<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to HRMI

Software Security Awareness: Perilaku Pengguna yang Harus Diubah

Read Time 10 mins | 28 Nov 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Software Security Awareness

Di tengah maraknya serangan siber yang semakin canggih, faktor manusia tetap menjadi titik lemah utama dalam pertahanan digital. Banyak insiden keamanan berawal dari kebiasaan sederhana seperti menunda pembaruan aplikasi, asal mengizinkan akses software, atau menggunakan versi bajakan tanpa memikirkan risikonya. Padahal, kesadaran akan keamanan software atau Software Security Awareness memiliki peran besar dalam mencegah kebocoran data dan serangan siber. Pemahaman ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi tentang perubahan perilaku—bagaimana setiap pengguna mampu mengenali potensi ancaman dan mengambil langkah kecil yang berdampak besar bagi keamanan digital dirinya maupun organisasinya.

Mengapa Software Security Awareness Penting di Era Digital

Kesadaran terhadap keamanan software atau Software Security Awareness menjadi semakin penting di era digital karena hampir seluruh aktivitas modern bergantung pada aplikasi dan perangkat lunak. Ketika pengguna lalai memperbarui software, membuka lampiran mencurigakan, atau sembarangan memberikan izin aplikasi, mereka secara tidak langsung membuka celah bagi ancaman siber. Studi berjudul “Cybersecurity Awareness Based on Software and E-mail Security with Statistical Analysis” oleh Alqahtani (2022) menunjukkan bahwa pemahaman software security memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap tingkat kesadaran keamanan siber sebesar 19,6%. Artinya, semakin tinggi kesadaran pengguna dalam menjaga keamanan software, semakin besar pula kemampuan mereka mencegah risiko serangan digital yang menargetkan data pribadi dan sistem organisasi.

Namun, kenyataannya banyak serangan siber tidak lagi bergantung pada kelemahan teknis, melainkan pada kelengahan manusia. Menurut penelitian Shaw et al. (2009) dalam jurnal “The Impact of Information Richness on Information Security Awareness Training Effectiveness”, serangan seperti phishing atau malware sering berhasil karena pengguna tidak memahami pentingnya keamanan aplikasi yang mereka gunakan. Mereka mungkin tahu bahwa pembaruan diperlukan, tetapi perilaku sehari-hari seperti menunda update atau menggunakan software tidak resmi membuat sistem tetap rentan. Celah inilah yang sering dimanfaatkan penyerang untuk mencuri data atau menanamkan kode berbahaya di perangkat korban.

Lebih jauh lagi, penelitian Zwilling et al. (2020) dalam “Cyber Security Awareness, Knowledge and Behavior: A Comparative Study” menegaskan bahwa kesenjangan antara pengetahuan dan tindakan nyata pengguna merupakan tantangan terbesar dalam membangun ketahanan siber. Banyak individu sudah memahami konsep keamanan software, tetapi tidak menerapkannya secara konsisten. Oleh karena itu, membangun Software Security Awareness bukan hanya soal edukasi teknis, melainkan pembentukan kebiasaan digital yang aman—seperti memperbarui sistem secara rutin, meninjau izin aplikasi, dan hanya menginstal software dari sumber tepercaya. Dengan perilaku yang disiplin, pengguna dapat menjadi lapisan pertahanan pertama dalam menjaga keamanan digital, bukan justru menjadi titik lemah yang dieksploitasi oleh penyerang.

Baca juga: Mengukur Efektivitas Program Awareness dari Perspektif Faktor Manusia

Kesalahan Umum yang Melemahkan Keamanan

Berdasarkan berbagai studi, banyak insiden siber justru terjadi bukan karena lemahnya sistem pertahanan teknis, tetapi karena perilaku pengguna yang abai terhadap prinsip dasar keamanan software. Kebiasaan kecil yang tampak sepele seperti menunda pembaruan atau asal menyetujui izin aplikasi dapat menjadi titik masuk bagi penyerang untuk menanamkan malware dan mencuri data sensitif. Beberapa kesalahan umum berikut menjadi akar masalah utama rendahnya Software Security Awareness di kalangan pengguna:

