisi lain, teknologi ini juga mulai dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber untuk melakukan penipuan yang semakin canggih, terutama dalam rekayasa identitas. Dengan bantuan AI, mereka dapat menciptakan manipulasi data yang sulit dideteksi, seperti membuat video verifikasi wajah palsu untuk membuka rekening bank secara ilegal. Salah satu kasus terbaru yang mencuat adalah penggunaan AI dalam pembukaan rekening fiktif di bank swasta, di mana dua pelaku berhasil menyalahgunakan data pribadi orang lain tanpa izin. Kasus yang diungkap oleh Polda Metro Jaya ini menunjukkan bahwa perbankan kini menghadapi ancaman baru dari kejahatan berbasis AI, yang dapat berdampak serius terhadap keamanan finansial dan perlindungan data nasabah.

Rekayasa AI dalam Kejahatan Siber

Rekayasa AI dalam konteks kejahatan siber mengacu pada penggunaan kecerdasan buatan untuk merancang atau memanipulasi data dengan tujuan menipu sistem keamanan digital. Teknologi ini memungkinkan pelaku kejahatan untuk mengakali berbagai metode otentikasi, seperti verifikasi biometrik dan deteksi identitas, yang selama ini dianggap sebagai langkah keamanan yang sulit ditembus. Dengan memanfaatkan algoritma pembelajaran mesin dan pemrosesan gambar, AI dapat menghasilkan data yang tampak sah namun sebenarnya palsu, sehingga mengancam berbagai sistem yang mengandalkan identifikasi otomatis.

Salah satu bentuk rekayasa AI yang semakin marak adalah pembuatan identitas palsu melalui deepfake. Teknologi deepfake memungkinkan seseorang untuk membuat video, suara, atau gambar yang tampak sangat realistis, sehingga dapat digunakan untuk melewati sistem verifikasi berbasis wajah atau suara. Dalam kasus penipuan perbankan, pelaku dapat merekayasa video verifikasi untuk mengelabui sistem e-KYC (electronic Know Your Customer) dengan menampilkan wajah yang menyerupai pemilik asli data. Dengan cara ini, akun dapat dibuka atau transaksi dapat disetujui tanpa keterlibatan pemilik sah, menciptakan risiko besar bagi lembaga keuangan dan konsumennya.

Selain deepfake, AI juga dapat digunakan untuk memanipulasi data dalam berbagai bentuk, seperti mengubah dokumen identitas, memalsukan tanda tangan digital, atau mengotomatisasi phishing berbasis AI yang mampu menyesuaikan pesan secara personal. Dengan AI yang terus berkembang, metode serangan ini menjadi semakin sulit dideteksi dan dapat dilakukan dalam skala besar dengan efisiensi tinggi. Oleh karena itu, organisasi dan individu perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman ini serta menerapkan langkah-langkah keamanan yang lebih adaptif guna mencegah penyalahgunaan AI dalam dunia siber.

Baca juga: Eksploitasi ChatGPT: Bagaimana AI Bisa Disalahgunakan untuk Kejahatan?

Bagaimana AI Digunakan dalam Kejahatan Perbankan

Dalam dunia perbankan, AI telah banyak digunakan untuk meningkatkan keamanan, salah satunya melalui sistem verifikasi biometrik yang mengandalkan pengenalan wajah, sidik jari, atau suara. Sistem ini dirancang untuk memastikan bahwa hanya pemilik sah dari sebuah rekening atau layanan keuangan yang dapat mengakses akun mereka. Namun, teknologi ini tidak sepenuhnya kebal terhadap penyalahgunaan. Dengan memanfaatkan kecerdasan buatan, pelaku kejahatan siber dapat menciptakan wajah atau suara palsu yang tampak autentik untuk melewati sistem keamanan tersebut. Deepfake, misalnya, memungkinkan mereka untuk merekayasa video verifikasi sehingga sistem tidak dapat membedakan antara pemilik asli dan identitas palsu yang telah dimanipulasi.

Salah satu kasus nyata terkait pemanfaatan AI dalam kejahatan perbankan terjadi di Indonesia, di mana dua pelaku berhasil membuka rekening bank dengan menggunakan data pribadi orang lain tanpa izin. Berdasarkan laporan dari Kompas.com, pelaku menggunakan AI untuk merekayasa video verifikasi wajah dalam proses pembukaan rekening digital, sehingga sistem perbankan menganggap mereka sebagai pemilik sah dari data tersebut. Teknologi ini memungkinkan mereka untuk menghindari langkah-langkah keamanan yang biasanya menjadi penghalang dalam pembukaan akun fiktif. Dalam kasus ini, seorang pegawai bank berhasil mendeteksi pola transaksi mencurigakan dan melaporkannya, yang akhirnya mengarah pada penangkapan para pelaku oleh pihak kepolisian.

