Kesiapan Indonesia Melawan Cybercrime dengan RUU Siber 2025
Read Time 10 mins | 17 Okt 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia menghadapi lonjakan kejahatan siber yang semakin kompleks, dengan ransomware menjadi ancaman utama yang menargetkan lembaga pemerintahan, rumah sakit, bank, hingga infrastruktur vital. Laporan tahun 2024 bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan kasus ransomware tertinggi di Asia Tenggara, menandakan lemahnya pertahanan digital nasional. Saat ini, regulasi yang berlaku seperti UU ITE 2008 dan UU PDP 2022 belum secara spesifik mengatur kejahatan siber modern. Untuk menjawab tantangan tersebut, pemerintah menyiapkan RUU Keamanan dan Ketahanan Siber 2025 sebagai langkah strategis memperkuat perlindungan dan kesiapan Indonesia menghadapi eskalasi cybercrime.
Peta Ancaman Cybercrime di Indonesia
Transformasi digital yang pesat di sektor publik dan swasta telah meningkatkan efisiensi dan konektivitas, namun juga membuka celah baru bagi kejahatan siber. Salah satu bentuk serangan yang paling sering terjadi adalah ransomware, di mana data korban dikunci dan hanya dapat diakses kembali setelah membayar tebusan dalam mata uang kripto. Dampaknya tidak ringan—layanan publik dapat lumpuh, data sensitif bocor ke dark web, dan reputasi lembaga yang diserang menjadi rusak. Penelitian Seri Mughni Sulubara, Virdyra Tasril, dan Nurkhalisah (2025) dalam jurnal Legal Protection Against Cybercrime from Ransomware Attacks and Evaluation of the 2025 Cyber Security and Resilience Bill in Indonesia’s Defense mencatat bahwa serangan terhadap Pusat Data Nasional (PDN) dan sejumlah bank besar menunjukkan lemahnya sistem pertahanan digital Indonesia serta meningkatnya risiko terhadap stabilitas nasional.
Selain kerugian finansial yang besar, meningkatnya serangan cybercrime juga menimbulkan krisis kepercayaan publik terhadap keamanan digital pemerintah dan sektor usaha. Dalam konteks ini, Sulubara et al. (2025) menekankan bahwa kebocoran data pribadi dan gangguan pada layanan publik berpotensi menurunkan legitimasi pemerintah di mata masyarakat. Pandangan ini sejalan dengan riset Botchkovar et al. (2025) dalam Technology in Society, yang mengungkap bahwa aktivitas kelompok ransomware global semakin terorganisasi dan menjadikan negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai target utama karena lemahnya sistem hukum dan kesiapan teknologinya.
Kondisi tersebut diperparah oleh rendahnya kesadaran keamanan siber di tingkat individu maupun organisasi. Banyak institusi belum menerapkan praktik dasar seperti multi-factor authentication, data backup rutin, atau pelatihan keamanan bagi pegawai. Seperti disampaikan dalam studi Tubaishat & Alaleeli (2024) berjudul A Framework to Prevent Cybercrime in the UAE, keberhasilan mitigasi ancaman siber tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada perilaku dan budaya keamanan di lingkungan kerja. Oleh karena itu, membangun kesadaran keamanan digital di semua lapisan masyarakat menjadi kunci penting dalam menghadapi peta ancaman cybercrime di Indonesia.
Baca juga: UU PDP vs Data Breach Seberapa Kuat Perlindungan Kita
Dasar Hukum yang Berlaku Saat Ini
Kerangka hukum Indonesia dalam menghadapi kejahatan siber saat ini masih bertumpu pada dua regulasi utama yang menjadi fondasi penting, yaitu UU ITE 2008 dan UU PDP 2022. Keduanya berperan melindungi masyarakat dari ancaman digital, meski masih memiliki sejumlah keterbatasan dalam implementasinya.
UU ITE 2008
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi dasar utama penegakan hukum siber di Indonesia. Pasal-pasal seperti Pasal 27 ayat (4) dan Pasal 368 KUHP digunakan untuk menjerat pelaku ransomware karena mengandung unsur pemerasan digital. Namun, kelemahan utamanya terletak pada fokus yang lebih menitikberatkan pada hukuman pidana, bukan perlindungan dan pemulihan korban (Sulubara et al., 2025).