  1. Tidak melakukan update secara rutin
    Pembaruan aplikasi seringkali berisi security patch penting yang menutup celah kritis pada sistem. Menunda update berarti memberi kesempatan bagi penyerang untuk mengeksploitasi bug yang sudah diketahui. Dalam konteks penelitian Alqahtani (2022), mayoritas responden yang rajin memperbarui software menunjukkan tingkat kesadaran keamanan lebih tinggi dibanding mereka yang menundanya.
  2. Memberikan izin aplikasi tanpa membaca
    Banyak pengguna secara otomatis menekan “Allow” tanpa memahami apa yang diminta aplikasi. Padahal, permintaan akses ke kamera, mikrofon, lokasi, atau kontak pribadi sering kali dimanfaatkan untuk pengumpulan data yang tidak etis. Studi oleh Shaw et al. (2009) juga menemukan bahwa perilaku impulsif seperti ini merupakan salah satu penyebab utama terjadinya kebocoran data di lingkungan kampus maupun perusahaan.
  3. Menggunakan software bajakan atau tidak resmi
    Versi ilegal dari aplikasi kerap disusupi malware, keylogger, atau kode berbahaya lain yang dapat mencuri data pengguna. Selain berisiko secara hukum, penggunaan software bajakan juga meniadakan pembaruan keamanan resmi dari pengembang. Menurut Zwilling et al. (2020), perilaku ini merupakan bentuk rendahnya kesadaran keamanan digital yang umum ditemukan di negara berkembang.
  4. Mengabaikan notifikasi antivirus
    Banyak pengguna menekan “Ignore” setiap kali antivirus memberikan peringatan, karena menganggapnya mengganggu. Padahal, peringatan tersebut biasanya menandakan adanya aktivitas mencurigakan atau file berpotensi berbahaya. Mengabaikannya sama saja dengan membuka pintu bagi ancaman tanpa disadari.

Perilaku-perilaku ini, meskipun tampak sederhana, memiliki dampak kumulatif yang sangat besar. Sekali saja pengguna lalai, sistem dapat menjadi rentan terhadap serangan phishing, ransomware, hingga pencurian data pribadi. Oleh karena itu, membangun kesadaran perilaku aman dalam penggunaan software harus menjadi prioritas utama dalam upaya menjaga keamanan siber, baik di level individu maupun organisasi.

Temuan Empiris: Software Security dan Cyber Awareness

Penelitian berjudul “Cybersecurity Awareness Based on Software and E-mail Security with Statistical Analysis” oleh Alqahtani (2022) menjadi salah satu studi empiris yang membuktikan keterkaitan langsung antara pemahaman pengguna terhadap keamanan software dan tingkat kesadaran siber mereka. Melalui survei terhadap 390 responden mahasiswa, penelitian ini menemukan bahwa pemahaman software security berpengaruh positif sebesar 19,6% terhadap cybersecurity awareness dengan tingkat signifikansi tinggi (p ≤ 0.001). Artinya, semakin baik seseorang memahami pentingnya pembaruan aplikasi, penggunaan software resmi, dan pengelolaan izin sistem, semakin tinggi pula kemampuan mereka untuk mengenali dan mencegah ancaman siber yang mungkin terjadi.

Selain itu, studi ini juga mengungkap bahwa pemahaman terhadap e-mail security memiliki pengaruh yang bahkan lebih besar, yakni sebesar 31,3%, terhadap kesadaran keamanan digital. Kedua variabel ini yaitu software dan e-mail security — secara simultan menjelaskan 12,1% variasi tingkat kesadaran siber di kalangan mahasiswa. Meski angka ini terlihat moderat, hasil tersebut memperlihatkan bahwa perilaku manusia berperan penting dalam memperkuat atau justru melemahkan pertahanan siber. Dengan kata lain, kesalahan kecil seperti mengabaikan pembaruan atau membuka lampiran mencurigakan bisa memiliki dampak yang jauh lebih luas terhadap keamanan data pribadi maupun institusional.

Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian Zwilling et al. (2020) dalam jurnal “Cyber Security Awareness, Knowledge and Behavior: A Comparative Study” yang menegaskan bahwa peningkatan kesadaran perilaku dan kebiasaan digital berkontribusi signifikan terhadap keamanan informasi organisasi. Sementara sistem proteksi seperti firewall, enkripsi, dan antivirus tetap penting, faktor manusia tetap menjadi garis pertahanan pertama. Maka dari itu, membangun Software Security Awareness di tingkat individu melalui edukasi, pelatihan, dan pembiasaan perilaku aman—menjadi kunci menciptakan lingkungan digital yang lebih tangguh terhadap ancaman siber.

Mengapa Pengguna Masih Lalai?