Kasus ini menjadi peringatan bagi industri perbankan bahwa sistem keamanan yang ada saat ini masih dapat ditembus dengan teknologi AI yang semakin canggih. Jika sebelumnya penipuan identitas mengandalkan pencurian data statis seperti KTP atau foto, kini AI memungkinkan pemalsuan yang lebih dinamis dan sulit dideteksi. Oleh karena itu, lembaga keuangan perlu memperkuat sistem pertahanan mereka dengan teknologi yang lebih canggih, seperti deteksi anomali berbasis AI yang mampu mengenali pola penipuan, serta meningkatkan edukasi kepada nasabah agar lebih waspada terhadap potensi penyalahgunaan data pribadi.

Mengapa AI Menjadi Alat Efektif dalam Kejahatan Siber?

AI menjadi alat yang sangat efektif dalam kejahatan siber karena kemampuannya untuk menyamarkan identitas dengan cara yang hampir sempurna. Teknologi seperti deepfake dapat menciptakan rekayasa visual dan suara yang tampak autentik, memungkinkan pelaku kejahatan untuk menipu sistem keamanan berbasis biometrik dengan mudah. Selain itu, AI juga mampu menghasilkan teks, gambar, dan bahkan dokumen palsu yang sangat meyakinkan, sehingga sulit dibedakan dari yang asli. 

Dengan bantuan algoritma pembelajaran mesin, AI dapat mempelajari pola dari data asli dan mereplikasi karakteristiknya dengan presisi tinggi, menjadikannya alat yang sangat ampuh untuk menipu sistem perbankan, institusi keuangan, atau bahkan individu. Selain kemampuan menyamarkan identitas, AI juga sangat berbahaya karena dapat mengotomatisasi dan meningkatkan skala penipuan dalam waktu singkat. Dengan bantuan AI, pelaku kejahatan dapat menjalankan serangan siber dalam jumlah besar tanpa perlu banyak campur tangan manusia. 

Misalnya, AI dapat digunakan untuk secara otomatis menghasilkan ribuan email phishing yang dipersonalisasi atau menciptakan akun fiktif dalam skala masif dengan informasi yang tampak kredibel. Kecepatan dan efisiensi yang ditawarkan AI dalam manipulasi data ini membuatnya semakin sulit dideteksi oleh sistem keamanan tradisional. Akibatnya, lembaga keuangan dan organisasi harus terus beradaptasi dengan teknologi keamanan yang lebih canggih agar dapat mengenali dan menghentikan ancaman berbasis AI sebelum menimbulkan kerugian besar.

Studi Kasus: Penipuan Perbankan dengan AI

Kasus terbaru yang diungkap oleh Polda Metro Jaya, sebagaimana diberitakan oleh Kompas.com, menunjukkan bagaimana AI digunakan untuk melakukan penipuan dalam sektor perbankan. Dua pelaku, PM dan MR, membuka rekening bank secara ilegal dengan menggunakan data pribadi orang lain yang diperoleh dari individu misterius bernama Mr. X. Dengan bantuan AI, mereka merekayasa video verifikasi wajah untuk melewati sistem keamanan perbankan yang menggunakan teknologi e-KYC (electronic Know Your Customer). Akibatnya, sistem mengenali mereka sebagai pemilik sah dari identitas yang dicuri, sehingga rekening berhasil dibuka tanpa sepengetahuan pemilik asli data tersebut. Kejahatan ini terungkap setelah seorang pegawai bank mendeteksi pola transaksi mencurigakan yang terjadi dalam kurun waktu Mei hingga Juni 2024. Penyelidikan lebih lanjut mengarah pada penangkapan kedua pelaku di Denpasar dan Sumatera Utara serta penyitaan berbagai barang bukti, termasuk perangkat elektronik yang digunakan dalam aksi penipuan ini.

Kasus ini menjadi peringatan bagi industri perbankan bahwa teknologi keamanan yang ada saat ini masih dapat ditembus dengan kecerdasan buatan. Kejahatan berbasis AI seperti ini menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan perbankan digital, terutama dalam aspek identitas dan verifikasi pengguna. Jika tidak segera diatasi, modus seperti ini dapat merugikan lembaga keuangan secara finansial maupun reputasi, serta mengancam kepercayaan nasabah terhadap sistem perbankan digital. Sebagai respons, bank perlu meningkatkan teknologi deteksi anomali yang lebih canggih, seperti AI berbasis fraud detection, serta memperketat prosedur verifikasi identitas dengan metode multi-faktor yang lebih sulit untuk direkayasa. Selain itu, edukasi kepada nasabah mengenai keamanan data pribadi juga menjadi langkah krusial dalam mencegah penyalahgunaan identitas di dunia digital.