UU PDP 2022
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi memperkuat keamanan data dengan mengatur kewajiban pengendali data, pelaporan insiden kebocoran, serta sanksi pidana dan administratif bagi pelanggar. UU ini memberikan dasar hukum yang lebih kuat terhadap penyalahgunaan data hasil serangan ransomware, namun penerapannya masih lemah karena keterbatasan pengawasan, rendahnya literasi digital, dan kesiapan lembaga yang belum merata.
Secara keseluruhan, kedua regulasi tersebut telah menjadi pondasi penting dalam perlindungan hukum siber di Indonesia, namun masih memerlukan penyesuaian yang lebih komprehensif dan adaptif terhadap bentuk-bentuk kejahatan digital yang terus berkembang. Kehadiran RUU Keamanan dan Ketahanan Siber 2025 diharapkan dapat melengkapi kekosongan hukum yang ada, memperkuat koordinasi antar lembaga, serta memastikan perlindungan yang lebih efektif bagi masyarakat di era serangan siber yang semakin kompleks.
RUU Siber 2025: Pilar Baru Pertahanan Digital Nasional
RUU Keamanan dan Ketahanan Siber (KKS) 2025 hadir sebagai respons atas meningkatnya ancaman cybercrime di era digital yang menuntut regulasi lebih tegas dan adaptif. Sebagai prioritas Prolegnas 2025, RUU ini bertujuan memperkuat koordinasi antar lembaga, melindungi infrastruktur strategis, dan membangun ekosistem keamanan digital yang berkelanjutan. Untuk mencapai tujuan tersebut, RUU KKS memuat sejumlah pokok-pokok penting yang menjadi fondasi utama penguatan pertahanan siber nasional (Sulubara et al., 2025).
Penguatan Otoritas Siber Nasional
RUU ini menegaskan peran Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) sebagai otoritas utama dalam mengkoordinasikan kebijakan, pengawasan, dan respons terhadap insiden siber di seluruh sektor nasional. Dengan penguatan mandat ini, diharapkan tidak lagi terjadi tumpang tindih kewenangan antar lembaga, sehingga penanganan ancaman siber dapat dilakukan secara cepat, terpusat, dan terukur.
Kewajiban Pelaporan Insiden Siber
Setiap institusi, baik publik maupun swasta, diwajibkan untuk melaporkan setiap insiden siber yang terjadi. Kewajiban ini bertujuan agar pemerintah dapat mengidentifikasi pola serangan, mempercepat respons nasional, dan mencegah dampak yang lebih luas. Sistem pelaporan yang terintegrasi juga diharapkan menjadi dasar dalam membangun pusat data insiden siber nasional.
Perlindungan Aset Digital Strategis
RUU KKS mengamanatkan negara untuk memberikan perlindungan maksimal terhadap aset digital strategis, termasuk sektor energi, transportasi, keuangan, kesehatan, dan data publik. Perlindungan ini mencakup penerapan standar keamanan tinggi, audit rutin, serta peningkatan kesiapan lembaga pengelola infrastruktur vital terhadap potensi serangan siber berskala besar.
Sanksi Tegas untuk Pelaku dan Korporasi
Untuk menimbulkan efek jera, RUU ini mengatur sanksi pidana dan administratif yang lebih berat bagi individu maupun korporasi yang terlibat dalam kejahatan siber. Ketentuan ini juga berlaku bagi pihak yang lalai menjaga keamanan data atau menolak melaporkan insiden siber yang terjadi di lingkungannya.
Sinergi Multi-Sektor
RUU KKS menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor—antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat—untuk menciptakan ruang digital yang aman dan berkelanjutan. Pendekatan ini memperkuat konsep whole-of-nation approach, di mana keamanan siber bukan hanya tanggung jawab negara, tetapi juga seluruh elemen masyarakat digital.
Selain itu, RUU ini juga mendorong pembentukan Computer Security Incident Response Team (CSIRT) di setiap lembaga strategis serta integrasi sistem deteksi serangan nasional, agar Indonesia memiliki kemampuan deteksi dini dan mitigasi yang lebih tangguh terhadap berbagai bentuk ancaman siber.