Meskipun sebagian besar individu memahami pentingnya menjaga keamanan software, kenyataannya banyak yang tetap tidak menerapkan tindakan nyata untuk melindungi diri dari ancaman siber. Fenomena ini dikenal sebagai knowledge–behavior gap, yaitu perbedaan antara apa yang seseorang ketahui dan bagaimana mereka bertindak di dunia nyata. Penelitian Alqahtani (2022) menemukan bahwa meskipun pengetahuan tentang keamanan sudah cukup baik di kalangan mahasiswa, tingkat penerapan perilaku aman masih rendah.

Artinya, memiliki wawasan tentang keamanan software belum tentu membuat seseorang rajin memperbarui aplikasi atau berhati-hati saat memberikan izin akses aplikasi. Beberapa faktor utama yang menyebabkan pengguna tetap lalai meskipun sudah sadar risiko di antaranya adalah:

  1. Kenyamanan dan kebiasaan lama
    Banyak orang lebih memilih menunda pembaruan software karena menganggap proses instalasi merepotkan atau memakan waktu. Rasa nyaman dengan kondisi “status quo” membuat kebiasaan buruk ini terus berulang.
  2. Kurangnya pemahaman konsekuensi
    Ancaman seperti data breach atau pencurian identitas sering dianggap sebagai sesuatu yang hanya terjadi pada perusahaan besar, bukan pada individu. Padahal, satu klik pada software yang tidak aman bisa membuka jalan bagi peretasan akun pribadi, pencurian data finansial, bahkan penyebaran malware ke jaringan organisasi.
  3. Minimnya sistem pengingat atau pelatihan berkelanjutan
    Banyak pengguna hanya mendapatkan edukasi keamanan sekali atau dua kali, tanpa pembaruan rutin. Tanpa dorongan berulang seperti notifikasi pembaruan, kampanye digital, atau simulasi keamanan, kesadaran akan cepat menghilang dan kebiasaan lama kembali muncul.

Sejalan dengan temuan Zwilling et al. (2020) yang menyatakan bahwa pendekatan edukasi yang efektif harus berfokus pada perubahan perilaku, bukan hanya transfer informasi teknis. Artinya, pelatihan keamanan perlu dirancang untuk menumbuhkan kebiasaan reflektif dan tanggapan otomatis terhadap ancaman digital—misalnya dengan pendekatan berbasis pengalaman nyata, gamifikasi, dan pengulangan terarah—agar kesadaran tidak berhenti pada tataran pengetahuan, tetapi benar-benar tertanam dalam perilaku digital sehari-hari.

Faktor Psikologis di Balik Perilaku Pengguna

Dari sudut pandang psikologi perilaku, tindakan seperti menunda pembaruan aplikasi, menggunakan software bajakan, atau mengabaikan notifikasi keamanan tidak semata-mata disebabkan oleh ketidaktahuan, melainkan oleh mekanisme mental yang kompleks. Menurut penelitian Alqahtani (2022), banyak pengguna menunjukkan tingkat kesadaran yang cukup tinggi terhadap risiko keamanan, namun perilaku aktual mereka tidak selaras dengan pemahaman tersebut. Artinya, persoalannya bukan hanya soal pengetahuan teknis, tetapi juga cara otak manusia memproses risiko, kenyamanan, dan prioritas. Beberapa faktor psikologis yang memengaruhi perilaku pengguna terhadap keamanan software antara lain:

  • Optimisme bias
    Banyak pengguna memiliki keyakinan bahwa mereka “tidak akan menjadi korban” serangan siber. Bias optimistik ini membuat individu merasa lebih aman dibanding kenyataannya, sehingga cenderung menyepelekan tindakan pencegahan seperti pembaruan rutin atau penggunaan password kuat.
  • Cognitive overload
    Dalam era digital yang dipenuhi notifikasi, pop-up, dan pesan sistem, otak manusia mengalami kelelahan informasi. Akibatnya, pengguna memilih untuk fokus pada hal yang dianggap paling mendesak atau menyenangkan, sementara peringatan keamanan seringkali diabaikan.
  • Instant gratification
    Pengguna lebih suka kenyamanan dan hasil instan, seperti segera membuka aplikasi tanpa menunggu update selesai. Kepuasan jangka pendek ini mengalahkan manfaat keamanan jangka panjang yang lebih sulit dirasakan secara langsung.

Sejalan dengan temuan Shaw et al. (2009), faktor-faktor psikologis seperti persepsi risiko dan preferensi kenyamanan memiliki pengaruh besar terhadap efektivitas pelatihan keamanan. Oleh karena itu, strategi peningkatan Software Security Awareness sebaiknya tidak hanya fokus pada penyampaian informasi teknis, tetapi juga pada perubahan pola pikir. Edukasi yang mengaitkan risiko keamanan dengan dampak personal, memberikan pengalaman emosional melalui simulasi, serta membangun kebiasaan reflektif terbukti lebih efektif dalam mendorong pengguna untuk bertindak aman secara konsisten.

