<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to HRMI

Dampak Ancaman Siber terhadap Pertumbuhan Layanan Perbankan Digital

Read Time 9 mins | 19 Des 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Perbankan Digital

Perbankan digital kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern—dari membayar tagihan hingga mengelola investasi, semua bisa dilakukan dalam genggaman. Namun, di balik kemudahan tersebut, ancaman siber terus mengintai. Serangan seperti phishing, malware, ransomware, dan kebocoran data bukan hanya mengancam keamanan sistem, tetapi juga kepercayaan nasabah yang menjadi fondasi utama pertumbuhan layanan perbankan digital. Ketika kepercayaan itu terganggu, dampaknya bisa meluas: perlambatan adopsi teknologi, kerugian finansial, hingga terhambatnya inovasi. Artikel ini membahas secara mendalam dampak ancaman siber terhadap pertumbuhan perbankan digital serta langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk menjaga keamanannya di tengah percepatan transformasi finansial.

Evolusi Perbankan Menuju Era Digital

Transisi dari perbankan tradisional menuju perbankan digital telah mengubah secara fundamental cara masyarakat mengakses dan menggunakan layanan keuangan. Digitalisasi memungkinkan transaksi berlangsung lebih cepat, efisien, dan dapat diakses kapan saja melalui perangkat pintar. Teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) membantu bank dalam melakukan analisis risiko dan personalisasi layanan, sementara blockchain meningkatkan transparansi serta keamanan transaksi. Sejalan dengan itu, cloud computing mendukung skalabilitas sistem perbankan agar mampu melayani jutaan nasabah secara simultan. Transformasi ini menjadi landasan utama pertumbuhan pesat ekosistem keuangan digital di berbagai negara.

Namun, kemajuan teknologi ini juga menghadirkan tantangan baru dalam bentuk ancaman siber yang semakin kompleks. Seperti dijelaskan oleh Waliullah, Khan, dan Rehman dalam jurnal “Assessing the Influence of Cybersecurity Threats and Risks on the Adoption and Growth of Digital Banking” (2025), perluasan layanan digital memperbesar attack surface, yakni area yang dapat dieksploitasi penjahat siber melalui aplikasi, API, atau integrasi pihak ketiga. Dengan meningkatnya adopsi FinTech dan model open banking, risiko kebocoran data serta serangan terhadap sistem autentikasi menjadi semakin tinggi karena keterlibatan banyak entitas dalam satu ekosistem digital.

Fenomena ini juga ditegaskan oleh penelitian “Cybersecurity and Digital Banking Transformation: Challenges and Opportunities” oleh Gupta & Bhardwaj (2024), yang menyebut bahwa inovasi digital perbankan harus berjalan seiring dengan peningkatan kapabilitas keamanan siber. Ketika sebuah bank memperluas layanan digital tanpa memperkuat sistem perlindungan datanya, maka celah keamanan akan meningkat secara proporsional dengan pertumbuhan pengguna. Dengan kata lain, semakin maju dan luas layanan perbankan digital, semakin besar pula potensi ancaman siber yang menyertainya—sebuah konsekuensi tak terelakkan dari kemajuan teknologi finansial di era modern.

Baca juga: Bagaimana Equifax Pulih dari Krisis Data Terburuk di Dunia Keuangan

Jenis-Jenis Ancaman Siber dalam Perbankan Digital

Ancaman siber di sektor perbankan digital terus berevolusi seiring dengan meningkatnya adopsi teknologi keuangan. Setiap inovasi baru membawa kemudahan bagi nasabah, tetapi juga membuka peluang baru bagi pelaku kejahatan untuk mengeksploitasi celah keamanan. Berdasarkan jurnal “Assessing the Influence of Cybersecurity Threats and Risks on the Adoption and Growth of Digital Banking” oleh Waliullah et al. (2025), berikut beberapa jenis ancaman siber yang paling sering terjadi dalam ekosistem perbankan digital:

Phishing dan Social Engineering

Phishing masih menjadi bentuk ancaman paling umum dan efektif. Pelaku biasanya mengirimkan email, SMS, atau pesan WhatsApp yang meniru bank resmi untuk mencuri data login nasabah. Kini, serangan ini semakin canggih dengan penggunaan AI dan deepfake yang mampu meniru wajah atau suara pegawai bank, sehingga korban lebih mudah tertipu. Gambar 4 dalam jurnal tersebut bahkan menampilkan “Phishing Attack Mindmap” yang menjelaskan tahapan eksploitasi dan dampak finansial dari serangan ini.

Malware dan Ransomware

Malware digunakan untuk menyusup ke sistem perbankan dan mencuri data sensitif, sementara ransomware bekerja dengan cara mengunci data dan menuntut tebusan. Menurut jurnal yang sama, serangan ransomware meningkat tajam sepanjang 2020–2021 dan menyebabkan kerugian mencapai ratusan juta dolar. Kini, banyak bank mulai mengadopsi AI-based cybersecurity untuk mendeteksi pola anomali secara real time. Namun, pelaku pun memanfaatkan AI untuk menghindari deteksi, menjadikan ancaman ini seperti permainan kucing dan tikus yang tak pernah berakhir.

Pencurian Identitas dan Pengambilalihan Akun

Jenis ancaman ini menargetkan kredensial pengguna secara langsung melalui keylogger, jaringan Wi-Fi palsu, atau manipulasi sosial. Bahkan, beberapa kasus menunjukkan penggunaan deepfake untuk menipu sistem verifikasi biometrik. Dampaknya bukan hanya kerugian finansial, tetapi juga penurunan kepercayaan nasabah terhadap layanan digital. Banyak korban yang kemudian beralih kembali ke transaksi konvensional, memperlambat pertumbuhan layanan perbankan digital, terutama di negara dengan literasi keamanan siber rendah.

Kebocoran Data dan Akses Tidak Sah

Kebocoran data merupakan ancaman berdampak panjang yang menghantui lembaga keuangan di seluruh dunia. Kasus Capital One (2019) dan Equifax (2017) menjadi contoh nyata betapa fatalnya celah keamanan dalam sistem perbankan. Selain menyebabkan kerugian miliaran dolar, reputasi lembaga yang terkena serangan sulit dipulihkan. Waliullah et al. (2025) menekankan pentingnya penerapan end-to-end encryption (E2EE) dan tokenisasi data untuk melindungi informasi nasabah dari penyalahgunaan.

Melihat berbagai bentuk ancaman di atas, jelas bahwa pertumbuhan layanan perbankan digital tidak dapat dilepaskan dari peningkatan risiko siber yang mengiringinya. Maka dari itu, setiap langkah inovasi digital harus selalu diimbangi dengan strategi keamanan yang matang, agar kepercayaan nasabah tetap menjadi fondasi utama bagi keberlanjutan industri perbankan di era digital.

Dampak Ancaman Siber terhadap Pertumbuhan Layanan Perbankan Digital

Ancaman siber memberikan dampak yang sangat luas terhadap pertumbuhan layanan perbankan digital. Tidak hanya menimbulkan kerugian finansial, tetapi juga menggerus kepercayaan publik dan menghambat inovasi teknologi di sektor keuangan. Menurut penelitian Waliullah et al. (2025), dampaknya dapat dilihat dari tiga aspek utama: kepercayaan konsumen, tingkat adopsi layanan baru, dan reputasi lembaga keuangan.

Menurunnya Kepercayaan Konsumen

Kepercayaan merupakan pondasi utama dalam industri perbankan digital. Ketika terjadi kebocoran data atau penipuan siber, nasabah akan merasa tidak aman untuk melakukan transaksi secara online. Mereka cenderung menunda penggunaan layanan digital, atau bahkan kembali ke metode transaksi konvensional seperti datang langsung ke cabang. Kejadian seperti ini menyebabkan penurunan volume transaksi dan tingkat retensi nasabah. Selain itu, efek psikologis berupa rasa takut dan kehilangan rasa aman dapat bertahan lama, membuat pemulihan kepercayaan menjadi proses yang sulit dan memakan waktu.

