<img height="1" width="1" style="display:none" src="https://www.facebook.com/tr?id=2253229985023706&amp;ev=PageView&amp;noscript=1">

back to HRMI

Apakah Regulasi Keamanan Siber Global Sudah Efektif? Ini Evaluasinya

Read Time 8 mins | 26 Des 2025 | Written by: Nur Rachmi Latifa

Regulasi Keamanan Siber Global

Ancaman keamanan siber saat ini telah berkembang jauh lebih cepat dibanding kemampuan hukum untuk mengendalikannya. Di tengah ketergantungan dunia pada teknologi, mulai dari bisnis, layanan publik, hingga infrastruktur kritikal. Serangan seperti pencurian data, ransomware lintas negara, dan sabotase digital terus meningkat, memberi tekanan besar pada regulator untuk memperkuat aturan. Lalu, apakah regulasi keamanan siber global sudah benar-benar efektif? Meski berbagai negara telah membuat kemajuan penting, efektivitas regulasi global masih terhambat oleh tantangan mendasar dalam penegakan, harmonisasi hukum, dan kolaborasi lintas sektor

Regulasi Keamanan Siber Global: Pengertian dan Alasan di Balik Urgensinya

Regulasi keamanan siber global dibangun untuk menciptakan kerangka hukum yang mampu melindungi negara, bisnis, dan masyarakat dari ancaman digital yang semakin kompleks. Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa regulasi yang ada belum mampu mengikuti kecepatan evolusi ancaman. Dalam jurnal “Evaluating Global Cybersecurity Laws: Effectiveness of Legal Frameworks and Enforcement Mechanisms in the Digital Age oleh Rusydi (2024), dijelaskan bahwa kerangka hukum konvensional tidak lagi memadai karena sifat serangan siber yang lintas batas dan sangat dinamis. Kendala seperti perbedaan definisi cybercrime antar negara, terbatasnya kolaborasi internasional, dan lemahnya kemampuan penegakan hukum membuat banyak negara kesulitan merespons serangan secara efektif. Temuan serupa disampaikan oleh Carr (2016) yang menekankan bahwa tanpa standar global yang kohesif, regulasi cenderung berjalan terfragmentasi dan sulit menghasilkan dampak nyata.

Selain itu, berbagai jurnal internasional lainnya menunjukkan bahwa ketertinggalan regulasi dari perkembangan teknologi menciptakan “regulatory lag” yang berbahaya. Misalnya, Paek et al. (2020) menggambarkan bahwa aparat penegak hukum sering kali tidak memiliki kapasitas teknis untuk mengimbangi metode serangan baru, sementara Broadhurst & Chang (2012) menyoroti betapa cepatnya pola serangan berevolusi sehingga aturan hukum sulit menyesuaikan. Dengan ancaman seperti ransomware-as-a-service, eksploitasi zero-day, hingga deepfake fraud yang menyebar lintas negara, efektivitas regulasi menjadi semakin dipertanyakan.

Karena itu, memahami apa yang sebenarnya dimaksud dengan regulasi keamanan siber global menjadi penting sebelum menilai efektivitasnya. Regulasi ini merujuk pada kumpulan kebijakan, hukum, standar, dan perjanjian internasional yang mengatur bagaimana negara dan sektor swasta mencegah, mendeteksi, dan menanggapi ancaman siber. Kerangka tersebut meliputi:

  • Hukum yang mendefinisikan cybercrime
  • Ketentuan perlindungan data pribadi
  • Standar keamanan infrastruktur kritis
  • Mekanisme investigasi dan kerja sama lintas negara
  • Prosedur penegakan hukum digital

Namun, seperti ditegaskan dalam jurnal Rusydi (2024), tantangan terbesar muncul karena serangan siber tidak mengenal batas negara, sementara regulasi tetap terikat yurisdiksi masing-masing. Ketidakseimbangan inilah yang menciptakan celah besar dalam penegakan hukum global, serangan bisa terjadi di satu negara, dieksekusi dari negara lain, dan menargetkan sistem di benua berbeda sementara hukum tidak mampu bergerak secepat itu. Regulasi yang tertinggal dari inovasi teknologi pada akhirnya membuat dunia berlari di belakang para pelaku cybercrime.

Baca juga: Kesiapan Indonesia Melawan Cybercrime dengan RUU Siber 2025

Mengapa Regulasi Keamanan Siber Global Cenderung Tidak Efektif?