Langkah Praktis untuk Meningkatkan Software Security Awareness

Membangun kesadaran keamanan software tidak cukup hanya dengan memahami konsepnya—diperlukan langkah nyata yang bisa diterapkan baik oleh individu maupun organisasi. Menurut beberapa penelitian, peningkatan kesadaran melalui tindakan praktis terbukti berpengaruh signifikan terhadap tingkat keamanan siber pengguna. Berikut beberapa langkah sederhana namun berdampak besar dalam meningkatkan Software Security Awareness:

Aktifkan Pembaruan Otomatis

Pembaruan atau update software bukan sekadar memperbaiki tampilan antarmuka, melainkan menutup celah keamanan yang dapat dimanfaatkan oleh penyerang. Fitur auto-update membantu pengguna tetap terlindungi tanpa harus melakukan pembaruan manual yang sering terlupakan. Setiap security patch biasanya menambal bug atau kerentanan yang sudah diketahui publik, sehingga menunda update sama saja dengan memberi waktu bagi pelaku siber untuk menyerang. Dengan mengaktifkan pembaruan otomatis di sistem operasi, aplikasi kantor, maupun perangkat mobile, pengguna dapat memastikan perlindungan berlapis tanpa usaha tambahan.

Gunakan Software Resmi

Mengunduh software dari sumber tidak tepercaya seperti situs bajakan atau forum publik sangat berisiko karena file tersebut sering dimodifikasi untuk menyisipkan malware, keylogger, atau program pencuri data. Software resmi yang diperoleh dari App Store, Play Store, atau situs vendor memiliki proses verifikasi dan sertifikasi keamanan yang jauh lebih ketat. Selain itu, hanya software legal yang mendapatkan pembaruan rutin dari pengembang. Studi Alqahtani (2022) juga menyoroti bahwa perilaku memilih software resmi secara konsisten berkorelasi positif dengan tingkat cybersecurity awareness yang lebih tinggi.

Tinjau Izin Aplikasi

Setiap kali aplikasi meminta izin untuk mengakses data pribadi seperti kamera, lokasi, atau mikrofon, pengguna perlu berhati-hati. Banyak aplikasi meminta akses yang tidak relevan dengan fungsinya, misalnya kalkulator yang ingin membaca kontak telepon. Kebiasaan menekan “Allow” tanpa berpikir membuka peluang penyalahgunaan data oleh pihak ketiga. Langkah sederhana seperti meninjau izin aplikasi secara berkala dan menolak permintaan yang tidak logis dapat mengurangi risiko kebocoran data secara signifikan. Selain itu, beberapa sistem operasi kini menyediakan menu privasi terpusat yang memudahkan pengguna mengontrol semua izin dalam satu tempat.

Gunakan Password Unik dan Kompleks

Penggunaan satu password untuk banyak akun adalah kebiasaan berbahaya yang masih sering dilakukan. Begitu satu akun diretas, semua akun lain dengan kata sandi sama akan ikut terancam. Password yang kuat idealnya terdiri dari kombinasi huruf besar, huruf kecil, angka, dan simbol dengan panjang minimal delapan karakter. Pengguna dapat memanfaatkan password manager untuk menyimpan dan menghasilkan password acak yang aman. Selain itu, mengaktifkan multi-factor authentication (MFA) dapat memberikan lapisan perlindungan tambahan meski password utama diketahui oleh pihak lain.

Ikuti Pelatihan dan Kampanye Edukasi

Edukasi berperan besar dalam membentuk perilaku digital yang aman. Program pelatihan security awareness berbasis konteks, seperti simulasi phishing, game edukatif seperti CyberCIEGE, atau micro-learning interaktif, terbukti lebih efektif dibanding sekadar membaca modul statis. Menurut penelitian Alqahtani (2022), pendekatan pelatihan yang interaktif dapat meningkatkan kesadaran perilaku nyata hingga lebih dari 19%. Pelatihan semacam ini membantu pengguna memahami ancaman dalam situasi realistis dan mengasah kemampuan mereka untuk bereaksi secara tepat ketika menghadapi potensi serangan.

