<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to HRMI

Zero Trust Architecture dan Dampaknya pada Budaya Organisasi

Read Time 9 mins | 11 Nov 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Zero Trust Architecture

Kolaborasi lintas lokasi, cloud computing, dan kerja jarak jauh kini menjadi norma. Namun, di tengah konektivitas tinggi ini, ancaman siber juga meningkat tajam. Model keamanan tradisional yang berbasis perimeter — di mana karyawan dalam jaringan internal dianggap “aman” — kini terbukti tidak memadai menghadapi realitas digital yang kompleks. Sebagai respons, lahirlah Zero Trust Architecture (ZTA) — sebuah paradigma keamanan yang menolak konsep “percaya secara default.” Prinsip utamanya sederhana namun revolusioner: “Never trust, always verify.” Namun di balik keunggulan teknisnya, muncul dilema baru. Budaya organisasi modern dibangun atas dasar kepercayaan dan kolaborasi, sementara ZTA justru menekankan verifikasi dan pembatasan akses. Pertanyaannya: apakah penerapan Zero Trust justru dapat menggerus kepercayaan antarindividu dalam organisasi?

Apa Itu Zero Trust Architecture (ZTA)?

Menurut definisi dari National Institute of Standards and Technology (NIST), Zero Trust Architecture (ZTA) adalah strategi keamanan perusahaan yang menerapkan konsep “never trust, always verify” pada seluruh komponen sistem, alur kerja, serta kebijakan akses . Artinya, tidak ada entitas yang secara otomatis dipercaya, baik pengguna internal, perangkat pribadi, maupun aplikasi pihak ketiga. Paradigma ini menggantikan model keamanan lama “trusted inside, untrusted outside” yang kini dianggap usang karena batas organisasi semakin kabur akibat kerja jarak jauh, komputasi awan, dan kolaborasi lintas sistem. Seperti dijelaskan dalam Zero Trust Architecture (NIST SP 800-207) oleh Rose et al. (2020), pendekatan Zero Trust berfokus pada verifikasi berkelanjutan berbasis identitas, konteks, dan risiko, bukan pada lokasi atau jaringan tempat pengguna berada. Beberapa prinsip utama Zero Trust Architecture yang menjadi fondasi penerapannya meliputi:

  • Verifikasi berkelanjutan (continuous verification) terhadap identitas, perangkat, dan aktivitas untuk memastikan konsistensi perilaku pengguna.
  • Least privilege access, yakni memberikan hak akses minimal sesuai kebutuhan kerja untuk mengurangi potensi penyalahgunaan kredensial.
  • Asumsi ancaman internal dan eksternal, di mana setiap koneksi dianggap berpotensi berbahaya sampai terbukti aman.

Model ini tidak hanya menghadirkan perlindungan yang lebih adaptif terhadap ancaman modern, tetapi juga menuntut perubahan cara pandang terhadap hubungan antara manusia dan sistem. Menurut Ghasemshirazi et al. (2023) dalam artikel “Zero Trust: Applications, Challenges, and Opportunities”, penerapan ZTA bukan sekadar pembaruan teknologi, melainkan transformasi sosial dan psikologis di lingkungan kerja. Ketika setiap interaksi harus diverifikasi, muncul tantangan baru bagi organisasi: bagaimana menegakkan keamanan tanpa mengikis rasa percaya antar pegawai dan mengubah budaya kolaborasi menjadi suasana penuh pengawasan.

Pandangan tersebut diperkuat oleh Mawla et al. (2022) dalam makalah “BlueSky: Activity Control – A Vision for Active Security Models for Smart Collaborative Systems”, yang menegaskan bahwa Zero Trust kini menjadi standar de facto dalam keamanan siber global, namun membawa dampak sosial yang signifikan. Mereka menyoroti bahwa pengawasan yang terlalu intens dapat menurunkan motivasi dan kepercayaan jika tidak diimbangi dengan komunikasi yang transparan dan kebijakan berbasis empati. Hal ini sejalan dengan temuan Oladimeji (2024) dalam “Rethinking Trust in the Digital Age: An Investigation of Zero Trust Architecture’s Social Consequences on Organizational Culture, Collaboration, and Knowledge Sharing”, yang menyimpulkan bahwa keberhasilan Zero Trust tidak hanya bergantung pada algoritma dan kebijakan teknis, tetapi juga pada kemampuan organisasi menjaga keseimbangan antara keamanan dan kepercayaan sosial di dalam budayanya.