Melambatnya Adopsi Layanan Baru

Inovasi seperti open banking, digital wallet, dan mobile banking sejatinya dirancang untuk meningkatkan efisiensi dan kenyamanan pengguna. Namun, ketika risiko keamanan dianggap tinggi, adopsi layanan baru tersebut menjadi terhambat. Nasabah cenderung lebih berhati-hati dan memilih platform yang dianggap memiliki sistem perlindungan lebih kuat, meskipun kurang praktis. Hal ini berdampak langsung pada pertumbuhan pengguna baru serta menurunkan efektivitas transformasi digital di lembaga keuangan. Dalam jangka panjang, bank harus mengeluarkan biaya tambahan untuk meyakinkan publik bahwa layanan mereka aman, baik melalui kampanye edukasi maupun peningkatan fitur keamanan.

Kerugian Finansial dan Reputasional

Serangan siber dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kerugian langsung terjadi saat dana nasabah dicuri atau sistem operasional terganggu, sementara kerugian tidak langsung muncul dalam bentuk penurunan kepercayaan, kehilangan pelanggan, dan biaya pemulihan pasca-insiden. Selain itu, reputasi yang tercoreng dapat berdampak lebih parah dibandingkan kerugian uang itu sendiri. Sekali publik meragukan kredibilitas sebuah bank, akan sulit untuk membangun kembali citra positif tersebut. Akibatnya, pertumbuhan bisnis digital menjadi stagnan, dan potensi ekspansi layanan ke pasar baru ikut tertahan.

Secara keseluruhan, ancaman siber bukan sekadar risiko teknis, melainkan ancaman strategis terhadap keberlanjutan ekosistem perbankan digital. Keamanan siber yang kuat bukan hanya melindungi sistem, tetapi juga menjaga kepercayaan dan mendorong pertumbuhan ekonomi digital yang sehat.

Strategi Mitigasi dan Pencegahan

Strategi mitigasi dan pencegahan menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas dan kepercayaan terhadap layanan perbankan digital. Meningkatnya ancaman siber menuntut lembaga keuangan untuk tidak hanya mengandalkan sistem keamanan tradisional, tetapi juga menerapkan pendekatan modern yang adaptif terhadap perubahan teknologi dan perilaku pengguna. Berikut beberapa strategi penting dalam penelitian Waliullah et al. (2025) yang dapat diterapkan oleh industri perbankan digital untuk memperkuat perlindungan terhadap ancaman siber:

Multi-Factor Authentication (MFA) dan Biometrik

Sistem autentikasi berlapis atau Multi-Factor Authentication (MFA) kini menjadi standar industri dalam mencegah akses ilegal. Dengan menggabungkan beberapa faktor verifikasi seperti kata sandi, kode OTP, serta biometrik berupa sidik jari atau pengenalan wajah — risiko login tidak sah dapat ditekan secara signifikan. Namun, keamanan yang tinggi harus tetap mempertimbangkan kenyamanan pengguna. Proses autentikasi yang terlalu rumit justru bisa membuat pengguna mencari jalan pintas yang menurunkan keamanan. Oleh karena itu, lembaga keuangan perlu merancang sistem MFA yang aman namun tetap mudah digunakan agar adopsinya meluas di kalangan nasabah.

Blockchain dan Distributed Ledger

Teknologi blockchain menjadi terobosan besar dalam meningkatkan keamanan transaksi digital. Dengan sistem desentralisasi dan sifat data yang tidak dapat diubah (immutable), blockchain mampu meminimalkan risiko manipulasi data dan penipuan internal. Beberapa bank besar seperti JPMorgan dengan JPM Coin dan Santander telah memanfaatkan blockchain untuk mempercepat transaksi lintas negara sekaligus meningkatkan transparansi. Meski begitu, tantangan masih ada pada aspek skalabilitas dan regulasi, karena tidak semua yurisdiksi memiliki aturan yang mendukung penerapan blockchain secara penuh. Meskipun demikian, teknologi ini tetap menjadi fondasi masa depan keamanan data dalam industri perbankan digital.

