<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to HRMI

UU PDP vs Data Breach Seberapa Kuat Perlindungan Kita

Read Time 8 mins | 09 Okt 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

UU PDP vs Data Breach

Data pribadi menjadi aset yang sangat berharga. Setiap transaksi online, interaksi di media sosial, hingga akses layanan kesehatan dan perbankan, semuanya melibatkan pertukaran data pribadi. Namun, peningkatan aktivitas digital juga membawa risiko yang signifikan: data breach atau kebocoran data pribadi. Indonesia tidak asing lagi dengan fenomena ini. Dari kasus Tokopedia, BPJS Kesehatan, hingga kebocoran data Dukcapil, jutaan data warga negara telah terekspos dan bahkan diperdagangkan di forum gelap. Lalu hadirnya Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) diharapkan menjadi solusi hukum yang kuat. Namun, pertanyaan penting muncul: Apakah UU PDP benar-benar mampu melindungi kita dari ancaman data breach yang terus meningkat?

Data Breach: Ancaman Privasi di Era Digital

Data breach adalah insiden ketika data pribadi seseorang diakses, digunakan, atau disebarkan tanpa izin pemiliknya. Peristiwa ini dapat terjadi melalui berbagai cara, mulai dari peretasan database perusahaan maupun lembaga pemerintah, pencurian identitas dengan menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau informasi finansial untuk penipuan, hingga penjualan data ilegal kepada pihak ketiga tanpa persetujuan. Jurnal Personal Data Breach Cases in Indonesia: Perspective of Personal Data Protection Law oleh Tanti Kirana Utami, Salsa Octaviani Suryanto, Kayla Andini Putri, dan Fina Asriani (2025) menegaskan bahwa kasus kebocoran data di Indonesia terus meningkat seiring pesatnya transformasi digital, dengan faktor utama lemahnya kesadaran publik, kurangnya perlindungan data oleh perusahaan, serta penegakan hukum yang belum optimal.

Dampak data breach tidak hanya sebatas kerugian materiil, seperti kehilangan uang akibat penipuan, tetapi juga dapat berujung pada kerugian immateriil. Korban bisa mengalami pencurian identitas, penyalahgunaan data medis, hingga pemerasan yang mengancam keamanan pribadi dan reputasi. Menurut penelitian Indriana Firdaus dalam jurnal Legal Protection Efforts for Privacy Rights Against Personal Data from Hacking Crimes, lemahnya regulasi dan rendahnya kesadaran masyarakat membuat risiko kebocoran data semakin tinggi, terutama ketika pelaku memanfaatkan data yang bocor untuk kejahatan siber yang lebih kompleks. Hal ini menegaskan bahwa perlindungan data pribadi merupakan aspek penting dalam menjaga hak privasi setiap individu.

Lebih jauh, data breach sering terjadi karena praktik pengelolaan data yang tidak transparan dan lemahnya infrastruktur keamanan digital. Beberapa perusahaan bahkan menyalahgunakan data konsumennya untuk kepentingan komersial tanpa sepengetahuan pengguna. Situasi ini menuntut adanya regulasi yang kuat seperti UU PDP, serta sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat dalam membangun kesadaran akan pentingnya perlindungan data pribadi. Dengan pemahaman yang tepat tentang apa itu data breach dan dampaknya, publik dapat lebih waspada dalam menjaga data mereka, sementara regulator dan pelaku usaha diharapkan lebih bertanggung jawab dalam pengelolaannya.

Baca juga: Cara HRM Dapat Membantu Mencegah Kebocoran Data Perusahaan

Peta Kasus Data Breach di Indonesia

Kasus kebocoran data di Indonesia semakin marak dari tahun ke tahun. Jurnal Utami et al. (2025) mencatat bahwa dari 2019 hingga 2024, Indonesia mengalami serangkaian insiden besar yang melibatkan jutaan data pribadi warga. Salah satu yang paling awal adalah kasus Tokopedia pada 2020, ketika 91 juta data pengguna—termasuk nama, email, dan password bocor dan dijual secara online. Setahun kemudian, BPJS Kesehatan (2021) mengalami kebocoran 279 juta data peserta, bahkan data medis sensitif ikut diperjualbelikan di dark web.