Baca juga: Faktor Manusia dalam Cybersecurity: Kelemahan atau Kekuatan?

Budaya Organisasi dan Peran Kepercayaan

Budaya organisasi pada dasarnya dibangun dari kepercayaan. Dalam lingkungan yang penuh kepercayaan, karyawan merasa aman untuk berbagi ide, bereksperimen, dan mengambil risiko tanpa takut disalahkan. Penelitian Lam et al. (2021) serta Lee & Choi (2003) menunjukkan bahwa organisasi yang menumbuhkan kepercayaan dan kolaborasi cenderung lebih inovatif, mampu mentransfer pengetahuan dengan cepat, dan memiliki tingkat adaptasi yang tinggi terhadap perubahan. Kepercayaan menciptakan rasa keterhubungan emosional antarindividu yang memperkuat semangat tim serta memperlancar arus komunikasi informal di dalam organisasi.

Sebaliknya, ketika kepercayaan hilang, budaya kerja berubah menjadi defensif dan penuh kehati-hatian. Karyawan menjadi enggan berbagi informasi karena takut disalahgunakan atau dipantau secara berlebihan. Haryanti et al. (2023) menegaskan bahwa teknologi, sebaik apa pun, tidak akan membawa manfaat jika karyawan tidak mempercayainya. Jika penerapan sistem baru — termasuk sistem keamanan — dilakukan tanpa penjelasan yang transparan dan tanpa melibatkan pengguna, maka teknologi tersebut akan dipersepsikan bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai bentuk kontrol terhadap perilaku mereka.

Teori Social Exchange menjelaskan bahwa hubungan kerja yang sehat selalu berlandaskan timbal balik: organisasi memberikan kepercayaan, dan karyawan membalasnya dengan loyalitas serta kontribusi. Di sinilah muncul paradoks besar dalam penerapan Zero Trust Architecture (ZTA) — sebuah sistem yang secara teknis berlandaskan prinsip “tidak percaya siapa pun”, namun diterapkan di lingkungan yang justru bergantung pada rasa percaya antar manusia. Tantangan terbesar bagi organisasi modern bukan hanya membangun sistem yang aman, tetapi juga memastikan bahwa keamanan digital tidak merusak nilai-nilai sosial yang menjadi fondasi budaya kerja itu sendiri (Oladimeji, 2024).

Dampak Zero Trust Architecture terhadap Budaya Organisasi

Menurut Oladimeji (2024), penerapan Zero Trust Architecture (ZTA) membawa konsekuensi sosial yang tidak kalah besar dibandingkan perubahan teknisnya. Sistem keamanan ini memang berhasil meningkatkan perlindungan data, tetapi juga berpotensi mengubah cara karyawan memandang organisasi, berinteraksi, dan berkolaborasi. Dampaknya terhadap budaya organisasi dapat dilihat melalui beberapa dimensi penting berikut ini.

Perubahan Persepsi Kepercayaan

Salah satu dampak paling nyata dari penerapan ZTA adalah pergeseran persepsi terhadap kepercayaan institusional. Ketika setiap akses karyawan harus diverifikasi, setiap file dipantau, dan setiap aktivitas login diaudit, karyawan dapat merasa seolah-olah organisasi tidak lagi mempercayai mereka. Dalam jangka panjang, persepsi ini dapat menimbulkan jarak emosional antara individu dan institusi, terutama bila kebijakan keamanan tidak disertai komunikasi yang jelas mengenai tujuannya. Padahal, maksud awal dari sistem tersebut adalah untuk melindungi aset bersama, bukan untuk mencurigai individu. Jika organisasi gagal mengelola persepsi ini, Zero Trust dapat mengikis loyalitas dan rasa aman psikologis karyawan, yang sebelumnya menjadi fondasi penting budaya kerja yang sehat.