End-to-End Encryption (E2EE)

Salah satu cara paling efektif untuk menjaga kerahasiaan data adalah penerapan End-to-End Encryption (E2EE). Teknologi ini memastikan bahwa hanya pengirim dan penerima yang dapat mengakses isi pesan atau data transaksi. Dalam praktiknya, perusahaan seperti PayPal dan JPMorgan Chase telah berhasil menurunkan tingkat insiden keamanan digital hingga hampir setengahnya berkat penggunaan E2EE. Selain itu, penerapan TLS 1.3 sebagai standar global kini menjadi keharusan dalam memastikan keamanan komunikasi antar server. Melalui pendekatan ini, data sensitif seperti informasi login, transaksi, dan identitas nasabah dapat terlindungi dari penyadapan maupun modifikasi oleh pihak ketiga.

Kepatuhan terhadap Regulasi Internasional

Kepatuhan terhadap regulasi global seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Eropa, Payment Services Directive 2 (PSD2) di Uni Eropa, dan Gramm-Leach-Bliley Act (GLBA) di Amerika Serikat, merupakan langkah penting dalam memperkuat keamanan siber perbankan. Regulasi ini mendorong penerapan autentikasi kuat, transparansi pengelolaan data, serta perlindungan terhadap privasi nasabah. Penerapan regulasi tidak hanya memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga menjadi strategi reputasional untuk membangun kepercayaan publik. Bank yang patuh pada standar keamanan global terbukti lebih jarang mengalami insiden kebocoran data dibandingkan dengan yang tidak memiliki sistem kepatuhan yang kuat.

Dengan menggabungkan keempat strategi tersebut: MFA dan biometrik, blockchain, E2EE, serta kepatuhan regulasi — lembaga keuangan dapat menciptakan ekosistem perbankan digital yang aman, andal, dan berkelanjutan. Keamanan bukan lagi sekadar kewajiban teknis, melainkan elemen strategis yang memperkuat kepercayaan nasabah dan menjadi keunggulan kompetitif di era digital.

Peran FinTech dalam Memperkuat Keamanan Perbankan Digital

Perkembangan Financial Technology (FinTech) telah membawa perubahan besar dalam cara industri perbankan menghadapi ancaman siber. FinTech kini bukan hanya berperan sebagai penyedia layanan keuangan inovatif, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam memperkuat keamanan digital bank. Dengan memanfaatkan machine learning dan artificial intelligence (AI), FinTech mampu mendeteksi pola transaksi yang mencurigakan secara real time dan mencegah potensi penipuan sebelum kerugian terjadi. Menurut Waliullah et al. (2025) dalam jurnal “Assessing the Influence of Cybersecurity Threats and Risks on the Adoption and Growth of Digital Banking”, kolaborasi antara FinTech dan lembaga perbankan memainkan peran penting dalam membangun sistem keamanan yang adaptif terhadap ancaman siber yang terus berkembang.

Selain kemampuan deteksi dini, FinTech juga berkontribusi melalui pengembangan sistem decentralized identity management berbasis blockchain, yang memungkinkan proses verifikasi identitas dilakukan tanpa harus menyimpan data sensitif di server terpusat. Pendekatan ini tidak hanya mengurangi risiko kebocoran data, tetapi juga meningkatkan transparansi dan kepercayaan pengguna. Studi oleh Gupta & Bhardwaj (2024) dalam jurnal “Cybersecurity and Digital Banking Transformation: Challenges and Opportunities” menunjukkan bahwa penerapan blockchain di sektor keuangan membantu mengurangi insiden penipuan identitas hingga 30%. Dengan sistem ini, nasabah dapat mengontrol sendiri akses terhadap data pribadinya, sementara lembaga keuangan tetap dapat memverifikasi identitas dengan aman.