Meskipun banyak negara memiliki aturan terkait keamanan siber, efektivitasnya masih jauh dari optimal karena adanya perbedaan hukum, keterbatasan kemampuan penegakan, serta ketertinggalan regulasi dari perkembangan teknologi. Berikut empat penyebab utama yang dijelaskan dalam penelitian Rusydi (2024):

Perbedaan Definisi Cybercrime

Tidak adanya kesepakatan global mengenai apa yang termasuk kejahatan siber menciptakan celah penegakan hukum. Beberapa negara menganggap peretasan sebagai tindak pidana berat, sementara negara lain hanya melihatnya sebagai pelanggaran administratif; hal serupa terjadi pada kasus digital espionage dan standar penyitaan bukti. Ketidakseragaman ini membuat investigasi lintas negara sulit dan memberi peluang bagi pelaku memanfaatkan “zona abu-abu” hukum untuk menghindari penindakan.

Lemahnya Kapasitas Penegakan Hukum

Banyak aturan keamanan siber tampak solid di atas kertas, tetapi aparat di berbagai negara kesulitan menerapkannya karena minimnya kemampuan teknis, kurangnya laboratorium forensik digital, serta keterbatasan anggaran dan tenaga ahli. Penelitian yang sama menegaskan bahwa meskipun hukum sudah ada, infrastruktur pendukung dan mekanisme operasional sering kali tidak memadai untuk mengikuti evolusi ancaman yang sangat cepat.

Hambatan Kolaborasi Internasional

Kerja sama global dalam menghadapi kejahatan siber masih jauh dari ideal karena perbedaan kepentingan politik, isu kedaulatan digital, aturan privasi yang tidak seragam, serta keengganan negara atau perusahaan berbagi informasi sensitif. Padahal, kejahatan siber bersifat transnasional sehingga respons yang sporadis dan tidak terstandarisasi membuat regulasi semakin tidak efektif.

Regulasi Tertinggal dari Teknologi

Serangan siber berkembang dalam hitungan hari, sementara regulasi membutuhkan proses politik, negosiasi antar lembaga, dan kajian hukum yang panjang. Hal ini menciptakan regulatory lag, terutama ketika muncul inovasi seperti AI untuk phishing, deepfake fraud, ransomware-as-a-service, dan eksploitasi zero-day. Penelitian menunjukkan bahwa perkembangan teknologi yang terlalu cepat membuat regulasi tidak mampu mengikuti ritme ancaman modern, sehingga efektivitasnya menurun.

Peran Public–Private Partnerships (PPP): Faktor Penentu Efektivitas Regulasi

Penelitian Rusydi (2024) menunjukkan bahwa negara-negara dengan regulasi keamanan siber yang paling efektif justru mengandalkan kolaborasi kuat antara pemerintah dan sektor swasta. Model kolaboratif ini menjadi krusial karena ancaman digital hari ini terlalu kompleks untuk ditangani hanya oleh satu pihak, sehingga PPP berperan sebagai jembatan strategis antara kebijakan negara dan kemampuan teknis industri. 

Dominasi Infrastruktur oleh Sektor Swasta

Sekitar 70–90% infrastruktur digital global dimiliki atau dikelola oleh perusahaan swasta, membuat keterlibatan mereka tidak terhindarkan dalam menjaga keamanan nasional. Sektor swasta unggul dalam kemampuan deteksi real-time, akses langsung terhadap data insiden, kecepatan inovasi teknologi, dan tenaga ahli keamanan siber yang jauh lebih besar dibanding institusi publik. Hasil penelitian menegaskan bahwa tanpa kolaborasi ini, pemerintah tidak mungkin mampu menghadapi ancaman yang bergerak cepat dan berlangsung secara global.

Keberhasilan PPP di Berbagai Wilayah

Di Amerika Serikat, PPP menjadi inti dari National Cybersecurity Strategy, memungkinkan koordinasi respons dan deteksi ancaman yang jauh lebih cepat melalui kolaborasi multi-sektor. Di Uni Eropa, Europol’s Cybercrime Centre (EC3) terbukti meningkatkan efektivitas investigasi dan respons insiden melalui kerja sama antara penegak hukum, perusahaan teknologi, dan akademisi. Selain itu, kolaborasi akademik seperti laboratorium digital forensik berbasis universitas membantu penegak hukum memproses bukti digital dan mencetak tenaga ahli baru, memperkuat ekosistem keamanan siber secara menyeluruh.

Tantangan Utama dalam PPP

Meski menjanjikan, PPP menghadapi hambatan serius, seperti minimnya transparansi, defisit kepercayaan, kekhawatiran reputasi ketika berbagi data insiden, serta regulasi yang belum jelas mengenai peran dan kewajiban sektor swasta. Konflik kepentingan antara orientasi profit perusahaan dan kebutuhan keamanan nasional sering memperumit kerja sama. Penelitian menegaskan bahwa tantangan-tantangan ini menjadi faktor penghambat signifikan yang menurunkan efektivitas regulasi keamanan siber global dan perlu ditangani melalui kebijakan yang lebih jelas dan mekanisme kolaborasi yang lebih aman.