Evaluasi terhadap Kesiapan Indonesia
Penelitian Sulubara et al. (2025) menyoroti bahwa kesiapan Indonesia menghadapi ancaman cybercrime masih belum merata, terutama dalam tiga aspek utama: kelembagaan, teknologi, dan literasi publik.
- Aspek Kelembagaan
Kewenangan antar lembaga seperti BSSN, Kominfo, dan Kepolisian masih sering tumpang tindih, menyebabkan lemahnya koordinasi nasional dalam menghadapi insiden siber. Tanpa mekanisme yang jelas dan terintegrasi, respon terhadap serangan sering kali lambat dan tidak efisien. Diperlukan kerangka koordinasi terpadu agar penanganan ancaman digital dapat berjalan cepat dan tepat sasaran. - Aspek Teknologi
Kapasitas pertahanan siber nasional masih perlu diperkuat, terutama pada infrastruktur deteksi dini, sistem threat intelligence, serta mekanisme mitigasi insiden. Banyak lembaga pemerintah dan sektor vital yang belum memiliki sistem cadangan data dan rencana pemulihan pasca serangan (disaster recovery plan) yang memadai. Tanpa penguatan teknologi, potensi kerugian akibat serangan siber akan terus meningkat dari waktu ke waktu. - Aspek Literasi Digital
Kesadaran publik terhadap keamanan siber masih tergolong rendah. Banyak individu dan organisasi belum memahami pentingnya melindungi data pribadi dan masih mudah terjebak dalam praktik phishing atau berbagi informasi sensitif secara tidak aman. Dalam konteks ini, RUU Siber 2025 diharapkan menjadi landasan hukum bagi peningkatan edukasi keamanan siber nasional melalui kurikulum pendidikan, pelatihan pegawai, dan program literasi digital massal di seluruh lapisan masyarakat.
Secara keseluruhan, evaluasi ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah memiliki arah kebijakan yang jelas melalui RUU Siber 2025, tantangan implementasi masih besar. Keberhasilan regulasi ini akan sangat bergantung pada kemampuan pemerintah memperkuat kolaborasi lintas lembaga, mempercepat modernisasi infrastruktur keamanan siber, serta membangun budaya literasi digital yang kuat di tengah masyarakat.
Perbandingan dengan Negara Lain
Dalam penelitian Sulubara et al. (2025), untuk menilai kesiapan Indonesia dalam menghadapi ancaman siber, penting untuk melihat praktik terbaik dari negara-negara yang telah lebih dulu membangun sistem keamanan siber yang kuat dan efektif. Dua contoh yang paling menonjol adalah Singapura dan Korea Selatan, yang keduanya berhasil menciptakan keseimbangan antara regulasi yang ketat dan kesiapan teknologi yang matang.
- Singapura – Cybersecurity Act
Singapura memiliki Cybersecurity Act yang menjadi kerangka hukum utama dalam melindungi infrastruktur digital nasional. Undang-undang ini mewajibkan setiap operator infrastruktur penting untuk melaporkan insiden siber dan menjalani audit keamanan secara berkala. Pendekatan ini memungkinkan pemerintah untuk mendeteksi ancaman lebih cepat dan memperkuat sistem pertahanan siber secara preventif. Selain itu, koordinasi antara lembaga publik dan sektor swasta di Singapura menjadi model kolaborasi yang efisien dalam menghadapi serangan siber lintas sektor. - Korea Selatan – Korea Internet & Security Agency (KISA)
Korea Selatan menggabungkan kebijakan nasional dengan partisipasi sektor swasta melalui Korea Internet & Security Agency (KISA). Lembaga ini menjalankan sistem tanggap cepat (incident response) yang terintegrasi secara nasional, memastikan komunikasi dan koordinasi efektif antara pemerintah, industri, dan lembaga keamanan digital. Pendekatan ini tidak hanya memperkuat kesiapan teknologi, tetapi juga mempercepat penanganan serangan dan pemulihan pasca insiden.