Tren ini berlanjut pada 2022 dengan peretasan KPU yang mengekspos 105 juta data pemilih, termasuk NIK dan alamat lengkap. Tahun berikutnya, Dukcapil (2023) tak luput dari serangan: 337 juta data kependudukan diretas oleh kelompok hacker internasional. Kondisi semakin mengkhawatirkan pada 2024, ketika serangan ransomware Lockbit 3.0 melumpuhkan Pusat Data Nasional dan mengganggu layanan publik vital. Menurut artikel Cloudeka (2023) 10 Rangkuman Kasus Kebocoran Data di Indonesia dan Dunia, kasus-kasus ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kebocoran data tertinggi di kawasan, dengan dampak serius terhadap kepercayaan publik terhadap pemerintah maupun sektor swasta.

Rangkaian insiden tersebut menegaskan bahwa sistem pengelolaan data di Indonesia masih sangat rapuh, baik di sektor publik maupun swasta. Penelitian oleh Bahtiar (2022) dalam Development Policy and Management Review menekankan bahwa lemahnya regulasi, minimnya transparansi perusahaan, serta rendahnya literasi digital masyarakat menjadi faktor utama tingginya angka data breach. Dengan pola serangan yang semakin canggih, kasus-kasus ini menjadi peringatan keras bahwa perlindungan data tidak bisa lagi dianggap sebagai isu sekunder, melainkan harus menjadi prioritas dalam membangun ekosistem digital yang aman.

UU PDP: Tonggak Baru Perlindungan Data

Lahirnya UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) merupakan tonggak penting dalam sejarah hukum Indonesia di tengah derasnya transformasi digital dan meningkatnya ancaman kebocoran data. Sebelum regulasi ini hadir, aturan mengenai perlindungan data pribadi masih tersebar di berbagai regulasi parsial seperti UU ITE maupun peraturan sektoral lainnya, sehingga perlindungan data berjalan tidak maksimal dan sulit menjawab kompleksitas kejahatan siber modern. Jurnal Personal Data Breach Cases in Indonesia: Perspective of Personal Data Protection Law oleh Utami et al. (2025) mencatat bahwa lemahnya regulasi serta penegakan hukum sebelum UU PDP menjadi faktor yang memperparah maraknya kasus kebocoran data di Indonesia.

Secara substansi, UU PDP menghadirkan kepastian hukum dengan mengatur secara jelas hak-hak subjek data, mulai dari hak untuk mengakses data pribadi, meminta perbaikan bila ada kesalahan, menghapus data yang tidak relevan, hingga mengajukan keberatan jika data digunakan di luar tujuan. Di sisi lain, pengendali data diwajibkan untuk menjaga keamanan, transparansi, serta memperoleh persetujuan sah dari pemilik data sebelum menggunakannya. Regulasi ini juga mempertegas sanksi pidana dan administratif bagi pelanggar, dengan ancaman penjara hingga 5 tahun serta denda maksimal Rp 5 miliar. Ketentuan ini diharapkan mampu memberi efek jera kepada pihak-pihak yang lalai atau secara sengaja menyalahgunakan data pribadi masyarakat.

Dengan kehadiran UU PDP, Indonesia kini memiliki payung hukum yang lebih kokoh dan terpusat, sejalan dengan praktik global seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa yang telah menjadi standar internasional. Beberapa akademisi, seperti CSA Teddy Lesmana, Eva Elis, dan Siti Hamimah dalam jurnal Urgensi Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi Dalam Menjamin Keamanan Data Pribadi, menekankan bahwa harmonisasi regulasi Indonesia dengan standar global menjadi langkah penting agar perlindungan data di dalam negeri tidak tertinggal. Dengan demikian, UU PDP bukan hanya instrumen hukum baru, tetapi juga simbol komitmen negara dalam melindungi hak privasi warga sekaligus membangun kepercayaan publik terhadap ekosistem digital yang lebih aman dan berkelanjutan.