Evaluasi: Seberapa Efektif Regulasi Keamanan Siber Global Saat Ini?

Analisis dalam penelitian Rusydi (2024) dan berbagai literatur internasional menunjukkan bahwa meskipun sejumlah fondasi regulasi sudah terbentuk, efektivitasnya masih belum menyeluruh. Beberapa aspek menunjukkan kemajuan penting, tetapi banyak kendala struktural yang membuat regulasi global belum mampu mengimbangi kecepatan ancaman siber modern. 

Aspek yang Sudah Efektif

Kesadaran global terhadap risiko siber meningkat signifikan, ditandai dengan semakin banyak negara yang mengadopsi regulasi keamanan siber secara komprehensif. Mekanisme kolaborasi internasional pun mulai terbentuk, dan Public–Private Partnerships (PPP) terbukti memperkuat kemampuan deteksi dan respons terhadap insiden. Keseluruhan perkembangan ini menunjukkan bahwa fondasi regulasi global mulai terbentuk, meski masih memerlukan penguatan agar benar-benar efektif.

Aspek yang Masih Lemah

Belum adanya standar global mengenai definisi cybercrime membuat penegakan hukum antar negara berjalan lambat dan penuh hambatan birokratis. Negara berkembang juga tertinggal dalam kapasitas teknis, sementara sektor swasta sering enggan berbagi informasi karena risiko hukum dan reputasi. Minimnya data empiris mengenai keberhasilan regulasi turut mengurangi kemampuan pembuat kebijakan mengevaluasi dampak nyata. Menurut riset Rusydi (2024), celah-celah ini dimanfaatkan pelaku cybercrime untuk beroperasi di wilayah hukum yang lemah atau tidak harmonis.

Dampak dari Ketidakefektifan Regulasi

Ketidakmampuan regulasi global mengimbangi laju ancaman menyebabkan meningkatnya kasus ransomware dunia, pencurian data berskala jutaan identitas, serta serangan terhadap infrastruktur kritikal seperti energi, kesehatan, dan transportasi. Selain merusak kepercayaan publik terhadap layanan digital, kondisi ini juga memperbesar risiko konflik geopolitik melalui aktivitas cyber espionage. Singkatnya, dunia menghadapi ancaman yang semakin canggih, sementara regulasi global belum cukup kuat untuk memberikan perlindungan yang seimbang.

Tantangan Global yang Masih Harus Diatasi

Penelitian Rusydi (2024) menunjukkan bahwa sejumlah hambatan struktural masih menghalangi harmonisasi regulasi keamanan siber global. Perbedaan kepentingan, kapasitas, dan nilai antarnegara membuat kolaborasi internasional berjalan tidak secepat perkembangan ancaman digital.

  1. Perbedaan Budaya dan Ekonomi
    Kapasitas teknologi dan prioritas keamanan berbeda di tiap negara, sehingga standar tinggi dari negara maju sulit diterapkan oleh negara berkembang. Akibatnya, kemampuan bertahan menghadapi ancaman menjadi tidak merata. Ketidakseimbangan ini menciptakan celah yang kerap dimanfaatkan pelaku cybercrime lintas negara.
  2. Isu Privasi dan Perlindungan Data
    Konflik antara kebutuhan menjaga hak privasi dan kebutuhan investigasi digital sering membuat akses data menjadi terbatas. Negara dengan regulasi privasi ketat menahan informasi penting yang dibutuhkan penegak hukum. Ketidaksinkronan kebijakan ini memperlambat investigasi dan mengurangi efektivitas kerja sama global.
  3. Tidak Ada Standar Seragam untuk Data-Sharing
    Setiap negara menerapkan aturan berbeda terkait pembagian data insiden dan bukti digital, sehingga koordinasi internasional berjalan lambat dan penuh birokrasi. Tanpa standar global, proses investigasi lintas yurisdiksi akan terus terhambat. Hal ini membuat respons terhadap serangan besar sering terlambat.
  4. Minimnya Riset Empiris
    Sebagian besar penelitian masih bersifat teoretis, padahal pembuat kebijakan membutuhkan data konkret untuk menilai efektivitas regulasi. Kurangnya riset berbasis data membuat keputusan strategis sering dibuat dengan informasi terbatas. Akibatnya, evaluasi kebijakan menjadi sulit dan perbaikan regulasi berjalan lambat.