Kedua negara tersebut menunjukkan bahwa regulasi yang kuat harus berjalan beriringan dengan kesiapan teknologi, tata kelola yang solid, serta pelatihan sumber daya manusia yang berkelanjutan. Dari pengalaman ini, Indonesia perlu belajar dan mengadaptasi model tersebut dengan memperkuat mekanisme pelaporan insiden, menerapkan audit keamanan berkala, serta memastikan penegakan hukum lintas sektor berjalan konsisten. Pendekatan terpadu ini akan membantu Indonesia membangun sistem keamanan siber yang tangguh, adaptif, dan berdaya saing di tingkat global.
Dampak RUU Siber terhadap Pertahanan Nasional
RUU Siber 2025 memiliki peran penting dalam memperkuat pertahanan digital nasional yang adaptif dan berkelanjutan. Regulasi ini tidak hanya menitikberatkan pada pemberian sanksi bagi pelaku kejahatan siber, tetapi juga membangun resiliensi digital—kemampuan negara untuk bertahan, memulihkan diri, dan beradaptasi terhadap ancaman siber yang semakin kompleks. Seperti dijelaskan oleh Sulubara et al. (2025), RUU ini merupakan langkah strategis untuk memperkuat otoritas siber nasional dan menciptakan sistem hukum yang responsif terhadap dinamika ancaman digital. Beberapa dampak positif yang diharapkan antara lain:
- Meningkatnya kepercayaan publik dan investor terhadap keamanan digital Indonesia: Dengan adanya kerangka hukum yang kuat dan sistem koordinasi antar lembaga yang lebih solid, kepercayaan masyarakat serta pelaku industri terhadap keamanan digital nasional akan meningkat. Hal ini juga sejalan dengan pandangan Achuthan et al. (2025) dalam Humanities and Social Sciences Communications, yang menekankan bahwa stabilitas keamanan digital menjadi faktor penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan inovasi teknologi.
- Terbangunnya sistem tanggap darurat nasional untuk insiden siber lintas sektor: RUU ini mendorong pembentukan mekanisme incident response terpadu yang melibatkan pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keamanan digital, sebagaimana direkomendasikan oleh Alshehri (2025) dalam Journal of Umm Al-Qura University for Engineering and Architecture, yang menekankan pentingnya pendekatan multi-layered untuk mempercepat mitigasi ancaman siber.
- Perlindungan hak asasi manusia dan privasi digital menjadi bagian integral dari kebijakan keamanan: Pendekatan ini juga menegaskan keseimbangan antara keamanan nasional dan perlindungan hak privasi individu, sejalan dengan temuan Almotiri (2025) dalam Journal of Cloud Computing, yang menyebutkan bahwa kebijakan keamanan siber modern harus mengedepankan prinsip etika, transparansi, dan perlindungan data pengguna.
Selain memperkuat pertahanan domestik, RUU Siber 2025 juga akan meningkatkan posisi Indonesia di ranah internasional, terutama melalui partisipasi aktif dalam kerja sama regional seperti ASEAN Cybersecurity Cooperation dan forum global seperti Global Cyber Forum. Kolaborasi ini akan memperluas kapasitas Indonesia dalam berbagi intelijen siber, memperkuat diplomasi digital, dan membangun reputasi sebagai negara yang siap menghadapi tantangan keamanan siber global secara kolaboratif dan berdaulat.
Tantangan Implementasi RUU Siber 2025
Meskipun memiliki potensi besar untuk memperkuat pertahanan digital nasional, implementasi RUU Siber 2025 masih menghadapi berbagai tantangan mendasar yang perlu diantisipasi sejak dini. Keberhasilan penerapannya tidak hanya bergantung pada kekuatan regulasi, tetapi juga pada kesiapan kelembagaan, sumber daya manusia, dan dukungan infrastruktur yang memadai.