Ciptakan Budaya Keamanan di Tempat Kerja

Keamanan software tidak dapat dijaga oleh satu individu saja—dibutuhkan budaya organisasi yang mendukung. Perusahaan perlu membangun sistem pelatihan berkelanjutan yang bukan hanya diadakan sekali saat onboarding, tetapi menjadi bagian dari rutinitas kerja tahunan. Software Security Awareness sebaiknya diintegrasikan ke dalam kebijakan TI, evaluasi kinerja, serta kampanye internal seperti Cyber Safety Month. Menurut temuan Zwilling et al. (2020), organisasi yang menanamkan budaya keamanan secara sistemik mampu mengurangi insiden siber hingga 30% lebih rendah dibanding yang tidak melakukannya.

Peran Institusi dan Organisasi

Penelitian Alqahtani (2022) menegaskan bahwa lembaga pendidikan dan organisasi memiliki peran krusial dalam membangun kesadaran keamanan digital masyarakat. Upaya peningkatan Software Security Awareness tidak akan efektif jika hanya mengandalkan kesadaran individu tanpa dukungan sistematis dari institusi tempat mereka belajar atau bekerja. Oleh karena itu, organisasi dan kampus perlu menjadi agen perubahan dengan menyediakan lingkungan yang mendorong perilaku aman, bukan hanya memberi teori tentang keamanan. Program edukasi harus dirancang berbasis konteks nyata dan praktik langsung, agar peserta dapat memahami relevansi ancaman digital terhadap aktivitas sehari-hari mereka. Beberapa langkah strategis yang direkomendasikan untuk lembaga pendidikan dan organisasi antara lain:

  1. Kurikulum Praktis
    Perguruan tinggi perlu mengintegrasikan kurikulum keamanan siber berbasis praktik, seperti simulasi serangan phishing, uji deteksi malware, dan analisis insiden nyata. Dengan pengalaman langsung, mahasiswa lebih mudah memahami konsekuensi dari perilaku tidak aman dan pentingnya menjaga keamanan software dalam kehidupan digital mereka.
  2. Webinar dan Simulasi
    Program pelatihan seperti webinar interaktif atau simulasi social engineering terbukti efektif dalam meningkatkan kesadaran. Peserta dapat belajar mengenali tanda-tanda manipulasi digital serta memahami bagaimana serangan tersebut bisa terjadi di dunia nyata. Kegiatan ini juga dapat memperkuat empati digital—kesadaran bahwa setiap pengguna berperan dalam menjaga keamanan ekosistem online.
  3. Kebijakan Pembaruan
    Institusi dan perusahaan harus menerapkan aturan pembaruan wajib untuk seluruh perangkat yang digunakan dalam operasional. Sistem auto-update dan pemantauan kepatuhan pembaruan oleh tim TI membantu memastikan bahwa tidak ada software usang yang membuka celah bagi ancaman siber.
  4. Ukur Perilaku Nyata
    Efektivitas pelatihan keamanan sebaiknya dinilai dari perubahan perilaku, bukan sekadar hasil tes. Misalnya, seberapa sering pengguna melaporkan email mencurigakan, melakukan pembaruan tepat waktu, atau mengikuti kebijakan keamanan internal secara konsisten.

Pendekatan ini juga sangat relevan bagi dunia korporasi. Banyak perusahaan mengalokasikan dana besar untuk membeli alat keamanan baru, padahal investasi pada edukasi dan pembentukan budaya keamanan karyawan sering kali memberikan dampak yang lebih signifikan dan berkelanjutan. Ketika institusi dan organisasi berperan aktif dalam menanamkan kebiasaan aman secara kolektif, mereka tidak hanya melindungi data dan sistem internal, tetapi juga berkontribusi dalam membangun ekosistem digital yang lebih tangguh terhadap ancaman siber.

Baca juga: Pentingnya Mengukur Security Awareness di Lingkungan Kerja

Kesimpulan

Kesadaran terhadap keamanan software harus dimulai dari kebiasaan kecil yang dilakukan secara konsisten oleh setiap individu. Pembaruan aplikasi, penggunaan software resmi, serta kehati-hatian terhadap izin akses dan pesan mencurigakan adalah langkah sederhana yang dapat mencegah kerugian besar. Di sisi lain, organisasi juga perlu menciptakan budaya keamanan yang berkelanjutan melalui edukasi, pelatihan, dan kebijakan yang jelas. Ketika pengetahuan dan kebiasaan berjalan seiring, Software Security Awareness tidak hanya menjadi teori, tetapi menjadi fondasi nyata bagi ketahanan siber di era digital.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy dan Human Cyber Risk Management.

WhatsApp Icon Mira