Seberapa Efektif UU PDP?

Meskipun UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) telah disahkan, efektivitasnya masih banyak dipertanyakan oleh publik. Dalam penelitian berjudul Personal Data Breach Cases in Indonesia: Perspective of Personal Data Protection Law yang ditulis oleh Utami et al. (2025), survei terhadap responden menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat menilai perlindungan yang diberikan UU PDP belum sepenuhnya kuat. Sekitar 60% responden menyatakan UU PDP hanya “cukup efektif”, 25% menilai tidak cukup kuat, dan hanya 15% yang percaya sangat efektif. Angka ini memperlihatkan bahwa masih ada kesenjangan antara adanya regulasi di atas kertas dengan penerapan nyata di lapangan.

Hasil survei tersebut juga mengungkapkan persepsi masyarakat bahwa UU PDP masih memiliki banyak celah. Sebagian besar responden merasa aturan ini perlu disempurnakan agar lebih mampu melindungi data pribadi. Salah satu masalah yang menonjol adalah lemahnya penegakan hukum, di mana banyak pelanggaran tidak ditindak secara konsisten. Selain itu, tingkat literasi digital masyarakat masih rendah, sehingga banyak individu yang tidak menyadari risiko saat sembarangan memberikan data pribadi kepada aplikasi atau layanan online. Kondisi ini semakin diperparah oleh kurangnya transparansi perusahaan dalam mengelola data serta lemahnya mekanisme pengawasan.

Selain faktor tersebut, penelitian Utami et al. juga menyoroti keterbatasan tenaga ahli di bidang keamanan siber yang membuat sistem perlindungan data di banyak institusi rentan diretas. Padahal, ketersediaan SDM dengan kompetensi tinggi menjadi faktor krusial untuk mencegah dan menanggulangi kasus kebocoran data. Dengan kondisi ini, efektivitas UU PDP hanya bisa benar-benar terwujud apabila ada sinergi antara regulasi yang kuat, penegakan hukum yang tegas, peningkatan kesadaran masyarakat, dan pembangunan infrastruktur keamanan digital yang memadai. Tanpa langkah-langkah tersebut, UU PDP berisiko hanya menjadi instrumen hukum di atas kertas yang sulit menjawab ancaman data breach yang terus berkembang.

Faktor Penyebab Maraknya Data Breach

Mengapa kasus data breach di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun? Ada sejumlah faktor utama yang menjelaskan tingginya risiko ini menurut penelitian dari Utami et al. (2025), yang memperlihatkan bahwa persoalan ini bukan hanya akibat kelemahan teknis semata, tetapi juga menyangkut aspek regulasi, budaya digital, hingga ancaman kejahatan siber yang semakin kompleks. 

Sistem Keamanan Siber yang Lemah

Banyak lembaga publik maupun swasta di Indonesia masih belum memiliki standar keamanan yang memadai. Penerapan enkripsi, autentikasi berlapis, serta pembaruan sistem keamanan sering kali diabaikan. Akibatnya, celah-celah keamanan terbuka lebar dan dimanfaatkan oleh peretas untuk menyusup ke dalam sistem. Tidak sedikit kasus kebocoran data besar yang terjadi hanya karena sistem belum diperbarui atau konfigurasi keamanannya longgar.

Rendahnya Literasi Digital Masyarakat

Sebagian besar pengguna internet di Indonesia masih belum menyadari pentingnya melindungi data pribadi. Mereka kerap memberikan data dengan mudah, misalnya saat mendaftar aplikasi tanpa membaca syarat dan ketentuan, atau menggunakan kata sandi sederhana yang sama di berbagai platform. Kebiasaan ini membuat data pribadi semakin rentan dicuri, ditiru, atau diperdagangkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

Celah Regulasi Sebelum Hadirnya UU PDP

Sebelum UU PDP disahkan, aturan perlindungan data di Indonesia masih tersebar di berbagai regulasi sektoral yang sifatnya parsial. Kekosongan hukum ini membuat banyak perusahaan maupun lembaga pemerintah tidak memiliki kewajiban yang kuat untuk menjaga keamanan data. Akibatnya, ketika terjadi kebocoran data, sering kali tidak ada mekanisme yang jelas untuk penegakan hukum maupun pemberian sanksi.