- Overlapping Authority
Diperlukan pembagian kewenangan yang jelas antara BSSN, Kominfo, dan Kepolisian agar tidak terjadi tumpang tindih atau konflik dalam penanganan kasus siber. Tanpa koordinasi yang efektif, upaya penegakan hukum berisiko berjalan parsial dan tidak efisien. - Risiko Penyalahgunaan Kewenangan
Pengawasan independen mutlak dibutuhkan agar kewenangan siber tidak disalahgunakan, terutama dalam hal pengumpulan dan pemantauan data digital warga. Transparansi dan akuntabilitas menjadi prinsip penting agar keamanan siber tidak mengorbankan hak privasi individu. - Kesiapan SDM Siber Nasional
Indonesia masih kekurangan tenaga ahli di bidang keamanan siber. Setiap lembaga publik dan sektor strategis—termasuk pendidikan, kesehatan, dan keuangan—perlu memiliki tim profesional yang terlatih untuk mendeteksi dan menanggulangi ancaman digital dengan cepat dan tepat. - Koordinasi Internasional
Mengingat sifat cybercrime yang lintas batas, Indonesia perlu memperkuat kerja sama dengan lembaga internasional seperti INTERPOL, ASEAN Cybercrime Centre, dan mitra strategis global lainnya untuk mempercepat pertukaran informasi dan operasi lintas negara. - Pendanaan dan Infrastruktur
Implementasi RUU ini memerlukan investasi berkelanjutan di bidang teknologi, pelatihan SDM, serta riset dan pengembangan (R&D) untuk membangun sistem keamanan siber yang tangguh dan terbarukan.
Secara keseluruhan, RUU Siber 2025 hanya akan efektif apabila diiringi dengan tata kelola yang transparan, sinergi antar lembaga, serta komitmen jangka panjang pemerintah dalam memperkuat sumber daya dan infrastruktur siber nasional. Tanpa itu, regulasi yang baik berisiko menjadi dokumen normatif semata—belum mampu mewujudkan pertahanan digital yang kokoh dan berdaulat.
Rekomendasi Strategis
Agar RUU Siber 2025 benar-benar efektif memperkuat ketahanan digital nasional, diperlukan langkah-langkah strategis yang konkret dan berkelanjutan. Implementasinya harus melibatkan kolaborasi lintas sektor, penguatan SDM, serta dukungan kebijakan dan pendanaan yang konsisten. Berikut rekomendasi utamanya:
- Lembaga Koordinasi Nasional
Bentuk lembaga lintas sektor permanen yang menjadi pusat kendali dan komunikasi antara BSSN, Kominfo, Polri, serta sektor swasta untuk memastikan respons cepat dan terkoordinasi terhadap insiden siber. - Standar Keamanan Nasional
Tetapkan standar minimum keamanan digital bagi seluruh lembaga publik dan swasta, termasuk kewajiban enkripsi data, backup sistem, serta audit keamanan berkala agar kesiapan dasar terhadap ancaman siber merata di semua sektor. - Literasi Siber Nasional
Dorong peningkatan kesadaran keamanan digital melalui program literasi berbasis komunitas dan pendidikan formal, guna menanamkan budaya keamanan siber sejak dini di masyarakat. - Pusat Pelatihan Siber (Cyber Academy)
Kembangkan pusat pelatihan nasional untuk mencetak tenaga ahli keamanan siber, forensik digital, dan incident response agar Indonesia memiliki SDM yang mandiri dan kompeten di bidang keamanan digital. - Kemitraan Internasional
Perkuat kerja sama global dengan lembaga seperti INTERPOL dan ASEAN Cybersecurity Centre untuk berbagi intelijen siber, memperluas riset, dan mengembangkan teknologi pertahanan digital nasional.
Dengan menjalankan strategi tersebut secara konsisten, RUU Siber 2025 tidak hanya menjadi instrumen hukum, tetapi juga fondasi utama terbentuknya ekosistem keamanan digital Indonesia yang tangguh, mandiri, dan berdaya saing di tingkat global.
Baca juga: Apakah Regulasi Cukup Kuat Menangkal Ancaman Siber Lintas Negara?
Kesimpulan
Indonesia berada pada fase penting dalam membangun kedaulatan digital nasional, di tengah meningkatnya ancaman ransomware dan kejahatan siber yang menjadikan keamanan digital sebagai kebutuhan strategis. RUU Keamanan dan Ketahanan Siber 2025 hadir untuk memperkuat fondasi hukum dan koordinasi nasional dalam menghadapi cybercrime. Keberhasilannya bergantung pada sinergi antar lembaga, penguatan literasi dan SDM digital, serta transparansi publik. Dengan regulasi yang kuat, teknologi adaptif, dan masyarakat yang sadar keamanan siber, Indonesia dapat membangun pertahanan digital yang tangguh dan berdaulat di era global.