Namun, integrasi antara sistem perbankan dan FinTech juga menghadirkan risiko baru yang tidak bisa diabaikan. Penggunaan API terbuka dan platform cloud memperluas permukaan serangan jika tidak dilengkapi dengan kontrol keamanan yang memadai. Serangan terhadap API atau penyalahgunaan token akses dapat membuka celah bagi pelaku untuk mencuri data nasabah. Karena itu, seperti ditegaskan dalam jurnal Waliullah et al. (2025), audit keamanan berkala, enkripsi data end-to-end, dan penerapan model Zero Trust menjadi langkah wajib bagi bank dan mitra FinTech dalam menjaga integritas dan keamanan sistem perbankan digital di era kolaborasi teknologi ini.

Implikasi terhadap Kepercayaan dan Pertumbuhan Ekosistem Digital

Dalam ekosistem perbankan digital, keamanan siber dan kepercayaan publik memiliki hubungan yang saling bergantung dan tidak dapat dipisahkan. Keamanan yang kuat menciptakan rasa aman bagi nasabah untuk bertransaksi, sementara kepercayaan yang tinggi mempercepat adopsi layanan digital. Menurut Waliullah et al. (2025) dalam jurnal “Assessing the Influence of Cybersecurity Threats and Risks on the Adoption and Growth of Digital Banking”, keberhasilan transformasi digital perbankan tidak hanya bergantung pada inovasi teknologi, tetapi juga pada sejauh mana lembaga keuangan mampu menjaga keamanan dan transparansi dalam melindungi data nasabah.

Bank yang secara terbuka mengkomunikasikan kebijakan keamanan, menyediakan proteksi terhadap penipuan, serta menindaklanjuti insiden dengan cepat, akan lebih mudah membangun kepercayaan publik. Transparansi dalam penanganan insiden siber menunjukkan tanggung jawab dan kesiapan lembaga dalam menghadapi ancaman, yang pada gilirannya memperkuat loyalitas nasabah. Sebaliknya, ketika sebuah bank gagal merespons kebocoran data secara efektif, kepercayaan pelanggan dapat menurun drastis. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah pengguna aktif dan memperlambat pertumbuhan bisnis digital karena nasabah enggan mengambil risiko dalam menggunakan layanan yang dianggap tidak aman.

Penelitian lain oleh Chakraborty dan Pandey (2023) dalam jurnal “Trust and Resilience in Digital Financial Ecosystems” juga menegaskan bahwa kepercayaan digital kini sama pentingnya dengan stabilitas finansial. Bank yang mampu menanamkan rasa aman dan percaya pada nasabahnya memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh berkelanjutan di era ekonomi digital. Dengan demikian, keamanan siber tidak lagi sekadar fungsi teknis, tetapi menjadi pilar strategis yang menentukan arah pertumbuhan dan keberlanjutan ekosistem perbankan digital di masa depan.

Baca juga: Perubahan Strategis dalam Manajemen Risiko Siber Pasca PADG 24/2024

Kesimpulan

Ancaman siber terhadap perbankan digital bukan hanya persoalan teknologi, tetapi juga tantangan bagi keberlanjutan ekonomi digital. Untuk menjaga pertumbuhan yang sehat, bank perlu memadukan inovasi teknologi seperti AI, blockchain, dan enkripsi end-to-end dengan peningkatan literasi keamanan serta kepatuhan terhadap regulasi global. Langkah-langkah ini tidak hanya menekan risiko serangan siber, tetapi juga memperkuat kepercayaan publik. Pada akhirnya, keamanan siber bukan penghalang inovasi—melainkan fondasi utama bagi pertumbuhan perbankan digital yang berkelanjutan.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy dan Human Cyber Risk Management.

WhatsApp Icon Mira