Perkembangan Teknologi Baru yang Belum Diimbangi Keamanan

Munculnya teknologi seperti Internet of Things (IoT), cloud computing, dan big data menghadirkan efisiensi dan kemudahan, tetapi juga menambah kompleksitas risiko. Sayangnya, adopsi teknologi baru ini sering tidak disertai kesiapan infrastruktur keamanan yang memadai. Banyak organisasi terburu-buru mengimplementasikan teknologi digital tanpa menyiapkan strategi mitigasi risiko yang sesuai, sehingga semakin memperbesar potensi data breach.

Kejahatan Siber yang Semakin Terorganisir dan Canggih

Ancaman saat ini bukan lagi sekadar tindakan individu, tetapi sudah berbentuk jaringan kriminal siber yang terorganisir secara global. Metode serangan mereka semakin beragam, mulai dari phishing, ransomware, hingga penjualan data di dark web. Bahkan, ada kelompok yang khusus menargetkan lembaga pemerintahan maupun perusahaan besar dengan serangan berlapis. Hal ini menunjukkan bahwa maraknya data breach tidak bisa dipandang remeh, karena melibatkan aktor-aktor profesional dengan motivasi ekonomi maupun politik.

Upaya Pencegahan: UU PDP dan Kolaborasi

UU PDP hanyalah satu sisi koin. Pencegahan data breach memerlukan sinergi yang nyata antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat agar perlindungan data dapat berjalan secara menyeluruh dan berkelanjutan:

  • Pemerintah: memperkuat regulasi yang ada, membentuk otoritas independen khusus perlindungan data, serta menegakkan hukum secara konsisten sehingga setiap pelanggaran dapat ditindak tegas dan menjadi efek jera.
  • Perusahaan: menerapkan standar keamanan yang tinggi melalui enkripsi, audit rutin, serta pembaruan sistem secara berkala, sekaligus mengangkat Data Protection Officer (DPO) yang bertugas khusus mengawasi kepatuhan terhadap UU PDP.
  • Masyarakat: meningkatkan literasi digital, membiasakan penggunaan kata sandi yang kuat dan berbeda untuk setiap akun, serta lebih kritis dalam memberikan persetujuan penggunaan data pribadi pada aplikasi atau layanan digital.

Jurnal Personal Data Breach Cases in Indonesia: Perspective of Personal Data Protection Law oleh Utami et al. (2025) juga menekankan bahwa kolaborasi lintas sektor sangat penting untuk memperkuat ekosistem digital yang aman. Selain itu, pembelajaran dari praktik internasional seperti General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa dapat menjadi acuan bagi Indonesia dalam meningkatkan kualitas perlindungan data pribadi dan membangun kepercayaan publik terhadap layanan digital.

Baca juga: Mematuhi UU PDP: Peran Karyawan dalam Menyimpan dan Menghapus Data

Kesimpulan

Kasus data breach di Indonesia terus meningkat meskipun UU PDP telah hadir sebagai payung hukum. Faktanya, implementasi masih lemah, kesadaran masyarakat rendah, dan penegakan hukum terbatas. UU PDP adalah langkah maju, tetapi belum cukup tanpa penegakan yang konsisten, transparansi perusahaan, serta peningkatan literasi digital. Sinergi lintas sektor juga dibutuhkan agar ekosistem digital lebih aman. Jika hal ini tercapai, Indonesia bukan hanya lebih terlindungi dari kebocoran data, tetapi juga mampu membangun kepercayaan publik dalam ekonomi digital yang sehat dan berkelanjutan.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy dan Human Cyber Risk Management.

WhatsApp Icon Mira