Hambatan Kolaborasi dan Knowledge Sharing

Dampak berikutnya berkaitan dengan penurunan efektivitas kolaborasi dan berbagi pengetahuan antar pegawai. Seperti dijelaskan oleh Rohman et al. (2020), tingkat kepercayaan yang tinggi dalam organisasi adalah kunci utama yang mendorong budaya berbagi pengetahuan. Namun, ketika sistem Zero Trust diterapkan secara ketat dengan kontrol akses berlapis, proses kolaborasi yang sebelumnya cepat dan terbuka dapat berubah menjadi lambat dan terfragmentasi. Misalnya, karyawan harus melalui autentikasi berulang hanya untuk mengakses file lintas divisi, atau tidak dapat melihat data proyek lain yang relevan karena batasan peran. Kondisi ini tidak hanya menghambat efisiensi, tetapi juga mengurangi spontanitas dalam kolaborasi — sesuatu yang sangat dibutuhkan dalam organisasi yang mengandalkan kreativitas dan inovasi.

Erosi Collective Psychological Ownership

Selain berdampak pada kolaborasi, ZTA juga dapat mengganggu rasa kepemilikan bersama atau collective psychological ownership. Konsep ini, sebagaimana dijelaskan oleh Gray et al. (2020), mengacu pada perasaan bahwa anggota tim memiliki tanggung jawab kolektif terhadap hasil kerja bersama. Namun, ketika sistem keamanan menekankan kontrol individu dan mencatat setiap tindakan secara personal, tanggung jawab tersebut perlahan bergeser menjadi sesuatu yang individualistik. Akibatnya, semangat “kita bekerja bersama” berubah menjadi “saya hanya mengamankan bagian saya.” Rasa kepemilikan bersama pun melemah, dan budaya tim yang sebelumnya solid bisa tergantikan oleh mentalitas silo — di mana setiap orang fokus melindungi diri masing-masing, bukan mencapai tujuan kolektif.

Ketimpangan Antarindividu

Dampak sosial lain yang sering luput dari perhatian adalah munculnya ketimpangan psikologis antarindividu dalam merespons ZTA. Berdasarkan penelitian Obrenovic et al. (2020), individu dengan tingkat altruisme atau empati yang rendah cenderung lebih terpengaruh oleh berkurangnya kepercayaan antar rekan kerja. Sementara karyawan yang memiliki orientasi kolaboratif tinggi dapat lebih mudah beradaptasi dengan sistem baru, kelompok yang lain mungkin justru merasa terisolasi dan kehilangan makna kerja sama. Dalam konteks ini, Zero Trust bisa memperlebar jurang psikologis di antara karyawan — menciptakan kelompok yang merasa “dipercaya” dan kelompok yang merasa “diawasi.” Ketimpangan ini berpotensi menggerus kohesi sosial dan memperlemah solidaritas tim, terutama di organisasi besar yang mengandalkan sinergi lintas departemen.

Tantangan Implementasi ZTA dalam Organisasi Modern

Menurut Oladimeji (2024) dalam jurnal “Rethinking Trust in the Digital Age: An Investigation of Zero Trust Architecture’s Social Consequences on Organizational Culture, Collaboration, and Knowledge Sharing” dan Yang (2024) dalam “Transformation in Organizational and Human Resource Management in the Digital Intelligence Age,” tantangan terbesar dalam penerapan Zero Trust Architecture (ZTA) muncul karena organisasi modern kini bergerak ke arah networked organization, yaitu model kerja yang kolaboratif, lintas fungsi, dan lintas batas. Model ini menuntut tingkat kepercayaan yang tinggi antar tim dan antar mitra bisnis. Namun, prinsip dasar ZTA yang berfokus pada pembatasan dan verifikasi akses sering kali berbenturan dengan kebutuhan untuk berbagi informasi secara cepat. Akibatnya, organisasi harus mencari cara agar sistem keamanan yang ketat tidak justru menghambat aliran komunikasi dan kerja sama yang menjadi fondasi produktivitas.