Keseluruhan tantangan ini menunjukkan bahwa membangun regulasi keamanan siber global yang efektif memerlukan pendekatan multidimensional, tidak hanya dari sisi hukum. Tanpa penyelarasan kapasitas, nilai, dan tata kelola antarnegara, dunia akan terus berada selangkah di belakang kemajuan para pelaku cybercrime yang bergerak sangat cepat.

Rekomendasi agar Regulasi Keamanan Siber Global Menjadi Lebih Efektif

Penelitian Rusydi (2024) menawarkan sejumlah rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat regulasi keamanan siber global. Rekomendasi ini penting bagi pembuat kebijakan, regulator, serta sektor swasta yang memegang peran besar dalam ekosistem digital.

Harmonisasi Hukum Lintas Negara

Regulasi global hanya akan efektif jika negara-negara menyepakati definisi cybercrime yang lebih seragam dan menciptakan standar penegakan hukum digital yang konsisten. Mekanisme investigasi lintas negara juga harus dipercepat dan dirancang melampaui batasan yurisdiksi yang ada saat ini. Upaya seperti GDPR dan NIS2 di Uni Eropa menunjukkan bahwa harmonisasi memungkinkan kolaborasi lebih efisien dan pendekatan ini perlu diperluas pada tingkat global.

Memperkuat PPP sebagai Pilar Regulasi

Public–Private Partnerships (PPP) perlu diperkuat melalui insentif pajak, perlindungan hukum bagi perusahaan yang berbagi informasi ancaman, serta forum rutin pertukaran data yang aman. Mekanisme untuk menjaga kerahasiaan informasi sensitif juga harus diperjelas agar sektor swasta merasa aman untuk terlibat aktif. Penelitian menegaskan bahwa tanpa PPP, hampir semua upaya regulasi akan kehilangan efektivitasnya.

Investasi pada Teknologi dan Riset

Pemerintah dan lembaga internasional perlu memprioritaskan investasi pada teknologi seperti AI untuk deteksi ancaman, blockchain untuk integritas bukti digital, dan forensik digital yang lebih canggih. Selain itu, platform kolaborasi internasional harus dikembangkan untuk mendukung investigasi bersama. Investasi ini penting agar penegakan hukum dapat mengejar kecepatan inovasi teknologi dan metode serangan baru.

Meningkatkan Transparansi dan Trust-Building

Efektivitas regulasi sangat bergantung pada tingkat kepercayaan antara pemerintah dan sektor swasta. Keduanya perlu memiliki protokol jelas tentang penggunaan informasi yang dibagikan, jalur komunikasi yang aman, serta standar transparansi insiden siber yang konsisten. Ketika kepercayaan meningkat, kerja sama dan respons terhadap ancaman dapat berjalan lebih cepat dan lebih efektif.

Capacity Building di Tingkat Global

Negara-negara perlu membangun kapasitas teknis melalui pelatihan bersama, workshop internasional, dan pertukaran pengetahuan antara pemerintah, swasta, dan akademisi. Pendekatan ini membantu menyamakan kemampuan sumber daya manusia dalam menghadapi ancaman siber, terutama bagi negara berkembang yang sering tertinggal dalam kesiapan teknologi.

Rekomendasi ini menunjukkan bahwa memperkuat regulasi keamanan siber global bukan hanya soal membuat aturan baru, tetapi membangun kerja sama yang lebih solid, meningkatkan kapasitas teknis, dan memastikan kepercayaan antar pemangku kepentingan. Upaya kolektif inilah yang akan menentukan seberapa siap dunia menghadapi ancaman siber di masa depan.

Baca juga: Peran Kontrol ISO 27001 dalam Mengurangi Insiden Keamanan Siber

Kesimpulan

Meskipun berbagai negara telah membuat kemajuan, regulasi keamanan siber global belum sepenuhnya efektif untuk menghadapi ancaman yang semakin kompleks. Perbedaan hukum antarnegara, lemahnya penegakan, dan minimnya infrastruktur digital masih menjadi penghambat utama, sementara PPP muncul sebagai elemen paling menjanjikan untuk memperkuat respons global. Karena itu, dibutuhkan pendekatan multidimensional yang mencakup harmonisasi hukum, investasi teknologi, kolaborasi internasional, dan peningkatan kapasitas SDM agar dunia dapat membangun ekosistem digital yang lebih aman dan resilien. Hingga kini, efektivitas regulasi keamanan siber global masih menjadi perjalanan panjang yang harus diperkuat secara kolektif.

Satu Solusi Kelola Keamanan Siber Karyawan Secara Simple & Otomatis

Nur Rachmi Latifa

Penulis yang berfokus memproduksi konten seputar Cybersecurity, Privacy dan Human Cyber Risk Management.

WhatsApp Icon Mira