Langkah-Langkah Mitigasi bagi Perbankan dan Masyarakat

Seiring dengan semakin canggihnya teknologi AI, tantangan dalam menjaga keamanan perbankan digital juga semakin kompleks. AI yang awalnya dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi dan keamanan, kini justru menjadi alat yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk melakukan penipuan dan rekayasa identitas. Oleh karena itu, baik perbankan maupun masyarakat perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mencegah dan mengurangi risiko kejahatan berbasis AI. Berikut beberapa upaya mitigasi yang dapat diterapkan:

Upaya Perbankan dalam Mencegah Kejahatan Siber Berbasis AI

Untuk menghadapi ancaman AI yang semakin canggih, perbankan perlu memperkuat sistem verifikasi identitas dengan teknologi yang lebih adaptif. Salah satu solusinya adalah mengembangkan metode autentikasi berbasis multi-faktor yang mencakup biometrik, verifikasi berbasis perilaku, dan kode keamanan dinamis. Dengan pendekatan ini, penjahat siber yang hanya mengandalkan AI untuk merekayasa wajah atau suara akan lebih sulit untuk menembus sistem keamanan. 

Selain itu, bank juga dapat mengimplementasikan AI yang lebih kuat dalam mendeteksi anomali dan fraud detection. Sistem ini bekerja dengan menganalisis pola transaksi pengguna secara real-time dan mengenali aktivitas mencurigakan berdasarkan pola perilaku yang tidak biasa. Dengan kombinasi machine learning dan analisis big data, bank dapat segera mengidentifikasi dan mencegah transaksi yang berpotensi sebagai tindakan penipuan sebelum terjadi kerugian lebih besar.

Tips Keamanan bagi Pengguna Bank

Selain perbankan, nasabah juga memiliki peran penting dalam menjaga keamanan akun mereka dari penyalahgunaan AI. Salah satu langkah utama adalah mengamankan data pribadi dengan tidak membagikan informasi sensitif, seperti nomor identitas, data biometrik, atau akses login, kepada pihak yang tidak terpercaya. Masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran terhadap modus-modus penipuan berbasis AI, seperti deepfake dalam verifikasi identitas, phishing berbasis AI, dan penipuan yang menyamar sebagai perwakilan bank.

Selain itu, jika nasabah menemukan aktivitas mencurigakan, mereka harus segera melaporkannya ke pihak bank melalui saluran resmi seperti aplikasi mobile banking, call center, atau kantor cabang terdekat. Tindakan cepat dalam melaporkan kejanggalan dapat membantu bank dalam mendeteksi dan mencegah dampak lebih besar dari kejahatan siber berbasis AI.

Peran Regulasi dalam Menanggulangi Kejahatan AI

Dalam menghadapi kejahatan AI, regulasi berperan penting dalam menindak pelaku serta melindungi data pribadi masyarakat. Di Indonesia, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) telah mengatur sanksi terhadap pelaku yang menyalahgunakan teknologi AI untuk kejahatan digital. Namun, meskipun regulasi ini sudah ada, tantangan dalam penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan AI masih cukup besar. Salah satunya adalah sulitnya melacak dalang di balik kejahatan siber yang sering kali dilakukan secara anonim dan lintas batas negara.

Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi yang lebih erat antara lembaga pemerintah, industri perbankan, dan penyedia teknologi keamanan siber untuk terus memperbarui regulasi serta meningkatkan efektivitas dalam menindak pelaku kejahatan AI.

Baca juga: WhatsApp Centang Biru Palsu Jadi Modus Baru Penipuan Perbankan

Kesimpulan

AI telah menjadi pedang bermata dua dalam dunia perbankan—di satu sisi membawa inovasi dalam keamanan dan efisiensi, namun di sisi lain juga dapat disalahgunakan untuk kejahatan siber yang semakin canggih. Oleh karena itu, perbankan harus terus beradaptasi dengan mengembangkan sistem keamanan berbasis AI yang lebih adaptif untuk mengantisipasi ancaman yang berkembang. Di sisi lain, masyarakat juga perlu meningkatkan literasi keamanan digital agar lebih waspada terhadap modus penipuan berbasis AI yang semakin sulit dideteksi. Selain itu, regulasi yang kuat dan kolaborasi antara pemerintah, industri keuangan, serta pakar keamanan siber menjadi kunci utama dalam menekan eskalasi kejahatan AI di sektor keuangan agar sistem perbankan tetap aman dan terpercaya.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy dan Human Cyber Risk Management.