Berdasarkan Rose et al. (2020) dalam “Zero Trust Architecture (NIST SP 800-207)” dan Ghasemshirazi et al. (2023) dalam “Zero Trust: Applications, Challenges, and Opportunities,” penerapan ZTA dapat menimbulkan berbagai kendala praktis dalam aktivitas kerja sehari-hari. Misalnya, kebijakan micro-segmentation dan least privilege access memang meningkatkan keamanan, tetapi juga bisa membuat proses kolaborasi menjadi lambat karena banyaknya langkah autentikasi tambahan dan keterbatasan akses lintas departemen. Jika tidak dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menimbulkan frustrasi di kalangan karyawan, mengurangi spontanitas kerja sama, dan bahkan menurunkan rasa saling percaya di dalam organisasi. Dalam konteks ini, keamanan siber tidak lagi murni persoalan teknis—tetapi juga menyentuh aspek sosial dan psikologis di tempat kerja.

Seperti disampaikan Mawla et al. (2022) dalam “BlueSky: Activity Control – A Vision for Active Security Models for Smart Collaborative Systems,” tantangan utama ZTA adalah menjaga keseimbangan antara keamanan dan fleksibilitas. Organisasi yang terlalu ketat bisa menjadi “aman tapi kaku,” sedangkan yang terlalu longgar bisa menjadi “fleksibel tapi rentan.” Solusinya adalah menerapkan pendekatan yang lebih adaptif, seperti context-aware access untuk mengurangi friksi dalam autentikasi, progressive authentication hanya untuk aktivitas berisiko tinggi, serta komunikasi yang transparan tentang alasan di balik kebijakan keamanan. Dengan cara ini, organisasi dapat mempertahankan keamanan yang kuat tanpa mengorbankan kepercayaan dan kolaborasi—dua unsur penting dalam budaya kerja modern.

Strategi Mitigasi: Membangun Keamanan Tanpa Mengorbankan Kepercayaan

Agar penerapan Zero Trust Architecture (ZTA) tidak menimbulkan dampak negatif terhadap budaya kerja, organisasi perlu mengambil pendekatan yang seimbang antara keamanan dan kepercayaan. Strategi mitigasi berikut dapat membantu organisasi menerapkan ZTA secara efektif tanpa mengorbankan kolaborasi dan rasa saling percaya di antara karyawan.

Context-Aware Access Control

Pendekatan ini menggantikan sistem otentikasi tradisional yang bersifat biner dengan mekanisme yang lebih adaptif dan cerdas. Dalam context-aware access control, sistem keamanan menganalisis konteks perilaku pengguna seperti lokasi, perangkat, pola waktu, dan tingkat risiko—sebelum memberikan izin akses. Jika aktivitas pengguna dianggap normal, proses verifikasi tambahan tidak perlu dilakukan, sehingga pengalaman pengguna menjadi lebih lancar tanpa mengurangi tingkat keamanan. Konsep ini telah dibahas dalam Rose et al. (2020) yang menekankan pentingnya risk-based authentication sebagai bagian dari arsitektur ZTA yang efisien. Dengan kata lain, sistem keamanan harus mampu menyesuaikan tingkat verifikasi berdasarkan risiko aktual, bukan menerapkan perlakuan yang sama untuk semua pengguna.

Komunikasi Transparan

Salah satu cara paling efektif untuk mencegah kesalahpahaman terkait penerapan Zero Trust adalah melalui komunikasi yang jujur dan terbuka. Karyawan perlu memahami mengapa proses verifikasi dilakukan dan bagaimana sistem tersebut melindungi mereka serta aset perusahaan. Ketika kebijakan keamanan dijelaskan dengan jelas, persepsi negatif seperti “organisasi tidak mempercayai saya” akan berubah menjadi “kami bersama-sama melindungi perusahaan.” Mawla et al. (2022), menekankan bahwa komunikasi yang baik dapat menumbuhkan rasa kepemilikan bersama terhadap keamanan. Transparansi ini menjadi jembatan antara teknologi dan manusia, sehingga karyawan merasa dilibatkan, bukan diawasi.

Desain Verifikasi Ramah Pengguna

Zero Trust tidak selalu berarti proses keamanan yang rumit atau mengganggu produktivitas. Dengan pendekatan progressive authentication, sistem dapat menyesuaikan tingkat autentikasi berdasarkan sensitivitas aktivitas. Misalnya, tindakan rutin seperti membuka email internal tidak memerlukan verifikasi ulang, tetapi akses ke data finansial sensitif akan membutuhkan autentikasi tambahan. Ghasemshirazi et al. (2023) menjelaskan bahwa desain autentikasi yang ramah pengguna dapat menjaga keseimbangan antara keamanan dan efisiensi kerja. Pendekatan ini juga meningkatkan rasa percaya pengguna terhadap sistem karena mereka tidak merasa dikontrol secara berlebihan, melainkan dibantu untuk tetap aman dalam bekerja.

Kolaborasi Lintas Divisi

Implementasi ZTA tidak boleh hanya menjadi tanggung jawab tim IT, melainkan hasil kerja sama antara berbagai divisi seperti HR, manajemen risiko, dan operasi bisnis. Setiap unit memiliki pola kerja dan kebutuhan akses yang berbeda, sehingga kebijakan keamanan perlu disesuaikan agar tidak menghambat kolaborasi lintas fungsi. Menurut Oladimeji (2024), kolaborasi lintas departemen dalam proses perancangan kebijakan keamanan membantu memastikan bahwa ZTA diterapkan secara inklusif dan tidak merusak dinamika kerja tim. Dengan pendekatan ini, keamanan tidak lagi dianggap sebagai hambatan, tetapi sebagai bagian dari strategi bisnis yang mendukung produktivitas dan inovasi.

Pelatihan Berbasis Kepercayaan

Pelatihan keamanan siber yang bersifat wajib dan hanya fokus pada kepatuhan sering kali membuat karyawan merasa diawasi. Oleh karena itu, organisasi perlu beralih ke pelatihan berbasis kepercayaan, di mana karyawan diajak memahami peran mereka sebagai bagian dari sistem keamanan kolektif. Melalui simulasi dan studi kasus kolaboratif, karyawan dapat melihat bahwa tindakan mereka memiliki dampak langsung terhadap keamanan perusahaan. Pendekatan ini sejalan dengan rekomendasi Haryanti et al. (2023) yang menyoroti pentingnya budaya kepercayaan dalam adopsi teknologi baru. Ketika pelatihan dilakukan dengan cara partisipatif, keamanan menjadi tanggung jawab bersama, bukan sekadar instruksi dari atas.

Analisis Jaringan Sosial Internal

Sebelum menerapkan kebijakan Zero Trust secara penuh, organisasi perlu memahami terlebih dahulu bagaimana informasi dan pengetahuan mengalir antar tim. Dengan menggunakan social network analysis (SNA), perusahaan dapat memetakan titik-titik penting dalam kolaborasi internal—misalnya, siapa saja yang berperan sebagai penghubung antar departemen atau penyebar utama informasi. Menurut Gray et al. (2020), pemetaan seperti ini membantu organisasi mencegah terputusnya jalur komunikasi penting akibat pembatasan akses yang terlalu ketat. Dengan memahami jaringan sosial internal, organisasi dapat menyesuaikan kebijakan keamanan agar tetap menjaga efisiensi kolaborasi tanpa mengurangi perlindungan data.

Baca juga: Strategi Membangun Ketahanan Siber dengan Deteksi Intrusi AI

Kesimpulan

Zero Trust Architecture (ZTA) adalah langkah penting dalam membangun keamanan siber modern, tetapi keberhasilannya tidak hanya bergantung pada perlindungan data, melainkan juga pada kemampuan menjaga kepercayaan dan kolaborasi di dalam organisasi. ZTA menuntut perubahan pola pikir dari sekadar “mengamankan sistem” menjadi “membangun keamanan yang berpusat pada manusia.” Organisasi yang mampu menerapkan ZTA dengan transparansi, melibatkan semua karyawan, dan menggunakan verifikasi yang kontekstual akan lebih siap menghadapi ancaman digital. Dengan keseimbangan antara kepercayaan dan kontrol, perusahaan dapat menjadi aman secara digital sekaligus kuat secara budaya.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy dan Human Cyber Risk Management.

WhatsApp Icon Mira